Sementara itu, di satu sudut kota yang kumuh, jalanan berbatu menjadi arena bermain bagi sekelompok anak-anak. Tawa riang mereka memenuhi udara sore yang mulai mendingin. Mereka berlarian, memainkan permainan tangkap-tangkapan dan petak umpet di antara bangunan-bangunan tua.Kegembiraan mereka terhenti ketika mata mereka menangkap sosok seorang wanita berbaju lusuh yang duduk meringkuk di pojok jalan. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor oleh debu jalanan. Tatapannya kosong menatap jauh ke depan, sesekali bibirnya bergerak-gerak seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.Seorang anak laki-laki berbisik pada temannya, cukup keras untuk didengar. "Itu si orang gila. Ibuku bilang dia selalu mengaku-ngaku sebagai ratu.""Orang gila! Orang gila!" teriak anak-anak itu, mendekati wanita tersebut dengan rasa ingin tahu yang kejam khas anak-anak. "Hei, Nyonya Ratu, kenapa istanamu sekarang di pinggir jalan?"Mendengar ejekan itu, wanita tersebut—yang tak lain adalah Mei Ling
Di sana, bersandar pada tiang kayu kuil dengan gaya santai, berdiri seorang pria tampan dengan pakaian pejabat tinggi berwarna biru gelap. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum jahil, matanya berbinar jenaka."Du Fei!" seru Da Ye tak percaya.Du Fei tertawa lagi, melangkah mendekat. "Masih rakus seperti biasa, Guru Da Ye. Dan Guru Chang Su, masih galak dan cerewet seperti dulu.""KAU!" Da Ye menunjuk Du Fei dengan jari berlumuran minyak ayam. "Jadi kau yang menaruh bulu ayam di hidungku! Dan kau juga yang menyiapkan semua ini?"Du Fei membungkuk hormat, meski matanya masih berbinar jahil. "Murid yang durhaka ini mohon ampun atas kelancangan mengerjai guru tercinta. Ya, akulah yang menyiapkan semua ini untuk kedua guruku yang telah berjasa membesarkanku."Tanpa peringatan, Da Ye melompat ke arah Du Fei dan memeluknya erat-erat. Tubuh kurusnya bergetar hebat, dan tanpa malu-malu, air mata mengalir di pipinya yang berdebu."Anak bodoh! Kupikir kau sudah lupa pada guru-guru tuamu ini!" isak
Di sebuah kuil tua yang terbengkalai, jauh dari keramaian kota, waktu seolah berjalan lebih lambat. Atap kuil yang sebagian telah runtuh membiarkan sinar matahari senja menerobos masuk, menciptakan berkas-berkas cahaya keemasan yang menyinari ruangan utama..Di atas meja altar yang sudah usang, seorang lelaki setengah baya dengan pakaian compang-camping tertidur pulas. Tubuhnya yang kurus namun berotot terbaring dengan posisi unik—kaki kanan menopang di atas paha kiri, sementara kedua tangannya dilipat di belakang kepala sebagai bantal. Jenggot tipisnya yang panjang dan tak terurus bergerak naik turun mengikuti ritme napasnya.Ia adalah Da Ye, ketua sekte pengemis Kaipang yang legendaris, pendekar yang namanya pernah ditakuti di seluruh dunia persilatan."Mmm... ayam goreng... kulitnya renyah... dagingnya empuk…." gumamnya dalam tidur, air liur menetes dari sudut bibirnya. "Tambah lagi... tambah..."Dengkurannya menggelegar memenuhi ruangan, kadang terdengar seperti gemuruh guruh di k
Setelah upacara penobatan selesai, Zhen Yi dengan jubah kebesarannya yang masih melekat di tubuh, berjalan menyusuri koridor istana menuju paviliun timur. Di depan sebuah pintu, dua dayang membungkuk dalam dan membuka pintu untuknya. Zhen Yi masuk ke dalam ruangan yang hanya diterangi beberapa lilin. Di atas ranjang besar dengan tirai sutra, seorang wanita terbaring lemah—Putri Qi Yue, wanita yang selama ini ia anggap sebagai ibunya.Zhen Yi melangkah mendekati ranjang. Qi Yue tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Kulitnya pucat, dan tatapan matanya kosong menatap langit-langit.Zhen Yi berlutut di samping ranjang dan dengan lembut menggenggam tangan Qi Yue."Ibu," bisiknya pelan.Qi Yue perlahan menoleh, matanya yang redup menatap Zhen Yi. Sebuah senyum lemah terbentuk di bibirnya yang pucat."Zhen... Yi…," suaranya tak keluar hanya bibir yang bergerak-gerak."Ibu, aku sudah mengetahui semuanya," ujar Zhen Yi dengan suara lembut. "Tentang kelahiranku, tentang ibu
Genderang perang ditabuh bertalu-talu. Raja Yu Ping mengangkat seruling saktinya tinggi-tinggi, memberikan sinyal. Seketika itu, pasukan Qi bergerak maju seperti gelombang tsunami. Di barisan terdepan, Du Fei melesat bagaikan kilat, Pedang Naga di tangannya memancarkan cahaya merah yang menerangi medan perang."SERANG!" teriak Yu Ping, suaranya menggelegar di atas teriakan ribuan prajurit.Di atas benteng, Ratu Mei Ling mulai merasakan getaran ketakutan. Pasukan Qi bergerak dengan formasi yang belum pernah ia lihat sebelumnya—sangat kuat dan mematikan."TAHAN MEREKA!" perintahnya pada Jenderal Wu Kang.Hujan panah kembali dilepaskan, namun kali ini Du Fei telah siap. Dengan satu ayunan Pedang Naga, ia menciptakan perisai energi raksasa yang melindungi sebagian besar pasukan Qi. Anak-anak panah berjatuhan tak berdaya sebelum mencapai target.Perang berkecamuk dengan dahsyat. Dinding benteng yang kokoh mulai retak di bawah gempuran pasukan Qi. Para pemanah Wu jatuh satu per satu, terken
Di istana negeri Wu, Ratu Mei Ling duduk dengan angkuh di singgasananya. Jubah kerajaan berwarna merah dan emas membalut tubuhnya, mahkota dengan ornamen burung phoenix bertengger di kepalanya. Aura kekuasaan menguar dari setiap gestur tubuhnya.Tiba-tiba, pintu aula utama terbuka lebar. Seorang prajurit dengan baju zirah rusak dan berlumuran darah tertatih-tatih masuk. Wajahnya pucat, matanya menampakkan ketakutan yang luar biasa."Yang Mulia!" serunya sambil menjatuhkan lututnya di depan Ratu. "Hamba membawa kabar dari medan perang."Ratu Mei Ling menegakkan tubuhnya. "Bicaralah cepat!""Kita... kita kalah telak, Yang Mulia," ucap prajurit itu dengan suara bergetar. "Panglima Lin, Jenderal Ya Ci, dan Komandan Cheng Zhuo telah gugur. Seluruh pasukan yang masih hidup ditawan. Hanya... hanya hamba yang berhasil meloloskan diri untuk membawa kabar ini."Wajah Ratu Mei Ling berubah merah padam. Tangannya mencengkeram lengan singgasana kuat-kuat."APA?!" Suaranya menggema di seluruh ruang