Home / Horor / Tabir Kematian Sahabatku / Bab 7: Diseret ke Kantor Polisi

Share

Bab 7: Diseret ke Kantor Polisi

Author: Ngolo_Lol
last update Last Updated: 2023-10-28 08:00:09

Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup.

"Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku.

Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku.

"Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah.

"Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan.

"Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi.

"Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku dengan keras melintas di kepala. Menjadikan aku ketakutan.

Aku menatap polisi itu dengan membulatkan mata, menatap dia dengan dalam. Bingung harus bagaimana menjelaskan kejadiannya tanganku bisa terluka.

"Jangan pikir wajah lugumu itu bisa menipu saya. Saya benci para gadis yang sok memasang wajah lugu," tukasnya berat. Dia menatapku jijik.

"A-apa maksud Anda?" Alisku mengernyit mendengar ucapan Polisi Joshi yang terkesan ambigu. "Aku tadi enggak sengaja terkena pecahan beling di tempat kerja," jelasku singkat.

Salah jika aku berharap Polisi Joshi itu akan memercayai penjelasanku. Faktanya dia malah terekeh sinis. Lantas, mengambil sesuatu dari dashboard mobilnya.

Sebelah tangan sang pria masih tetap memegang pergelangan tanganku, membuat tubuh ini tertarik kepadanya ketika dia sedang memiringkan badannya hendak mengambil sesuatu dari dalam dashboard.

Mataku membulat ketika melihat Polisi Joshi mengeluarkan sebuah borgol dari dashboard tersebut. Aku menggeleng cepat sembari berusaha melepaskan cekalan tangannya pada tanganku.

"Aku tidak bersalah apa pun. Anda tidak bisa menangkap orang begitu saja!" seruku menatap dia tajam.

"Kamu bisa jelaskan di kantor polisi nanti."

Dengan cepat, Polisi Joshi mengaitkan gelang borgol itu di pergelangan tanganku dan sebelahnya lagi di tangannya. Membuat tangan kami berdua saling terikat satu sama lain. Dia menarikku makin mendekat ke arahnya. Posisi kami sekarang begitu sangat dekat, membuat aku bisa merasakan embusan napas sang pria.

"Buka!" sentakku. Tatapan nyalang kulemparkan.

Mata Polisi Joshi yang setajam tatapan elang itu balas menatapku dalam. "Mau buka apa? Hmm," ucapnya berat seraya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala.

Sudah kuduga pria ini bukan polisi baik-baik. Aku menjauh darinya dengan tangan yang masih terborgol dengannya. Pandanganku mengedar ke sekeliling, berharap ada orang yang membantu. Namun, di sekitar hanya ada ruko-ruko yang sudah tutup.

"Tidak usah celingak-celingukkan seperti itu. Tidak akan ada orang yang menolongmu," ucapnya seakan tahu apa yang sedang ada di pikiranku.

"Ayo, cepat naik!" Dia menarik diri ini agar naik ke mobilnya.

"Aku enggak mau. Aku enggak bersalah apa pun. Darah ini aku dapat sebab terkena pecahan beling di tempat kerja tadi. Liat, tanganku terluka. Apa Anda tidak bisa melihat luka di telapak tanganku yang masih menganga ini? Bahkan darah masih keluar dari sini."

Aku berbicara panjang lebar dengan harapan Polisi Joshi akan memercayai dan melepaskanku. Namun, dia malah memutar bola mata malas.

"Udah selesai pidatonya?" Dia menaikkan sebelas alis. "Ayo, naik!" paksanya.

"Aku tidak ma---"

"Cepat!" Dia segera menarik tanganku kasar, memaksa diri masuk ke mobil.

Tenagaku tentunya akan kalah dengan tenaga polisi yang berotot kekar itu. Terpaksa aku duduk di samping kemudi dengan menekuk muka kesal setengah mati.

"Polisi sialan!" umpatku menggumam kecil.

"Kamu bilang apa?" Dia melirikku tajam.

Aku membuang muka. Polisi Joshi segera melajukan mobil jeepnya dengan menyetir menggunakan sebelah tangan saja.

Beberapa menit berkendara, akhirnya mobil jeep Polisi Joshi sampai di gedung kepolisian. Nyaliku menciut melihat gedung itu. Takut jika polisi bodoh ini memenjarakanku.

"Buat apa kau membawaku ke sini? Aku tidak bersalah apa pun. Aku juga tidak membunuh siapa pun!" Bulir air mata ini jatuh begitu saja.

"Ayo, turun!" Dia kembali menarikku paksa masuk ke kantor polisi.

"Lepaskan aku! Aku enggak bersalah!" Sekuat apa pun aku meronta-ronta, Polisi Joshi terus menarik tubuh ini masuk ke kantor polisi.

Aku yang memberontak sembari berteriak keras, membuat para polisi lainnya menjadikanku pusat perhatian.

Dia membawaku ke sebuah ruangan yang tertutup. Di ruangan tersebut ada dua bangku dengan tersekat meja di tengahnya, serta terdapat satu lampu yang menggantung di atas. Dia mengempaskanku di bangku tersebut, lalu membuka borgol yang sedar tadi membelenggu pergelangan tanganku.

"Kasim!" teriak Polisi Joshi memanggil seseorang, tetapi tatapannya tidak terlepaskan kepadaku.

Seseorang yang dipanggilnya tergopoh masuk. Seorang polisi paruh baya.

"Ada apa, Pak Joshi?" Dia bertanya hormat.

"Ambil barang bukti yang ada di laci saya!" perintah Polisi Joshi.

Polisi bernama Kasim itu pun langsung keluar dan hendak mengambil barang yang diperintahkan.

"Apa saja yang terjadi di malam pembunuhan sahabatmu itu?" tanya Polisi Joshi. Dia duduk di bangku hadapanku.

"Aku tidak tau apa-apa. Aku tau keadaannya ketika sudah pagi saat aku pergi ke rumahnya hendak mendiamkan Alisa," jawabku.

Ternyata dia menyeretku ke sini untuk menginterogasiku tentang kasus kematian Alina. Tidak bisa dipercaya, dia menjadikan aku sebagai tersangka.

"Benar, jendela kamarmu yang berada tepat di hadapan dengan dapur saudara Alina?" Polisi Joshi menatapku serius.

"Iya, benar. Itu kamarku." Anggukan dua kali kulakukan.

"Bagaimana bisa kamu tidak mendengar apa pun, sedangkan jarak antara jendela kamar dan tempat kejadian perkara kurang dari sepuluh meter. Harusnya kamu mendengar sesuatu. Entah itu orang marah, teriakan, atau mungkin benda yang ribut lainnya. Tidak mungkin jika kamu tidak mendengar atau mengetahui apa pun di malam kejadian. Kecuali kamu berbohong untuk menutupi pelaku, atau mungkin kamu sendiri pelakunya!"

"Cukup!" Aku menggebrak meja dengan keras. Kesal kepada pria di hadapanku itu yang asal berspekulasi.

"Jangan asal menuduhku! Tuduhanmu itu tidak relevan." Dada ini naik turun disertai dengan tangan yang mengepal erat.

"Lebih baik kamu kerja sama saja agar kasus sahabatmu ini cepat tuntas." Polisi Joshi masih tetap pada pemikirannya. Menganggapku tersangka atas kematian Alina.

"Malam itu hujan sangat deras. Sepulang dari kerja jam enam sore, karena kelelahan ditambah dengan cuaca yang dingin, setelah sholat isya, aku langsung masuk ke selimut sembari mengenakan headset. Aku tertidur dan baru bangun ketika jam enam pagi." Aku berusaha menjelaskan secara rinci.

Wajah Polisi Joshi terlihat tidak memercayai perkataanku.

"Pak, tersangka kasus pembunuhan anak di bawah umur itu belum mau mengakui perbuatannya." Salah seorang polisi lainnya masuk ke ruangan, melaporkan sesuatu.

"Pukuli sampai babak belur sampai dia mengakui semua perbuatannya!" perintah Polisi Joshi tegas pada polisi tersebut. Namun, tatapannya tertuju kepadaku, begitu menikam.

"Pak Joshi, ini barang bukti yang Anda minta."

Detik berikutnya, polisi yang bernama Kasim tadi kembali datang dengan membawa bungkusan plastik bening. Di dalamnya, terdapat sebuah gelang dengan inisial 'T'.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
tania.. gelange
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 120: Menjemput Istri di Alam Gaib

    Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 119: Aksi Penyelamatan

    Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 118: Tania atau Alisa

    Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 117: Perasaan Bersalah

    Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 116: Jebakan Mantan

    Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 115: Mimpi Beruntun

    Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status