Suara cekikikan yang tepat berada di sampingku itu, sontak membuat tubuh ini membeku. Atmosfer di sekitar serasa menipis hingga membuatku kesulitan bernapas. Belum lagi sekarang dalam keadaan mati lampu.
Aku mencoba merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel. Namun, embusan dingin dari punggungku membuat diri ini kembali membeku."Tania ...." Suara lirih tepat di tengkukku."Siapa?" Gegas aku berbalik. Gelap. Hanya kegelapan yang menyambut penglihatanku.Dengan tangan bergetar kucoba kembali merogoh, lalu menyalakan senter ponsel. Menyoroti area dapur secara perlahan dengan pandangan waspada. Di hadapanku hanya ada piring kotor yang masih menggunung."Hihihihi ...."Aku kembali berbalik kala suara itu melengking di balik punggungku."Ja-jangan ganggu aku! Pergi!" gagapku ketakutan. Bulir keringat dingin meluncur deras dari pelipis.Aku menggenggam erat ponsel di tangan dengan gemetar. Biar bagaimanapun juga seumur-umur baru pertama kali ini aku diganggu oleh makhluk astral.Aku kembali dikejutkan oleh piring-piring yang tiba-tiba melayang ke arahku. Berusaha aku menghindar, tetapi sebuah mangkuk besar melayang dan mengenai perutku, lalu pecah berserakan di lantai. Aku melenguh dan terduduk di lantai pasca mendapat serangan di perut dari mangkok berat itu."Aww!" Aku meringis kala tanganku tidak sengaja menyentuh pecahan mangkok. Tanganku berdarah.Detik berikutnya, aku mendengar bunyi sesuatu yang menetes, lalu disusul oleh bau amis sangat tajam yang menyeruak menusuk indra penciuman. Aku mengarahkan senter ponsel ke samping kanan. Kosong. Perlahan, aku mengarahkan senter ponsel ke kiri."Kyaaa ...!" Sebuah sosok berwajah seputih kapas dengan mata besar yang hitam legam tiba-tiba muncul di samping kiriku. Dia berteriak melengking tepat di telinga, membuat indra pendengaran ini berdenging. Keningnya yang terdapat luka bacok besar membuat darah mengalir deras dari sana dan membuat perutku muntah.Segera aku mundur secepat kilat, menjauhinya dengan jantung yang berdegup kencang. Bahkan, aku sampai melepaskan ponsel yang ada di tangan. Aku meringkuk di pojokkan dengan napas yang tersengal-sengal."Ja-jangan ganggu aku, Lina. Aku Tania, sahabatmu," lirihku ketakutan. Pandangan ini menunduk dalam, fokus menatap lantai. Tidak berani menatap sosok menyeramkan di depan sana. Berharap bisa pingsan saja agar bisa lepas dari ini semua. Namun, kesadaranku masih ada."Kamu harus mati, Tania! Kamu harus ikut aku!" Suara Alina terdengar begitu berat, tetapi juga lirih. Seperti ada dua suara yang ada di sosok itu.Aku menggeleng cepat dengan pandangan yang masih tetap menunduk."Pe-pergi! Ja-jangan ganggu aku. Kumohon!" Air mata luruh mewakili diri ini yang sedang menggigil ketakutan.Sosok itu makin mendekat kepadaku, sedangkan diri ini makin menepelkan tubuh di pojokkan dengan napas yang sesak."Pergii ....""Kamu harus mati juga, Tania ...." Dalam sekerlip, tangan kurus putih serta ada tonjolan urat di tangan itu terulur mendekat kepadaku."Pe-pergi ... akhh!"Dia berhasil mencengkeram batang leherku yang terbungkus oleh jilbab kuning ini. Dia mengangkat tubuhku ke udara sembari terus menguatkan cengkeramannya pada leherku."Akkhh, tol---" Napasku tertahan di tenggorokan dengan mulut yang menganga mencari oksigen, sedangkan kakiku menendang-nendang berusaha mencari pijakkan."Li-Lina, lep-as!" pintaku tercekat. Bahkan, suara ini tak mampu keluar. Air mataku luruh menatap sosok menyeramkan yang sedang menyeringai puas, hingga memamerkan gigi-giginya yang runcing.Aku makin kesusahan bernapas, tubuh ini mulai teras lemas akibat kekurangan udara."Allahu Akbar, Allahu Akbar ...."Tiba-tiba saja terdengar bunyi azan dari masjid sekitar."Kyaaak ...!" Sosok itu memekik keras, lalu menghilang. Bersamaan dengan itu, lampu kembali menyala.Aku luruh ke lantai sembari terbatuk-batuk. Memijit dada sambil menghirup oksigen sebanyak-banyaknya."Terima kasih banyak atas pertolongan-Mu, Ya Allah." Aku berucap syukur. Jika azan Isya tidak berkumandang, sudah bisa dipastikan aku akan tiada dicekik oleh makhluk menyeramkan itu.Setelah perasaanku kembali membaik, gegas aku bangkit dan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Aku takut hantu Alina kembali datang dan menerorku. Tidak bisa kupercaya arwah Alina kembali datang menerorku. Entah aku punya salah apa dengannya, hingga dia seperti memiliki dendam yang sangat besar terhadapku.Selama ini, aku dan Alina selalu akur. Setiap hari, selalu saja kami melemparkan candaan ketika sedang bersama. Sering kali kami juga membuat video bersama, lalu Alina akan mem-postingnya di akun Tektok-nya. Kami selalu tertawa bersama. Hubungan persahabatan kami tidak renggang walaupun Alina sudah berkeluarga.Setelah selesai mencuci perabotan dapur, aku langsung merapikan meja dan kursi. Lantas, menyapu ruangan. Aku melirik jam di dinding, sudah pukul 20.00. Pekerjaanku baru saja selesai."Capek sekali." Aku merentangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku setelah sekian lama bekerja. Duduk di bangku untuk beristirahat sebentar.Rasanya sangat haus. Aku menuju ke dapur hendak minum. Namun, tiba-tiba saja aku mencium bau darah kembali menyeruak. Sontak saja tubuhku bergeming di tempat. Bayangan sosok menyeramkan tadi hadir di pikiran. Aku mengurungkan niat untuk mengambil minum di dapur dan memutuskan untuk segera keluar dari warung. Pulang ke rumah.Belum jauh kuayunkan kaki, sebuah mobil jeep datang. Sinar lampu dari mobil tersebut membuat pandanganku silau. Aku mengangkat tangan menghalau sinar itu. Mataku memicing berusaha melihat siapa yang berada di sana. Benar dugaanku, polisi muda itu lagi. Polisi Joshi."Baru pulang kerja?" tanyanya sesaat sebelum mematikan mesin mobilnya.Pria yang mengenakan kaus putih dan dibalut jaket kulit hitam itu, menatapku intens. Aku benci tatapannya itu."Kamu mengikutiku?" Aku bertanya balik dengan ketus. Entah kenapa, aku kurang suka dengannya.Dia menyeringai. "Kurang kerjaan sekali. Saya kebetulan lewat tadi dan melihat kamu di sini."Aku tidak mengindahkan perkataannya, memilih pergi dari hadapan polisi itu. Namun, ketika aku melewati samping mobilnya, dia langsung mencekal lenganku. Harusnya aku lewat di sebelah kanan saja tadi."Tunggu!" Dia menggenggam erat pergelangan tanganku."Lepas!" ketusku menepis cekalannya. Namun, dia tetap menggenggam tanganku erat. "Jangan kurang ajar!" Emosiku mulai naik melihat polisi muda itu terus menggenggam erat pergelangan tanganku.Dia mengangkat tanganku mendekat dengan wajahnya. Memperhatikan telapak tangan yang sedang mengepal erat karena kesal dengan ulahnya. Polisi muda itu bahkan membuka paksa jari-jari tanganku yang sedang tertutup."Lepaskan aku, kalau tidak ....""Kenapa tanganmu penuh darah?" tanyanya memotong perkataanku. Dia menatapku tajam.Seketika tubuh ini terpaku. Karena terlalu sibuk ingin segera menyelesaikan pekerjaan, aku sampai lupa untuk mengobati telapak tangan yang terluka akibat pecahan mangkuk. Sangat teringat jelas tadi aku bekerja dengan telapak tangan yang berdarah. Hanya saja aku membungkus tangan dengan kaus tangan karet. Kaus tangan tersebut baru aku buka ketika pulang."Kamu baru saja membunuh orang?" todongnya langsung. Dia menatapku sangat tajam. Seakan-akan elang yang sedang mengintai anak ayam."Hah! Ti-tidak."Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.