“B-Bara?”
Napas Bintang seakan tercekat. Debar jantungnya berpacu dengan kencang seolah ingin berhenti berdetak. Dia bahkan sampai melangkah mundur, guna memastikan bahwa semua ini mimpi. Namun, sayangnya dia menyadari bahwa ini adalah nyata, bukan mimpi. “Bintang? Kamu kenal Pak Bara?” tanya Wilona berbisik pada Bintang yang tampak seperti terkejut melihat Bara. Bintang masih belum menjawab pertanyaan Wilona. Gelengan di kepalanya seakan jawaban dari pertanyaan yang lolos di bibir Wilona. Bintang tak sanggup untuk berkata-kata akibat kembali melihat sosok pria yang seharusnya tak dia lihat lagi. Bara yang berdiri di tengah-tengah lobi, tatapannya menatap dingin Bintang yang berjarak tak terlalu jauh darinya. Dia bisa melihat tatapan terkejut Bintang, sedangkan dia tetap tenang di tempatnya. Namun, meski tenang—sorot matanya begitu tajam seakan penuh amarah dendam pada Bintang. “Selamat pagi semua. Saya Andi, asisten pribadi Pak Bara Gunawan Gunaraya. Mulai detik ini Pak Bara akan menggantikan posisi Pak Gilang. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik dengan Pak Bara. Ada beberapa aturan yang berubah, Lina, HRD Manager akan mengumumkan beberapa perubahan.” Andi bersuara pada seluruh karyawan. Para karyawan mengangguk sopan menanggapi ucapan Andi. Bara tak memedulikan pengumuman yang disampaikan oleh Andi. Yang pria itu fokuskan adalah Bintang—wanita yang sejak tadi begitu terkejut melihat keberadaannya. Bahkan dia melihat Bintang sampai mundur agar menjauh, tapi tetap selama Bintang masih bekerja di Gunaraya Group, maka wanita itu tidak bisa jauh dari lingkaran api yang Bara ciptakan. “Pak Bara, apa Anda ingin menyampaikan sesuatu?” bisik Andi pelan di telinga Bara. Mendengar pertanyaan Andi, membuat Bara menatap para karyawannya. “Hari ini adalah hari pertama secara resmi saya menggantikan ayah saya, dan saya minta jangan bandingkan sifat saya dengan ayah saya. Jika sampai saya mendengar ada yang membandingkan saya dengan ayah saya, maka saya tidak segan untuk memecat orang tersebut.” Perkataan yang disampaikan Bara, membuat semua orang di sana terkejut dan ketakutan. Bisa bergabung di Gunaraya Group bukan sesuatu hal yang mudah, jadi sudah sepantasnya banyak yang takut kehilangan pekerjaan mereka. Tanpa berkata lagi, Bara melangkah meninggalkan lobi. Dia bahkan melewati Bintang, seakan tak mengenali wanita itu. Pria tampan itu sangat dingin, dan acuh. Sementara Bintang masih bergeming di tempatnya dengan kebingungan yang bercampur dengan takut serta rasa campur aduk. Saat Bara sudah masuk ke lift, para karyawan mulai bubar dan kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Namun, di kala para karyawan sudah bubar, sayangnya Bintang masih bergeming di tempatnya—seakan tak ingin beranjak pergi sama sekali. “Bintang, ayo kembali ke meja kerjamu,” ajak Wilona seraya menarik tangan Bintang. Bintang sedikit terkejut. “Wilona, a-aku—” Lidahnya kelu, bingung untuk menjelaskan pada Wilona. Tidak mungkin dia menceritakan pada Wilona tentang kegundahan hatinya. Kening Wilona mengerut bingung. “Kamu kenapa sih, Bintang?” Bintang menjadi gelisah tak menentu, dia tak berani untuk naik ke lantai atas. Sebab, pasti dia akan bertemu dengan Bara. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Bara dalam kondisi yang seperti ini. “Bintang Dilara, kenapa kamu masih di sini?!” Lina menatap dingin Bintang yang masih ada di area lobi. Wilona mengumpat dalam hati. “Duh, Bintang, aku nggak mau kena masalah sama Bu Lina. Aku naik ke atas dulu, ya!” Buru-buru, dia berlari menuju lift menuju departement keuangan di Gunaraya Group. Bintang panik dan gelisah di kala Wilona sudah pergi, sekarang dia harus menghadapi Lina, sang HRD manager menghampirinya. Wajah garang Lina sudah menunjukkan jelas kemarahan wanita itu. Ya, harus Bintang akui bahwa dirinya banyak salah di hari pertama bekerja. “Bu Lina, saya—” “Bintang, kamu cepat naik ke atas! Pak Bara pasti udah nungguin kamu!” seru Lina kesal pada Bintang yang lambat. “Bu, tapi—” “Bintang, kamu itu ingin dipecat?” Bintang panik mendengar kata ‘Pecat’. Menganggur cukup lama tak akan mungkin dia biarkan terjadi lagi. Sudah susah payah mendapatkan pekerjaan, tentunya dia akan menyia-nyiakan pekerjaannya. “I-iya, Bu. Saya ke atas.” Bintang langsung berlari menuju lift, meninggalkan Lina. Tampak kegelisahan begitu terlihat jelas di wajah Bintang. Wanita itu menyadari bahwa dirinya berada di ambang berbahaya. “Ibu Bintang Dilara?” Andi menyapa Bintang yang baru saja muncul. Bintang mengangguk, berusaha menutupi kegugupannya. “I-iya, Pak?” “Anda sudah mengenal saya, kan?” tanya Andi memastikan. Bintang kembali mengangguk. “Iya, Pak. Anda asisten Pak Bara,” jawabnya pelan. Ini pertama kalinya dia menyebut nama ‘Bara’, dengan tambahan ‘Pak’. Sangat aneh, tapi dia akan tetap berusaha bersikap professional. “Pak Bara ada di dalam ruang kerjanya. Beliau ingin bertemu dengan Anda,” balas Andi memberi tahu. Bintang terdiam mendengar perintah Andi. Sesaat, dia mengembuskan napas panjang. Dia berusaha mati-matian menutupi perasaan campur aduk yang dia rasakan saat ini. Dia menyadari bahwa dia tak bisa lari sama sekali. Berlari sekencang apa pun, kenyataannya adalah takdir kembali mempertemukannya dengan sosok pria yang harusnya tak dia temui lagi. “Baik, saya akan menemui Pak Bara,” jawab Bintang sopan, lalu dia mulai melangkah menuju ke ruangan Bara. Tepat di kala sudah di depan pintu, dia mengetuk pintu dengan pelan—dan ketika mendapatkan perintah untuk masuk—dia segera masuk dengan langkah yang sangat pelan. “Selamat pagi, Pak Bara,” sapa Bintang dengan kepala yang masih tertunduk, tak berani menanatap Bara yang duduk di kursi kebesarannya. Bara menatap dingin Bintang yang berdiri tak jauh darinya. Dia masih belum mengatakan apa pun. Bahkan sapaan Bintang, hanya bagaikan angin di telinganya. Detik selanjutnya, pria tampan itu bangkit berdiri—dan melangkah mendekat ke arah Bintang—dengan aura wajah penuh keangkuhan dan dendam. “Begini caramu bicara dengan atasanmu? Kepala menunduk? Tidak tahu etika!” seru Bara tajam. Tangan Bintang gemetar di kala jarak Bara sangat dekat dengannya. Aroma parfume masukulin Bara menyeruak ke indra penciuman Bintang, seakan melumpuhkan seluruh organ saraf di tubuh wanita itu. “Angkat wajahmu ketika bicara denganku!” titah Bara tegas, di kala Bintang masih terus menundukkan kepalanya. Selama Bintang mengenal sosok Bara, ini pertama kali Bara membentaknya. Nada yang lembut yang biasa Bintang dengar, tak lagi didengar olehnya. Semua telah berubah, dan Bintang harus menyadari itu. Dia dan Bara kembali dipertemukan, tapi semua tak lagi sama. “M-maafkan saya, Pak Bara,” ucap Bintang gugup di kala menatap mata Bara. Bara belum mengatakan apa pun. Sepasang iris mata cokelatnya menatap dingin, dan tajam Bintang. Tatapannya pada Bintang tak lagi sama. Dia menatap Bintang dengan penuh kebencian, sedangkan Bintang menatap Bara dengan rasa takut yang terselip rasa bersalah. Sayangnya Bara tak menyadari bahwa tatapan mata Bintang tersirat tatapan rasa bersalah.