Baru kali ini Ares sulit membuat lawan bicaranya tersenyum, dari history Ares dia sangat mudah membuat lawan bicaranya cair atau tersenyum apalagi jika itu seorang mahluk bernama wanita.
Setelah perkenalan dengan tim selesai, Kirana langsung mengajaknya ke ruang meeting kecil di sebelah ruang kerjanya. “Duduk,” ucap Kirana tanpa basa-basi. Ares duduk dengan santai, lalu membuka buku catatannya—yang sebenarnya kosong. Ia lebih suka mengingat daripada menulis. Tapi demi atasan perfeksionis ini, dia pura-pura siap mencatat. Dia tidak mau terlihat seperti bermain-main, walaupun dia tau dia punya ingatan yang baik tanpa menulis. Kirana berdiri di depan layar presentasi kecil dan mulai menjelaskan dengan pointer di tangannya. “Jadi gini. Divisi kita megang strategic growth—artinya semua hal yang berkaitan sama pengembangan bisnis baru, ekspansi, dan analisis performa market. Kita bukan tim kreatif, kita bukan tim marketing. Kita bikin blueprint untuk semua departemen bisa gerak ke arah yang tepat. oia satu lagi kita juga melakukan evaluasi kalau flow bisnis kita mengalami kendala atau komplen merugikan” Ares mengangguk pelan. “Berarti kita otaknya perusahaan, ya.” “Kalau kamu mau hidup lama di sini, jangan bilang gitu di depan tim marketing,” sahut Kirana tanpa menoleh. Ares menyengir. Merasa candaannya tidak diterima dengan baik. “Selama dua tahun terakhir, kita udah handle beberapa project besar. Tahun lalu, kita bantu desain ekspansi platform e-commerce ke segmen B2B, dan enam bulan lalu kita launching program loyalitas digital yang sekarang dipakai di aplikasi utama perusahaan,” jelas Kirana sambil menekan tombol remote, menampilkan grafik pertumbuhan pengguna di dua project besar tersebut. Ares melihat grafiknya dengan cermat. Stabil. Naik. Efektif. "Impressive," gumamnya. Kirana menoleh. “Saya nggak butuh kamu impressed. Saya butuh kamu kerja.” Ares mengangkat tangan. “Siap laksanakan,Bu Boss.” Kirana memutar slide ke halaman selanjutnya. ''Seperti yang kita tau pengembangan kita fokus ke aplikasi digital dalam sektor apapun dan sekarang kita lagi develop program baru: Proyek Sigma. Kita ingin masuk ke sektor edukasi digital—platform microlearning untuk profesional muda yang ingin upskill dengan waktu terbatas.” “Sounds promising,” ujar Ares, kali ini dengan nada serius. “Yang kamu kerjain: bantu Dimas kumpulin dan bersihin data user behavior dari tiga aplikasi kita yang sekarang. Setelah itu, bantu saya analisis segmentasi dan user journey untuk bahan desain platform barunya.”''Kalau ternyata data yang kita kumpulin dari 3 aplikasi itu tidak cukup mengambarkan, saya minta kamu langsung survey ke lapangan. Biar bisa dapat data lebih valid. Kalau ada situasi urgent yang saya perlu turun akan saya usahakan.''
“Alright. Jadi gue semacam mata dan tangan lo di lapangan?” tanya Ares, santai tapi matanya fokus. Kirana menatapnya. “Iya bisa dibilang begitu. Dan otaknya juga....... kalau kamu mampu.” dengan pengucapan Kirana pada kata 'mampu' Ares tertawa pelan. “I love a challenge.” “Aku nggak peduli kamu cinta atau nggak. Yang penting target selesai dan harus memuaskan,” balas Kirana tanpa senyumAres mengubah air mukanya jadi serius dan mengangguk paham. Sungguh sulit untuk Ares mencari celah untuk membuat sekilas saja senyum di bibir Kirana.