Gaun itu terlalu mewah untuk seorang Ayuna Paramita.
Warna maroonnya jatuh anggun di tubuhnya, membentuk siluet yang tak pernah ia bayangkan akan dipakai. High heels yang menjulang itu pun seperti mainan mahal yang terlalu licin di kaki orang biasa sepertinya. Dan cermin besar di kamar rias Mahendra Corp hanya menegaskan satu hal: ia terlihat asing. Terlalu ‘jadi’ untuk seseorang yang hidupnya selama ini hanya berkutat pada utang, pekerjaan sambilan, dan menjaga Hana.
“Gaun itu cocok,” suara bariton Aqil muncul tiba-tiba di belakangnya.
Ayuna menoleh cepat, sedikit tersentak karena tak mendengar langkahnya. Pria itu kini mengenakan setelan jas abu gelap dengan dasi hitam. Klasik. Rapi. Sempurna. Tentu saja.
“Cocok bukan berarti nyaman,” balas Ayuna, pelan tapi tajam.
Aqil mengangkat alis, lalu menyodorkan kotak kecil berisi anting-anting berlian mungil. “Anggap saja bonus untuk malam ini. Kamu akan jadi pusat perhatian.”
Ayuna menatap kotak itu dengan ekspresi datar. “Saya tidak menjual diri, Pak Aqil. Saya hanya menjalankan kontrak.”
“Dan saya tidak minta lebih,” sahut Aqil cepat. “Tapi kalau kamu terlihat seperti pasangan CEO, semua akan lebih mudah. Tidak akan ada yang mempertanyakan kenapa kamu tiba-tiba muncul di hidup saya.”
“Karena Anda takut dikira punya hati?”
Aqil menatapnya sebentar sebelum akhirnya tersenyum tipis, sinis. “Tidak. Karena saya tahu dunia ini hanya percaya pada apa yang bisa dilihat. Bukan yang dirasakan.”
Ayuna tak menjawab. Tapi matanya berbicara: Kamu mungkin cerdas, Pak Aqil. Tapi hatimu beku.
Malam itu, ballroom hotel bintang lima dipenuhi sorotan lampu dan kerumunan manusia dalam balutan glamor. Musik klasik mengalun, pelayan berlalu-lalang membawa wine, dan kamera pers sesekali menyorot ke arah tamu-tamu penting.
Aqil melangkah masuk lebih dulu, lalu menawarkan lengannya. Ayuna ragu sepersekian detik, lalu menggandengnya. Sentuhan lengan mereka hanya sekejap, tapi cukup membuat napasnya menahan.
“Tenang saja,” bisik Aqil tanpa menoleh. “Semua ini hanya untuk dilihat orang. Senyum seperlunya. Tatap mata saya sesekali. Dan jangan terlalu jauh dariku.”
Ayuna mencibir dalam hati. Seperti sedang jadi boneka hidup saja.
Beberapa tamu langsung menghampiri mereka. Beberapa mengenali Aqil, sebagian besar penasaran dengan sosok di sebelahnya.
“Ini siapa, Aqil?” tanya seorang wanita setengah baya dengan perhiasan mencolok.
“Partner saya,” jawab Aqil cepat. “Ayuna Paramita.”
Tatapan tajam langsung menyapu dari ujung kepala sampai kaki Ayuna. Tapi dia tetap tersenyum sopan, meski telapak tangannya mulai berkeringat.
Tak jauh dari mereka, seorang pria muda menatap Ayuna dengan senyum berbeda. Lebih hangat. Lebih tulus.
“Pak Aqil, ini tamu kita dari Tokyo—Rafi Nakayama. Dia ikut proyek merger digital tahun ini,” ujar salah satu asisten.
Aqil sedikit mengangguk. “Rafi, ini Ayuna.”
Rafi mengulurkan tangan. “Saya lebih senang berbicara dengan orang yang bukan dari dunia korporat. Rasanya lebih... jujur.”
Ayuna menyambut tangan itu dan tersenyum ringan. “Terima kasih. Saya juga tidak terlalu suka basa-basi dunia ini.”
Aqil diam. Tapi dari sorot matanya, ada hal yang tidak disukainya. Ia menggenggam tangan Ayuna dengan lebih erat setelah itu. Satu gerakan kecil, tapi penuh pesan.
Ingat siapa kamu datang bersama malam ini.
Ayuna menoleh padanya dengan pandangan mengejek samar. Tenang saja, Pak Aqil. Saya belum sejauh itu melanggar kontrakmu.
Dan untuk pertama kalinya sejak hari itu dimulai, keduanya sadar satu hal yang sama: mereka saling mengganggu. Dengan cara yang tak bisa dijelaskan.