Setelah gala dinner selesai, para tamu mulai berpencar, meninggalkan ballroom dengan langkah perlahan dan senyum lelah. Aqil dan Ayuna masih berdiri bersebelahan, menjaga citra hingga momen terakhir.
“Sudah cukup?” tanya Ayuna pelan nyari berbisik, suara lelahnya nyaris tertelan oleh musik latar yang masih mengalun lembut.
“Belum,” jawab Aqil singkat tanpa melihatnya. “Masih ada satu pertemuan informal. Private room di lounge lantai atas.”
Ayuna menatapnya tak percaya. “Saya pikir acara resminya sudah selesai.”
“Kamu belum selesai menjadi ‘bagian penuh' dari saya malam ini,” ujarnya, lalu berbalik dan berjalan lebih dulu.
Ayuna menahan desah frustrasi. Ia menggenggam clutch-nya erat-erat, menahan diri untuk tidak menjawab ketus di tempat umum atau menunjukan ekpresi tidak suka. Kontrak. Ingat kontrak.
Ruangan lounge itu berbeda. Hangat. Lampunya remang dengan aroma kayu dan parfum mahal yang bercampur lembut di udara. Hanya ada mereka berdua. Ternyata, pertemuan yang dimaksud Aqil bukan dengan kolega.
Dia memesan dua gelas teh hitam. Bukan wine.
Ayuna duduk perlahan di seberang meja kayu bundar. Lelahnya mulai terasa menjalar hingga ke tulang.
“Ada alasan kamu mengundangku ke ruangan ini selain untuk jaga citra?” tanyanya sambil mengangkat alis.
Aqil menatap ke luar jendela besar yang menghadap kota. Lampu-lampu malam Jakarta berkedip seperti bintang terbalik.
“Kamu menarik perhatian malam ini,” katanya tanpa menoleh.
Ayuna mengerutkan kening. “Itu tujuanmu, kan?”
“Ya,” katanya datar. “Tapi aku tidak menduga kamu bisa tampil... sangat ‘berbahaya’.”
“Maaf kalau saya menodai citra ‘dingin’ dan steril yang kamu bangun,” sahut Ayuna sambil meneguk teh pelan.
Aqil menoleh. Matanya menatap Ayuna lebih lama dari biasanya. Bukan karena gaun itu, atau wajahnya. Tapi karena sesuatu yang lain. Keberanian, mungkin. Atau kejujuran yang tajam tanpa perlu suara tinggi.
“Aku suka orang yang tahu menempatkan diri,” ujarnya. “Tapi kamu terlalu sering menunjukkan bahwa kamu tidak takut padaku.”
Ayuna mengangkat bahu. “Saya takut kehilangan rumah. Bukan takut sama kamu.”
Aqil menyandarkan diri di kursi, matanya menyipit. “Kamu punya banyak batas, Ayuna.”
“Dan kamu tidak punya sama sekali?” balas Ayuna cepat.
Hening.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Lalu Aqil tersenyum samar, hampir tidak terlihat. “Aku tidak terbiasa ditanya balik. Biasanya orang hanya mendengar.”
“Saya bukan orang biasa dalam hidup kamu, Pak Aqil. Saya ‘kontrak’.” Ayuna menekankan kata itu dengan nada getir.
Dan tiba-tiba, sesuatu dalam ekspresi Aqil berubah. Wajahnya tidak lagi kaku. Matanya tak lagi tajam. Hanya... lelah. Kosong. Seperti menyimpan sesuatu yang berat tapi terlalu lama dipendam.
“Seseorang pernah melampaui batas yang aku bangun,” katanya pelan. “Dan sejak saat itu, aku belajar: terlalu banyak memberi ruang hanya akan membuatmu hancur.”
Ayuna menatapnya. Ia tidak tahu apakah itu pengakuan, atau hanya kalimat acak yang meluncur karena suasana lounge yang sepi. Tapi untuk pertama kalinya, Aqil tidak terdengar seperti robot berjas mahal.
“Aku tidak akan mencoba melampaui batas kamu,” kata Ayuna akhirnya. “Tapi jangan anggap aku boneka. Karena aku tetap manusia. Bahkan kalau kamu bayar aku sekalipun.”
Aqil mengangguk pelan. “Baik. Aku akan ingat itu.”
Lalu keduanya diam. Lama.
Dan di antara diam itu, ada rasa yang tumbuh pelan—seperti benih yang jatuh di tanah keras. Belum tentu tumbuh. Tapi sudah terlanjur ada.
Ruang konferensi di lantai 15 terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram, dan hanya dua cangkir kopi yang tersisa di meja panjang yang belum dibereskan. Ayuna dan Aqil duduk berseberangan. Di antara mereka, kotak kecil yang tadi dibawa Ayuna.Aqil menatapnya, matanya tak melepaskan pandangan sejak mereka duduk. “Kamu mau mulai duluan atau aku?”Ayuna menarik napas panjang. “Aku dulu.”Ia membuka kotak, mengeluarkan kertas kontrak pertama yang dulu ia tandatangani. “Kita mulai dari ini. Selembar kertas yang mengikat semuanya. Tapi juga… yang merusak banyak hal.”Aqil mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan aku nyesel.”“Aku juga salah karena menyetujui itu tanpa benar-benar mikir jauh. Tapi saat itu aku butuh... terlalu butuh jalan keluar,” ucap Ayuna. “Aku nggak pernah sangka, dalam prosesnya, aku bakal kehilangan banyak bagian dari diriku sendiri.”Aqil bersandar, tangan dikepal di pangkuan. “Ayuna, aku nggak pernah anggap kamu hanya bagian dari solusi. Aku tahu sejak awal kamu lebih d
Suara notifikasi ponsel berdering bertubi-tubi sejak pagi. Ayuna duduk di tepi tempat tidur, menatap layar dengan ekspresi kosong. Banyak pesan masuk, sebagian dari rekan kerja lama, sebagian dari orang asing yang menyebar simpati sekaligus sindiran.Satu pesan dari Vina membuatnya benar-benar bangkit dari tempat tidur:"Yun, kamu harus lihat ini. Ada video wawancara ibu kandung Aqil di kanal berita gosip. Kayaknya ada hal besar yang dia sembunyiin selama ini."Ayuna membuka tautan yang dikirimkan. Video itu memperlihatkan seorang wanita elegan, berusia sekitar enam puluhan. Wajahnya masih cantik meski dihiasi garis-garis usia. Dialah Bu Arlina, ibu kandung Aqil yang selama ini jarang muncul ke publik.“Aqil selalu anak yang keras kepala,” ucap Bu Arlina di video. “Dan dia punya trauma yang tak semua orang tahu. Ketika ayahnya pergi dari rumah—bukan karena perceraian, tapi karena memilih perempuan lain—Aqil yang menyaksikan semuanya. Usianya baru delapan tahun saat itu.”Ayuna membeku
Pagi itu, Ayuna membuka pintu kontrakan setelah ketukan panjang yang mengganggu. Ia mengira kurir makanan atau tetangga, tapi ternyata...“Nggak nyangka kamu beneran tinggal di tempat seperti ini,” ujar Nabila sambil mengamati interior kontrakan mungil itu dengan ekspresi geli.Ayuna menahan napas. “Kamu datang ke sini tanpa izin. Aku bisa lapor.”Nabila masuk begitu saja, tanpa menunggu dipersilakan. “Silakan. Tapi kamu tahu, aku bisa bikin cerita lebih dulu—tentang perempuan yang ‘diselundupkan’ ke hidup seorang CEO. Kamu tahu seberapa cepat berita itu menyebar?”Ayuna mengepalkan tangan. “Apa sih sebenarnya maumu?”Nabila menoleh dengan senyum miring. “Mudah. Pergi dari hidup Aqil. Serahkan dia padaku. Dengan begitu, semua kembali seperti seharusnya.”“‘Seharusnya’ versi siapa?” Ayuna menyela tajam namun tetap tenang.“Versi dunia yang biasa menerima seseorang seperti aku, dan akan selalu menolak orang seperti kamu,” kata Nabila dingin.Ayuna menghela napas. “Kamu terlambat. Aku su
Pagi itu, apartemen Ayuna terasa sunyi. Hana sudah berangkat sekolah bersama Ibu Nur yang kini justru sering membantunya, setelah dulu nyaris jadi sumber masalah. Ayuna berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang tampak lelah—mata sembab dan kulit pucat tak bisa disembunyikan dengan riasan tipis.Kata-kata Bu Rumi masih terngiang jelas dalam kepalanya. Tentang cinta. Tentang keberanian. Tentang ketidakadilan yang harus dihadapi sendiri.Teleponnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Ayuna ragu sejenak, lalu menjawab.“Yun, gue harus bilang sesuatu,” kata Vina tanpa basa-basi. “Hari ini, nama lo muncul di grup kantor Mahendra Creative. Ada gosip lo dibilang jadi ‘simpenan’ bos besar. Lo ngerti artinya?”Ayuna membeku.“Aqil...?”“Dia nggak ngomong apa-apa. Tapi orang-orang mulai tanya-tanya. Beberapa ada yang nyari tahu siapa lo sebelum kerja jadi kontrakannya. Gila, Yun. Gila banget.”Ayuna menarik napas panjang. “Vina, kalau ini makin besar... gue nggak bisa nyeret lo juga ke
Malam itu, Ayuna duduk sendiri di balkon rumahnya. Hana sudah tidur, dan Vina baru saja pulang. Ia menatap langit Jakarta yang kelam, lampu-lampu terlihat samar dari balik tirai tipis yang bergerak perlahan. Di tangannya, surat pengunduran diri dari beasiswa masih terlipat rapi. Ia belum benar-benar menyerahkannya—meski dalam hati, ia sudah mulai melepaskan banyak hal. Lalu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk: “Besok pukul 10 pagi. Café Nostalgia, Jl. Suryo. Datanglah sendiri. – Nabila.” Ayuna memandangi layar itu lama. Dalam benaknya, terngiang ucapan Vina beberapa hari lalu: "Kadang, lo harus tahu siapa musuh lo sebenarnya, Yun. Bukan cuma dari kata-kata, tapi dari caranya tersenyum didepan lo , sambil nyiapin pisau dari belakang." Keesokan paginya, Ayuna datang ke kafe itu dengan jaket panjang dan syal, mencoba menyamarkan dirinya dari perhatian publik. Nabila sudah duduk di pojok, dengan segelas kopi latte dan kacamata hitam besar seperti selebrita
Sudah seminggu lamanya sejak Ayuna memutuskan mengambil jarak diantara mereka berdua. Tidak ada pesan dari Aqil, tidak ada tugas dadakan atau meeting dadakan yang harus di ikuti , atau entah tugas tugas lain yang sebenarnya hanya basa basi untuk bertemu. Bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu di media sosial. Ayuna duduk di meja kerja kecilnya, mencoba menulis ulang resume. Ia memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan tetap. Kontraknya dengan Aqil belum selesai secara hukum, tapi untuk saat ini, Ayuna memilih berdiri sendiri. Vina datang sore itu, membawa dua gelas kopi dingin dan ekspresi khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Lo yakin mau balik kerja, Yun? Kontrak lo masih berjalan.” Ayuna mengangguk sambil memandangi layar laptopnya yang kosong. “Justru karena masih berjalan. Aku nggak mau hidup cuma nunggu di balik status itu. Kalau semua ini cuma sementara, setidaknya aku udah siap.” Vina duduk di ujung ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Gue ngerti sih... tap