Rumah itu sunyi. Hanya suara kipas angin tua yang berdecit pelan di sudut ruang tamu. Di meja kecil, kontrak dari Aqil tergeletak seperti monster tak kasat mata—menunggu untuk diterima atau ditolak.
Ayuna duduk di lantai, bersandar di sofa yang busanya sudah mulai menipis. Kertas-kertas kontrak itu terbuka di hadapannya, dengan lampu redup menggantung di atas kepala. Di sebelahnya, Hana tertidur pulas. Napas kecil keponakannya terdengar lembut, seperti pengingat bahwa hidup terus berjalan meski ia sendiri rasanya ingin berhenti.
Matanya tak bisa lepas dari tulisan di halaman terakhir kontrak:
Durasi: 12 bulan.
Kompensasi: seluruh utang lunas, rumah aman dari penyitaan.
Kewajiban: mengikuti perintah profesional dan personal sebagai pendamping klien dalam urusan yang ditentukan.
Batasan: tidak bersifat seksual atau fisik tanpa persetujuan tertulis.
Denda pelanggaran: pengembalian penuh nilai utang dan tambahan penalti.
Ayuna menghela napas panjang. Ini gila. Ini tidak masuk akal. Tapi... ini nyata.
“Saya tetap punya batas,” katanya sendiri, mengulang kata-kata yang ia ucapkan di kantor Aqil tadi siang. Ia harus tetap berpegang pada itu, kalau tidak, dia akan kehilangan dirinya sendiri.
Dia bangkit perlahan, menuju dapur. Membuka lemari dan hanya menemukan setengah bungkus mi instan. Listrik bulan ini sudah menunggak, dan tadi sore ia sudah dapat surat peringatan. Kakak iparnya, Arman, belum juga pulang sejak dua hari lalu. Tidak ada kabar, tidak ada uang.
Ia kembali ke ruang tamu, duduk menatap wajah kecil Hana yang tampak damai dalam tidur.
“Maaf ya, Hana,” bisiknya lirih. “Tante nggak tahu harus gimana lagi. Tapi yang pasti, tante nggak akan biarin kita kehilangan rumah ini.”
Air mata menetes tanpa suara. Ayuna bukan orang yang mudah menangis, tapi malam itu terasa seperti titik nadir. Ia muak merasa selalu dalam posisi terpojok. Tapi di saat yang sama, dia sadar... kadang pilihan yang kita benci adalah satu-satunya jalan keluar yang tersisa.
Pagi itu, Ayuna mengenakan baju yang sama seperti kemarin. Tidak sempat mencuci karena air PAM juga sedang bermasalah. Tapi dia berdiri tegak di depan gedung Mahendra Corp dengan ekspresi yang tak berubah. Dingin. Tegas. Meski dalam hati tetap gemetar.
Wulan kembali menyambutnya, kali ini dengan senyum simpati yang samar. “Pak Aqil sudah menunggu, Mbak Ayuna. Silakan masuk.”
Di ruangan yang sama, Aqil berdiri dengan tangan di saku. Tanpa jas hari ini, hanya kemeja putih dengan lengan digulung. Wajahnya tetap sama: tanpa emosi, tanpa basa-basi.
“Kau kembali,” katanya singkat.
Ayuna menatap langsung ke matanya. “Saya setuju. Dengan semua batas yang saya sebutkan kemarin.”
Aqil tidak tersenyum. Tapi ada satu hal yang berbeda dari tatapannya: pengakuan. Seolah ia menghormati keputusan itu, meski tak mengatakannya.
“Bagus. Maka kita mulai hari ini.”
Ayuna menahan napas. “Apa peran saya, tepatnya?”
“Anggap saja kamu... bagian dari hidup saya yang terlihat. Tapi tidak menyentuh yang pribadi. Kita berdua tahu ini kesepakatan dingin. Jangan dibawa ke hati.”
Ayuna tersenyum tipis, getir. “Saya tidak berniat bawa hati dalam urusan seperti ini, Pak Aqil.”
Aqil menatapnya lama, lalu berjalan ke mejanya dan mengambil ponsel. “Hari ini kamu ikut saya ke sebuah acara. Gala dinner. Mulai saat ini, kamu bukan hanya Ayuna. Kamu partner saya. Tapi tetap ingat—ini semua ilusi. Jangan berharap lebih.”
Ayuna mengangguk. Dalam hati, ia menegaskan hal yang sama pada dirinya sendiri.
Jangan berharap lebih. Jangan terluka. Ini hanya tentang lunas.
Tapi ia tak sadar—kata "jangan" adalah hal pertama yang akan ia langgar dalam cerita ini.
Pagi itu, apartemen Ayuna terasa sunyi. Hana sudah berangkat sekolah bersama Ibu Nur yang kini justru sering membantunya, setelah dulu nyaris jadi sumber masalah. Ayuna berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang tampak lelah—mata sembab dan kulit pucat tak bisa disembunyikan dengan riasan tipis.Kata-kata Bu Rumi masih terngiang jelas dalam kepalanya. Tentang cinta. Tentang keberanian. Tentang ketidakadilan yang harus dihadapi sendiri.Teleponnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Ayuna ragu sejenak, lalu menjawab.“Yun, gue harus bilang sesuatu,” kata Vina tanpa basa-basi. “Hari ini, nama lo muncul di grup kantor Mahendra Creative. Ada gosip lo dibilang jadi ‘simpenan’ bos besar. Lo ngerti artinya?”Ayuna membeku.“Aqil...?”“Dia nggak ngomong apa-apa. Tapi orang-orang mulai tanya-tanya. Beberapa ada yang nyari tahu siapa lo sebelum kerja jadi kontrakannya. Gila, Yun. Gila banget.”Ayuna menarik napas panjang. “Vina, kalau ini makin besar... gue nggak bisa nyeret lo juga ke
Malam itu, Ayuna duduk sendiri di balkon rumahnya. Hana sudah tidur, dan Vina baru saja pulang. Ia menatap langit Jakarta yang kelam, lampu-lampu terlihat samar dari balik tirai tipis yang bergerak perlahan.Di tangannya, surat pengunduran diri dari beasiswa masih terlipat rapi. Ia belum benar-benar menyerahkannya—meski dalam hati, ia sudah mulai melepaskan banyak hal.Lalu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk:“Besok pukul 10 pagi. Café Nostalgia, Jl. Suryo. Datanglah sendiri. – Nabila.”Ayuna memandangi layar itu lama. Dalam benaknya, terngiang ucapan Vina beberapa hari lalu:"Kadang, lo harus tahu siapa musuh lo sebenarnya, Yun. Bukan cuma dari kata-kata, tapi dari caranya tersenyum didepan lo , sambil nyiapin pisau dari belakang."Keesokan paginya, Ayuna datang ke kafe itu dengan jaket panjang dan syal, mencoba menyamarkan dirinya dari perhatian publik. Nabila sudah duduk di pojok, dengan segelas kopi latte dan kacamata hitam besar seperti selebritas.“T
Sudah seminggu lamanya sejak Ayuna memutuskan mengambil jarak diantara mereka berdua. Tidak ada pesan dari Aqil, tidak ada tugas dadakan atau meeting dadakan yang harus di ikuti , atau entah tugas tugas lain yang sebenarnya hanya basa basi untuk bertemu. Bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu di media sosial. Ayuna duduk di meja kerja kecilnya, mencoba menulis ulang resume. Ia memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan tetap. Kontraknya dengan Aqil belum selesai secara hukum, tapi untuk saat ini, Ayuna memilih berdiri sendiri. Vina datang sore itu, membawa dua gelas kopi dingin dan ekspresi khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Lo yakin mau balik kerja, Yun? Kontrak lo masih berjalan.” Ayuna mengangguk sambil memandangi layar laptopnya yang kosong. “Justru karena masih berjalan. Aku nggak mau hidup cuma nunggu di balik status itu. Kalau semua ini cuma sementara, setidaknya aku udah siap.” Vina duduk di ujung ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Gue ngerti sih... tap
Pagi itu rumah Ayuna terasa lebih sunyi dari biasanya, meskipun Hana tertawa ceria di ruang tengah sambil menonton kartun.Ayuna duduk di meja makan, memandangi ponselnya yang terus berdering. Ada pesan dukungan dari pengikut barunya di media sosial, komentar dari para jurnalis hiburan, sampai undangan talkshow dari stasiun TV swasta.Ia belum menjawab satu pun.Vina, yang datang sejak pagi untuk mengecek keadaan, menyeruput teh hangat sambil membaca salah satu komentar dari akun gosip.“Dari cewek biasa jadi calon istri CEO... kisah yang katanya inspiratif, padahal cuma versi legal dari sugar baby. Gila ya netizen.”Ayuna menghela napas. “Aku bukan minta dikasihani, Vin. Tapi... rasanya kayak apa pun yang kulakukan salah.”“Karena kamu masuk dunia yang nggak adil dari awal. Dunia dia, Yun. Dan kamu bukan dari sana.”“Lalu, harus gimana?”“Kalau kamu masih pilih Aqil, kamu harus lebih kuat dari hinaan. Tapi kalau kamu mau pilih dirimu sendiri... sekarang waktunya.”Ayuna tidak menjawa
Pagi itu, notifikasi ponsel Ayuna tak berhenti berbunyi.Pesan masuk dari teman lama, grup alumni sekolah, bahkan dari tetangga-tetangga kompleks lama yang dulu hampir tak pernah menyapanya. Semua bertanya hal yang sama:“Benarkah ini kamu?”Ayuna membuka tautan yang dikirim salah satu kenalan lamanya. Video berdurasi dua menit memuat kompilasi foto-foto dirinya dengan Aqil—saat makan malam, di dalam mobil, dan bahkan saat menggandeng Hana pulang sekolah bersama Aqil. Narasi di latar belakang berbunyi dramatis:“Inilah wanita misterius yang disebut-sebut menjalin hubungan kontrak dengan CEO muda, Aqil Mahendra. Dari sumber yang kami dapatkan, wanita ini sebelumnya mengalami kesulitan keuangan dan kini... hidup berkecukupan.”Ayuna terduduk di kursi dapur, wajahnya pucat.Tak lama, pintu rumah diketuk keras. Vina muncul dengan napas tersengal.“Yun... kamu udah liat?”Ayuna mengangguk pelan. “Aku nggak tahu harus gimana.”Vina mengambil ponselnya, lalu menatapnya serius. “Pertama, kamu
Kopi di cangkir porselen itu sudah dingin sejak sepuluh menit lalu. Tapi Bu Rumi—tante Aqil dari pihak ayahnya—belum menyentuhnya. Ia duduk dengan punggung tegak, mengenakan setelan warna gading dan bros mutiara, simbol jelas status dan reputasi yang tak main-main.Di depannya, Aqil duduk dengan ekspresi datar tapi rahang menegang.“Jadi... kamu menjalin hubungan personal dengan seorang perempuan dari lingkungan berbeda, tanpa latar belakang jelas, dan membiarkannya jadi bahan gosip media?”Aqil mengatur napas. “Dia bukan siapa-siapa, Bu Rumi. Dia bukan selebriti, bukan sosialita. Tapi dia perempuan yang—”“—Berani dekat dengan Mahendra. Itu masalahnya.”“Bukan. Masalahnya adalah, kita masih terlalu peduli pada apa kata dunia.”Bu Rumi menyipitkan mata. “Aqil, kamu calon pewaris Mahendra Corp. Kamu punya tanggung jawab. Tidak semua pilihan bisa kamu buat hanya berdasarkan perasaan.”Aqil berdiri. “Justru karena aku tahu tanggung jawab itu, aku akan jaga dia. Sampai kapan pun.”Bu Rumi