Chapter: Cobaan Dua ArahPagi itu udara terasa berat. Nadin bangun lebih awal, matanya masih sembab karena kurang tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan lebih baik. Namun, doa itu belum sempat selesai ketika kabar buruk datang di puskesmas. Kegaduhan di Puskesmas membuat Nadin yang tidak sepenuh nya siap menghadapi sedikit kewalahan. Seorang ibu muda masuk dengan wajah panik sekaligus marah. Di gendongannya, seorang balita tampak lemas. Suaranya menggema di ruangan. "Mana Bu Nadim? Saya mau ketemu sekarang!" Nadin yang sedang mengatur berkas pasien menoleh terkejut. Ia segera menghampiri dengan langkah cepat. "Saya di sini, Bu. Ada apa dengan anaknya?" tanyanya, berusaha tenang. Ibu itu menatapnya dengan mata berapi-api. "Anak saya makin parah setelah saya ikuti saran Ibu! Katanya cukup dikasih obat penurun panas, tapi sekarang malah kejang! Kalau sampai kenapa-kenapa, Ibu tanggung jawab!" Semua mata di puskesmas menoleh. Beberapa pasien berbisik-bisik, sebagian tampak tegang. Nadin m
Last Updated: 2025-10-08
Chapter: Tumbuh TekadPagi itu, Nadin kembali ke puskesmas dengan wajah letih, namun matanya menyimpan api kecil yang baru saja menyala. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Aku tidak boleh terus tenggelam. Kalau aku diam, aku akan hancur. Aku harus berdiri, meski pelan-pelan. Suasana puskesmas ramai. Pasien antre, sebagian ibu hamil, sebagian lagi membawa anak-anak mereka yang demam atau batuk pilek. Nadin langsung sigap, mengenakan jas putihnya yang sederhana namun selalu rapi. "Bu Bidan, tolong lihat anak saya. Semalam panasnya tinggi sekali," ujar seorang ibu muda dengan wajah panik. Nadin meraih termometer dan dengan sabar memeriksa anak itu. "Tenang, Bu. Mari kita cek dulu suhunya, jangan khawatir berlebihan." Setelah memeriksa, ia memberikan penjelasan singkat tentang perawatan rumah yang bisa dilakukan sambil menunggu resep obat dari dokter. Ibu muda itu mengangguk penuh syukur. "Terima kasih banyak, Bu. Kalau sama Ibu, rasanya tenang," katanya. Ucapan sederhana itu membuat hati Nadin menghangat
Last Updated: 2025-10-07
Chapter: Luka Yang SamarNadin terbangun dengan mata sembab. Malam tadi ia tidak benar-benar tidur. Setiap kali memejamkan mata, suara mertuanya kembali terngiang-tajam, dingin, dan penuh penilaian. Kata-kata itu menempel seperti duri, sulit dicabut. Ia melirik Rama yang masih terlelap di sampingnya. Wajah suaminya terlihat tenang, seakan tidak ada beban. Nadin menahan helaan napas panjang. Dalam hati ia iri pada ketenangan itu. Baginya, hidup di rumah ini seperti berjalan di atas pecahan kaca-setiap langkah bisa melukai. Pagi menjelang. Nadin tetap bangkit, meski tubuhnya terasa berat. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan sederhana. Tangan yang biasanya lincah kini gemetar, hampir menjatuhkan piring. "Assalamualaikum," suara mertuanya terdengar dari belakang. Nadin buru-buru menoleh. "Waalaikumsalam, Bu." Senyum yang ia pasang terasa kaku, sekadar formalitas. Mertuanya hanya melirik, lalu duduk di kursi ruang makan dengan tatapan menilai. "Rama suka sarapan yang agak berat, jangan cuma nasi sama tempe g
Last Updated: 2025-10-07
Chapter: Luka PertamaHujan baru saja reda sore itu, meninggalkan aroma tanah basah yang meruap ke udara. Nadin duduk di kursi kayu ruang tamu rumah besar bercat krem pucat, rumah mertuanya. Perasaan campur aduk menyeruak dalam dadanya: bahagia karena akhirnya resmi menjadi istri Rama, tapi juga canggung, sebab ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka tidak sepenuhnya disambut hangat oleh keluarga suaminya. Nadin masih mengenakan kebaya sederhana, rambutnya disanggul rapi, namun hatinya resah. Beberapa jam lalu ia masih duduk di pelaminan, tersenyum terhadap tamu yang memberi selamat. Kini hanya ada Nadin, Rama dan tatapan tajam ibu mertuanya. "Jadi ini menantuku?" suara Bu Rahayu datar, dingin, tanpa senyum. Tatapan matanya menyapu Nadin dari ujung kepala hingga kaki. "Bidan, tapi honorer, kan?" Nadin menunduk. Ada nada sinis yang jelas terasa. "Iya, Bu. Saya baru ditempatkan di puskesmas kecamatan," jawab Nadin lirih, mencoba terdengar sopan. Bu Rahayu menghela napas panjang, lalu melirik Rama. "Ka
Last Updated: 2025-10-07