Keluarga dan cinta adalah dua hal yang didambakan Zaki dalam hidup. Dia tidak menyangka akan mendapatkannya dari sang atasan. Pak Bahar menjodohkan Zaki dengan Putri –anaknya yang cermerlang. Tahu Putri menerima, seharusnya pernikahan dijalankan atas dasar suka sama suka. Namun, banyak kejadian tidak terduga yang menggoyahkan rumah tangga mereka. Kisah masa lalu yang belum usai, orang tua Putri sendiri, bahkan spekulasi bahwa sang istri adalah pemilik dua kepribadian. Lantas apakah cerita ini memiliki akhir bahagia?
View MoreAku sudah lama mendengar nama Putri Nur Hasanah dari cerita teman-teman di toko ini. Dia digambarkan sebagai seorang terdidik, anggun, berambut sepinggang, dan memiliki mata yang menampilkan ketenangan. Mereka bahkan memujinya sempurna sebagai wanita.
Aku belum pernah bertemu Putri sebelumnya. Setahuku selama bekerja, dia malah belum pernah ke toko. Lantas darimana teman-temanku tahu tentang Putri? Entahlah. Aku memilih untuk tidak peduli. Bagiku pekerjaan yang lebih utama daripada memikirkan seseorang yang tidak juga dapat digapai.
Aku baru selesai mengecek persediaan sak semen sampai kejadian di hari itu membawaku pada takdir tidak terduga. Aku melihat Putri secara langsung dan terpesona. Benar-benar si pemilik magnet yang kuat.
Rambutnya yang hitam lurus tergerai dengan indah. Kulitnya kuning langsat berpadu dengan dress putih yang elegan. Alis rapi, bulu mata lentik, bibir dengan lipstik nude, dan sapuan warna di kelopak matanya adalah perpaduan yang harus kuakui.
Cantik.
Kukira dalam sebulan ini akan siap. Putri Nur Hasanah, dia persis seperti yang digambarkan, kecuali pada matanya yang tenang itu. Aku dapat merasakan tatap kosongnya. Dia bagai boneka yang diberi nyawa. Melihatnya membuatku ragu kembali. Bertanya-tanya apakah menerima perjodohan kami adalah pilihan tepat.
“Kamu benar menerima perjodohan ini, Dik?” Jujur saja, aku tak bisa mengalihkan pandangan padanya. Seperti ingin menjelajahi keheningan yang dia ciptakan lebih dekat.
Aku menunggu, tapi dia hanya diam, sehingga aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa. Bu Indah yang duduk di samping Putri merespons. Wanita paru baya itu mengusap bahu anak semata wayangnya.
Bu Indah tersenyum maklum. “Putri tidak pernah pacaran atau dekat laki-laki, Zaki. Mungkin sekarang masih malu-malu.”
Aku mengerti jika Putri canggung. Aku juga demikian. Raut ketegangan sudah memenuhi wajahku sejak menginjakkan kaki ke rumah ini. Tapi aku tetap perlu kepastian.
“Putri, bagaimana? Saya menunggu jawaban kamu.” Suaraku parau. Tenggorokanku kering. “Saya izin untuk minum dulu, Pak, Bu.”
“Iya, iya minum dulu. Kenapa jadi tegang begini?” Bu Indah mempersilakan. Aku menyesap teh, disusul Bu Indah dan Pak Bahar yang menemaniku minum. Hanya Putri yang terus membisu.
Wanita itu tidak dapat ditebak. Tapi aku cukup tahu dia harus berpikir baik-baik. Pernikahan bukan permainan, melainkan perjalanan seumur hidup.
Aku membasahi bibir. Seharusnya dia sudah menyiapkan jawaban karena kami sama-sama diberi waktu cukup untuk memikirkan perjodohan ini.
“Saya tidak bisa menerimanya kalau Putri sendiri keberatan. Bukankah pernikahan harus disetujui oleh kedua pihak?”
Pak Bahar mendengkus. Suaranya terdengar menggelegar. “Kenapa juga harus keberatan? Saya tersinggung. Itu terkesan saya menjodohkan kalian asal-asalan dan tanpa pertimbangan.”
Aku tidak menjawab karena perkataan Pak Bahar sudah jelas tanpa bantahan. Putri menundukkan kepala. Haruskan dia bersikap begitu jika benar senang dengan perjodohan kami? Karenanya aku merasa perlu mendesak Putri agar mau bicara.
“Dik, bagaimana? Saya harus mendengar jawaban kamu. Apapun itu, Mas akan terima dengan baik.” Kali ini aku mengubah cara dengan bersikap lebih pengertian padanya. Aku ingin meyakinkan bahwa dia berhak memilih dan aku akan menghormati keputusannya. Aku tidak akan keberatan jika Putri memang tidak menginginkan perjodohan kami.
“Putri, cepat dijawab,” ucap Pak Bahar.
Perlahan wanita itu mengangkat kepala, melihat ke arahku yang tersenyum. Untuk beberapa saat kami bertahan dalam situasi ini. Menegangkan sekaligus menenangkan.
Kulihat dia mengangguk. “Saya menerima perjodohan ini.”
Aku tersenyum. Senang dan haru bercampur jadi satu. Kelegaan mencelos dalam dadaku. Ini kali kedua aku merasa bahagia, selain melihat senyum ibu ketika aku mendapat peringkat satu.
***
Lima tahun sejak ibu meninggal dan memutuskan untuk merantau, Pak Bahar yang paling banyak membantu hidupku. Beliau memberi tempat tinggal dan memercayaiku untuk mendapatkan posisi sebagai pengelola toko materialnya.
Sebenarnya itu sudah cukup untuk seseorang yang tidak punya tujuan hidup sepertiku. Tidak menyangka aku juga akan membersamai anaknya yang cemerlang itu. Awalnya aku pesimis. Biasanya orang tua akan mencarikan pasangan yang sepadan dan semapan untuk anaknya. Aku sangat sadar diri.
Aku menganggap Pak Bahar bercanda. Tapi aku tahu beliau tidak pernah bercanda.
Semua pegawai sudah pulang dan tinggal aku yang memeriksa persediaan sak semen kami di gudang. Aku memang tinggal di toko dan tidak menyangka akan kedatangan Pak Bahar. Tidak biasanya beliau begitu, apalagi sekarang sudah mulai larut malam.
Sebuah obrolan dengan dua cangkir kopi hitam menemani kami. Kami duduk di kursi tunggu pelanggan sambil mengamati lalu lintas jalanan yang masih ramai.
“Tumben sekali Bapak ke sini.”
“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, Zaki.”
Aku mendengarkan dan menebak diam-diam. Mungkinkah masalah toko?
Pak Bahar menatapku dengan wajahnya yang serius. “Saya mau menjodohkan kamu dengan anak saya.”
Refleks aku menarik mundur badan ke belakang. Kelimpungan. “Maksudnya, Pak?”
Pak Bahar menatapku sinis. Dahinya berkerut. “Masa kamu tidak mengerti maksud saya?”
Aku paham. Tapi ini terlalu mengejutkan.
“Tapi kenapa saya, Pak?”
“Karena kamu sudah memenuhi kualifikasi saya untuk menjadi suami Putri, Zaki.” Pak Bahar berhenti sejenak untuk meminum kopinya. “Saya percaya kamu mampu jadi pemimpin keluarga yang baik sama seperti menjadi pemimpin toko saya sampai sukses besar begini.”
Aku tidak menyahut. Pikiranku melayang jauh. Tes jenis apa yang sudah dilakukan Pak Bahar untuk mengukurnya? Memimpin toko dan memimpin rumah tangga jelas dua hal yang berbeda dan tidak memiliki kesamaan dari segi apapun. Tapi mengenai kepercayaan, aku jadi merasa besar kepala. Di dunia ini kepercayaan memang tidak ada nilainya.
Aku merenung beberapa saat. Sekelebat masa lalu hinggap. Suaraku merendah. “Bagaimana kalau saya menolak?”
Pak Bahar berdecak. Rasa tak suka terlihat jelas dari raut wajahnya yang selalu serius itu. “Coba beri saya alasan kenapa kamu menolak?”
Alasan. Alasan. Aku membasahi bibir sebelum menjawab dengan hati-hati. “Saya cuma pegawai biasa, Pak. Tidak mapan untuk membiayai hidup Putri. Lagi pula, pernikahan bukan permainan.”
“Memang siapa yang mau main-main? Putri juga sudah setuju. Untuk urusan finansial sudah siap semua, Zaki. Sekarang tinggal kamunya saja yang mau menikah atau tidak.”
“Tapi, Pak ….”
“Kamu ini sudah saya anggap seperti anak sendiri. Anggap saja ini sebagai balas budi.”
Mendengar kata balas budi membuat tenggorokanku kering. Aku kalah telak. Pekataan Pak Bahar adalah pukulan besar untukku. Tapi sekali lagi, aku tidak boleh gegabah mengambil keputusan.
“Akan saya pertimbangkan, Pak.”
“Apalagi yang mau dipertimbangkan? Anakku bukan gadis sembarangan. Dia sudah saya didik dengan ketat. Orang yang menikah dengan dia akan sangat beruntung.” Ada jeda dengan tatapan penuh selidik. “Atau jangan-jangan kamu sudah punya incaran?”
Mendengar kata incaran membuatku bergidik. Deskripsi yang menurutku menggetirkan. Aku menggeleng.
Pak Bahar menatapku tajam. “Ya sudah. Pikirkan baik-baik kalau begitu. Kamu harus membuat keputusan yang tepat. Kesempatan tak datang dua kali, Zaki.”
Aku terdiam. Pak Bahar membuatku banyak berpikir tentang masa depan yang ingin kubangun. Cinta dan keluarga. Aku memang mendambakannya dalam hidup.
Aku termenung. Kuletakkan kembali surat itu ke dalam kotak dan menutupnya.Aku mencoba mengkonfirmasi perasaan yang kurasakan sekarang. Gelenyar aneh merayap dalam hatiku. Namun, aku tahu ini berbeda dengan yang kurasakan pada Putri.Seperti ... tidak ingin kehilangan teman yang paling mengerti.Mendadak kepalaku pening. Kupijat pelipis dan mengubah posisi demi menyandarkan diri ke headboard ranjang. Ketika memejamkan mata, bayangan Putri dan Oliv secara bergantian hinggap di isi kepala.Tak perlu waktu dua minggu untukku tahu bahwa rasa yang kumiliki pada Oliv bukanlah cinta. Aku jadi terpikir. Beginikah juga yang dirasakan Putri padaku? Aku menghela napas dalam. Diliputi rasa bersalah ketika ingat telah memaksa Putri untuk menerimaku. Sekarang aku seperti punya alasan lain tidak mempertahankan hubungan kami lagi. Putri tidak mencintaiku, tapi Oliv sebaliknya. Aku ingin belajar mencintai Oliv.***Pagi ini untuk mengawali suasana baik dengan Putri, aku turun memasak ke dapur. Aku
Setelah kejadian itu, aku merasa hubungan kami kembali canggung lagi. Kami hanya berbicara seperlunya, walaupun Putri tidak berlaku jutek seperti dulu. Aku sudah meminta maaf dan dimaafkan, tapi ternyata tidak cukup mengubah apa yang sudah kukatakan.Aku ingin Putri juga menghargai perasaanku. Pernyataan yang sejak dulu menjelaskan bagaimana aku sebenarnya tidak ikhlas dan masih dibayang-bayangi bahwa kisah ini akan berakhir bahagia.Hubungan ini begitu rumit dengan segala drama di dalamnya. Tidak hanya menyangkut dua orang yang berjuang untuk memengaruhi, sedangkan yang dipengaruhi sudah menentukan pilihan bahkan sebelum pertandingan dimulai. Namun, ada ikatan pernikahan yang dibangun dan kepercayaan orang tua yang ikut terlibat masuk.Sebagai manusia biasa, Tuhan adalah kunci yang maha membolak-balikkan hati. Aku hanya bisa berdoa agar diberikan jalan terbaik di setiap langkah yang kuambil.Lalu seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, aku dan Putri akan mengikuti program hamil. Ha
Orang tua Oliv saling berpandangan satu sama lain. Aku menatap wanita itu tak percaya dengan ucapannya barusan. Apa maksudnya? Aku tidak salah dengar 'kan?"Calon pacar?" kata sang mama. Tampaknya juga tidak menyangka. Ya, sebenarnya wajar jika ini dipertanyakan. Oliv mengangguk dengan mantap, sedang aku membatu. Suasana menjadi hening seketika. Lalu wanita itu lantas tertawa. "Ih, kenapa jadi serius, sih nanggapinnya? Oliv cuma becanda aja!" Ah, ternyata bercanda, batinku. Eh, kenapa harus kupermasalahkan?"Tapi kalau serius juga gak papa," balas mamanya kemudian. Tawa berderai Oliv sehabis membercandai orang tuanya berhenti. Kini raut mukanya berganti dengan kedipan mata cepat beberapa kali. "Mama apaan, sih. Oliv cuma becanda, tau!" Ekspresinya berubah menjadi multitafsir antara kesal atau yang lainnya. "Kenapa? Memangnya kamu gak mau dengan Nak Zaki?" goda sang mama. Oliv refleks melirik padaku yang sejak tadi diam.Aku yang tidak ingin ambil pusing langsung memperintahkan isi
Pertemuan yang tidak disengaja, biasanya akan memunculkan pertemuan-pertemuan lainnya. Begitu juga dengan pesan masuk pagi ini. Oliv memberitahu bahwa dia sedang berada di kota kami.Dia tahu kota tempat tinggal kami barangkali pernah bertanya dengan Putri? Entahlah.Aku dan Putri sudah kembali ke rumah sejak kemarin. Ketika kuberitahu padanya bahwa Oliv mengajak kami datang ke acara keluarganya, Putri benar-benar antusias. Namun, dia urung ikut karena acara tersebut bertepatan dengan acara lain yang harus dia ikuti.Aku merasa tak nyaman jika menolak. Apalagi undangan ini dikirim langsung oleh si empunya acara. Kulihat pekerjaan juga telah selesai, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak hadir.Oliv mengirimkan lokasi acara dilaksanakan. Perlu waktu kisaran tiga puluh menit jika dilihat dari Gmaps untuk sampai ke tujuan. Sebuah rumah bercat putih tampak begitu megah di depanku dengan gaya arsitektur ala eropa. Setelah memberitahu bahwa aku salah satu tamu undangan dalam acara ters
Besoknya orang tua Putri menghubungi kami. Tadinya mereka akan datang ke rumah sekalian menginap. Sayangnya darah tinggi Pak Bahar akhir-akhir ini sering kambuh, sehingga Putri lebih menyarankan untuk beristirahat.Mengetahui kondisi sang ayah membuat Putri uring-uringan. Dia kelihatan melamun hingga satu suap nasi tak sampai menyentuh bibirnya. Aku sendiri mengerti keresahan itu. "Mau menjenguk bapak?" Aku menawarkan diri. Memecah sunyi yang sejak tadi menghampiri kami. Kulihat sayu di matanya.Putri menggeleng. "Nanti dulu deh, Mas. Aku keknya belum siap ketemu mereka.""Perasaan berdosa pasti ada. Aku ngerasa udah ngebohongin mereka terlalu banyak," katanya kemudian. Pandangan kami bertemu untuk beberapa saat.Aku menghela napas. Ikut merasakan ketidaknyamanan yang dibawanya di meja makan. Namun, menjenguk orang tua merupakan perkara lain dan tidak bisa disamakan dengan masalah-masalah sebelumnya. Di sisi lain, aku juga tidak ingin memaksakan kehendak Putri. Aku ingin dia bisa me
Putri menolak ajakan Oliv untuk menginap di tempatnya. Menurutnya, akan lebih praktis jika menginap di hotel sekitaran rumah sakit saja. Pun Rizal juga masih belum sadar dari koma. Jadi, dia ingin memastikan untuk selalu berada dalam jangkauan kekasihnya itu. Oliv menghargai keputusan Putri. Dia menganggap perbuatan semacam itu sebagai pertanda seberapa tulus cinta yang dimiliki.Aku ... agak tersinggung sebenarnya.Putri memilih tinggal menemani Rizal. Artinya, aku akan pulang sendirian. Aku hanya berdoa agar orang tua Putri tidak menanyakan yang macam-macam atau semuanya akan berantakan. Oliv ternyata benar-benar mengantarku ke bandara. Aku sempat menerima beberapa pertanyaan selama dalam perjalanan. Hubunganku dan Putri rupanya tidak alami sebagaimana rekan kerja biasa."Kalian serius ke sini karena ada urusan kerja?" tanyanya yang membuatku kaget. Dia menatapku dengan penuh arti."Kenapa memangnya?" Aku malah balas bertanya. Oliv mengusap lehernya canggung. Mungkin dia merasa ti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments