Arka akan bertanya pada seketaris ke mana uang yang selama ini disuruhnya mengirim ke anak-anaknya.
“Maafkan ayah ya sayang,” ujar Arka lagi dengan perasaan yang sangat bersalah, sambil mengenggam tangan Alvira.
Arka benar-benar merasa bersalah pada anak-anaknya, kali ini dirinya akan bersikap tegas. Sudah cukup ia mengalah pada Maya. Arka langsung mengambil dompetnya dan memberi salah satu kartu debitnya pada sang putri.
“Simpan itu untuk keperluan kalian,” ucap Arka.
“Tapi yah, ini terlalu banyak.” Protes Alvira yang tau kalau isi di dalamnya pastilah sangat banyak.
“Itu untuk ibu mu, dan uang untuk biaya kuliahmu nanti akan ayah kirim lagi, sebenarnya tiap bulan ayah mengirimkan kalian uang melalui seketaris ayah. Tapi tampaknya uang tersebut tidak dikirim ke kalian, nanti ayah akan menanyakannya,” jelas Arka.
"Untuk kartu itu, itu milik ibu mu yang waktu itu ayah ambil dan sekarang ayah ingin mengembalikannya. Maafkan ayah ya sudah membuat kalian kecewa," lanjut Arka dengan wajah yang sendu.
Alvira kaget mendengar penjelasan sang ayah, seandainya memang seperti itu ia dengan ibu beserta adiknya tidak perlu bekerja,” batinnya.
“Sebenarnya ayah tidak bersalah dan tidak pernah menghamili Maya, saat itu ternyata ayah dijebak olehnya. Bodohnya lagi ayah mau tertipu, tapi semua kebohongannya sudah ayah ketehui akan tetapi ayah tidak bisa menceraikannya karena ia mempunyai video yang bisa membuat reputasi ayah hancur. Ayah masih mencari cara supaya bukti itu berada pada ayah dan akan ayah hilangkan semua bukti yang ada,” jelas Arka yang mencoba untuk jujur pada putrinya yang belum mengetahui kebenarannya.
“Aku percaya sama ayah kok,” ceplos Alvira, yang kembali memeluk ayahnya seperti tidak ingin jauh lagi. Walaupun Alvira sudah dewasa tapi ia begitu dekat dengan sang ayah.
Karena memang ayahnya Arka Bagaskara tidak pernah berbuat yang mengecewakan keluarganya, Ayahnya selalu menyayangi keluarga sebelum Maya datang mengusik mereka.
“Kalau ayah sudah berhasil menceraikannya kalian mau kan kembali ke rumah ayah,” pinta Arka.
Alvira hanya diam, ia bingung harus menjawab apa. Dirinya ingin lagi tinggal bersama tapi apakah ibunya juga masih ingin bersama ayahnya. Karena walaupun Alea memiliki hati yang lembut tapi sang ayah telah melukai hati ibunya.
“Nanti Alvira tanya sama ibu ya yah!”
Arka mengangguk menyetujui.
“Yah, Aku pulang dulu ya. Sudah sore aku harus bersiap untuk ke kafe, lagian nanti ibu mencari ku, jam segini belum pulang,” ucap Alvira sambil melihat jam tangannya.
“Kenapa kamu nggak berhenti saja bekerja nanti ayah akan kirimkan uang,” sahut Arka yang merasa kasian melihat anaknya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Aku sudah betah kerja di tempat itu yah, lagian jika nanti aku sudah mulai koas aku sudah tidak bekeja lagi dan fokus pada study ku.”
“Ya sudah terserah sama kamu, jaga diri baik-baik ya. Kalau perlu bantuan segera temui ayah atau menelpon ayah. Masih punya nomor ayahkan!” pinta Arka.
“Sampaikan salam ayah pada ibu dan adik mu ya, sampaikan juga permintaan maaf ayah untuk mereka, sungguh ayah sangat menyesalinya yang mudah percaya begitu saja pada orang," lanjut Arka.
Alvira kembali memeluk Arka sebelum ia benar-benar meninggalkan sang idolanya. Alvira melangkah keluar dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Pertemuannya pada sang ayah kali ini berbuah manis, sang ibu tiri tidak ada di kantor. Dan yang menjadi hati Alvira begitu senang adalah sang ayah ingin kembali bersama mereka, keluarga mereka akan berkumpul kembali.
Alvira memesan ojol melalui ponselnya, sekitar lima belas menit Alvira menunggu di post satpam akhirnya ojol yang dipesannya datang.
“Non Alvira?" tanya bang ojolnya.
“Iya bang, sesuai aplikasi yah,” jawab Alvira.
Bang ojol langsung memberikan helm pada Alvira dan menjalankan motornya menuju alamat yang dikirim oleh Alvira.
Sampainya di rumah Alvira langsung mencari sang ibu untuk memberi tahu kabar gembira yang barusan ia terima, semoga saja ibunya mau menerima ayah kembali.
“Bu....”
“Ibu....”
“Apaan sih sayang teriak-teriak,” sahut ibu yang muncul dari arah belakang.
“Ibu sini dulu deh aku punya kabar baik nih,” ucap Alvira sambil menepuk sofa di sampingnya agar Alea duduk bersamanya.
Kini kereka sedang duduk di kursi makan, Alvira mengeluarkan kartu debet yang di berikan oleh sang ayah tadi lalu diserahkannya pada sang ibu.
“Ini apa?” tanya Alea sambil mengerutkan keningnya bingung.
“Ini punya kamu?” tanyanya lagi.
“Itu punya ibu, ayah memberikannya untuk ibu,” ceplos Alvira.
“Kamu tidak sedang becandakan!”
“Apa kamu mengambil secara paksa dari ayah mu?” tanya Alea lagi yang ragu akan perkataan Alvira.
“Ih ibu, ini ayah sendiri kok yang kasih," balas alvira menyakinkan.
Alvira menceritakan pertemuannya tadi bersama sang ayah tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkannya ia juga menceritakan tentang Maya yang ternyata hanya menjebak ayahnya. Alea diam ia mendengar dengan baik semua yang diceritakan olehnya termasuk saat ayahnya sering kali ke rumahnya namun tidak berani menampilkan diri.
“Jadi gimana bu, ibu mau kan nanti kembali lagi ke rumah ayah?” tanya Alvira diakhir ceritanya.
“Kamu enggak siap-siap bekerja?” tanya Alea yang mengalihkan pembicaraan.
Alvira diam, saat ibunya tidak menjawabnya. Ia pun tidak mau memaksa sang ibu. Alvira tau kalau ibunya sedang tidak ingin membahas ayahnya.
“Alvira siap-siap dulu ya bu,” pamitnya kemudian.
Alvira meninggalkan Alea yang masih duduk di kursi makan. Alea mencoba mencerna setiap cerita yang dikatakan oleh Alvira. Sebenarnya Alea juga masih sangat mencintai Arka namun saat mengingat Arka mengusirnya waktu itu membuat hati Alea kembali sedih. Alea akan memikirkan kembali permintaan putrinya itu.
***
Di ruangan Daffin suasananya sangat mencekam, orang yang telah membocorkan rahasia produk pada lawan sudah berhasil diketahui. Berkat usaha yang dilakukkan Reiki dan juga dirinya kemaren, tidak salah kalau Reiki memang orang yang sangat cekatan. Di depan Daffin sudah duduk pak Ibra sang penanggung jawab produksi. Beliau lah yang telah membocorkannya, dengan alasan ia membutuhkan uang yang banyak untuk berobat sang anak.
Daffin tidak ingin menerima alasan apapun itu penghiatan tidak boleh dilakukan, yang dapat menimbulkan kerugian pada perusahaan. Daffin memasang aura gelap yang menakutkan. Reiki yang berada di samping Daffin merasa kasian pada pak Ibra, tapi ia tidak bisa menolongnya semua keputusan ada pada Daffin.
Jika Daffin sudah mulai tenang Reiki akan mencoba untuk berbicara padanya. Setelah memberikan ulitimatum pada pak Ibra, Daffin menyuruh pak Ibra untuk keluar dari ruangannya.
Daffin menghembuskan nafanya dengan kasar, kalau soal keluarga Daffin sangat lemah.
“Cari tahu apakah anak pak Ibra memang sedang sakit?” titah Daffin pada Reiki dengan sorot mata yang tajam.
“Lalu selidiki juga penyakitnya dan dokter siapa yang sedang menaganinya?” titah Daffin lagi.
“Baik pak,” jawab Reiki lalu meninggalkan ruangan Daffin.
Reiki sudah berada dalam ruangannya sendiri, ia menghubungi anak buahnya untuk mencari tau tentang keluarga pak Ibra sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Daffin.
“Cari tau apa yang terjadi pada anaknya pak Ibra dan segera laporkan pada saya hari ini juga," titah Reiki pada seseorang di sebrang telponnya dengan nada sedikit tinggi,
Selesai menelpon Reiki kembali berkutik dengan laptopnya. Menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Daffin terhadapnya. Jika kerjaannya tidak selesai bisa-bisa Daffin akan mengirimnya ke kutub utara.
***
“Elo dari tadi senyum mulu, lo nggak sakit kan!” tanya Doni sahabatnya lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Alvira.
“Apaan sih lo,” ucap Alvira lalu menghempaskan tangan Doni secara kasar.
“Habisnya dari tadi gua liat lo senyum-senyum mulu, nggak biasanya. Biasanya tuh muka nekuk terus.”
“Ih lo teman lagi senang juga, masa dikira sakit,” celetuk Alvira yang sudah memasang wajah masamnya.
“Emang kenapa? habis dapat undian yah?” tebak Doni.
“Ini lebih dari sekedar undian," balas Alvira sambil tersenyum lebar.
“Ya...ya...ya...apapun itu semoga Lo bahagia terus,” seru Doni.
“Gua habis ketemu sama ayah, terus yang kedua....”
“Kevin mau menunggu gua hingga lulus entar," seru Alvira yang langsung memeluk Doni di sampingnya meluapkan rasa bahagianya.
“Bagus deh kalau gitu,” sahut Doni membalas pelukkan Alvira, awalnya Doni kaget mendapatkan serangan tiba-tiba dari Alvira tapi kemudian ia mencoba untuk membalasnya. Bagaimanapun Alvira sudah dianggapnya seperti adiknya.
“semoga kebahagia selalu datang pada lo,” ucap Doni lagi lalu menepuk pundak Alvira melepaskan pelukkannya lalu meninggalkan Alvira yang masih tersenyum.
BERSAMBUNG......
Belum sempat Daffin menjawab panggilan teleponnya suara Alvira dari dalam kamarnya menghentikan pergerakkan tangannya. Kini kakinya melangkah dengan cepat menuju kamar mereka.“Ada apa?” tanya Daffin begitu pintu kayu berwarna putih itu berhasil di bukanya.Terlihat Alvira sedang berdiri di atas ranjang sambil kedua tangannya menahan batrobe matanya mengintari lantai.Daffin jalan mendekat,” Kenapa?” tanyanya lagi.“I-itu ada kecoa besar,” lirih Alvira, membuat Daffin langsung melebarkan senyumnya.“Sama kecoa aja takut. Di mana?” tanya Daffin, dengan posisi yang menunduk mencari keberadaan kecoa yang dibilang oleh wanita tercintanya.“Ada di situ tadi, coba cari di sana,” balas Alvira menunjukkan letak di mana ia bertemu dengan kecoa itu.Alvira menunjuk lantai bawah dekat kamar mandi mereka. Daffin masih berusaha mencarinya.“Apa bibi nggak membersihkan ini apartemen? Kenapa ada kecoa masuk,” gumam Daffin, tanpa mengalihkan perhatiannya dari lantai.“Nah itu dia!”seru Daffin begitu
Panggilan video call masuk di ponsel Daffin. Nama sang mami tercinta tertera di layar pipih itu.“Mami,” ujar Daffin kepada Alvira.“Ya, udah angkat.”Dengan santainya Alvira menyuruh Daffin menjawab panggilan tersebut. Tanpa sadar jika mereka saat ini hanya menggunakan batrobe saja.“Panggilan video call,” ujar Daffin lagi.Seketika Alvira menepuk keningnya mendengar ucapan dari Daffin. Matanya langsung tertuju pada tubuhnya yang hanya berbalut batrobe saja.“Kamu aja yang jawab, bilang aja habis mandi,” usul Alvira.Akhirnya Daffin menggeser icon hijaunya, setelah panggilan itu tidak mau berhenti.“Iya mi,” sapa Daffin begitu terlihat jelas wajah Shela dilayar pipih itu.“Hey, Alvira mana? Mami kangen nih sama dia,” sahut Shela.“Lagi di kamar mandi mi.”“Bagaimana pengobatannya mi?” tanya Daffin lagi.“Lancar Fin, kamu katanya sama Alvira mau ke sini?” terdengar suara sang papi yang berada di sebelah sang istri tercinta.“Maaf mi, Pi, sepertinya kami nggak bisa ke sana soalnya Alvi
Daffin mengerjapkan matanya saat cahaya matahari dari bilik tirai itu mengganggu tidur nyenyaknya. Perlahan ia membuka matanya. Saat mata itu berhasil dibuka, pertama kali yang ia lihat adalah wajah sang istri yang kini tengah berada di dadanya.Kedua sudut bibirnya langsung mengembangkan senyuman yang begitu lebar. Setelah pertempuran semalam yang di lakukan hingga beronde-ronde. Membuat Alvira susah sekali membuka matanya. Hingga saat ini dirinya masih tertidur begitu nyenyaknya di dada Daffin berselimutkan kain tebal yang menutup kedua tubuh mereka yang tidak menggunakan apapun.Daffin bergerak secara pelan, bibirnya kini menyentuh kening Alvira.“Terima kasih atas semua yang kamu berikan saat ini, aku merasa ini adalah hal yang begitu sangat bahagia buatku,” ungkap Daffin pelan sambil memandangi wajah Alvira yang tampak begitu cantik dan natural.Terlihat Alvira mulai bergerak pelan. Namun, ternyata matanya masih tertutup rapat, dan ia hanya berpindah posisi tidur saja yang semak
“Kalau mau bicara soal kerjaan besok saja gua lagi sibuk,” ungkap Daffin lagi dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Kemudian ia mematikan ponselnya agar tidak ada lagi yang mengganggu kegiatan malamnya ini.Di seberang sana Reiki yang tadi menelepon bosnya itu sekedar ingin memberitahukan jika mereka besok akan ada pertemuan penting dengan salah satu klien dari luar negeri. Namun, belum sempat Reiki memberitahu sambungan telepon itu sudah diputus Daffin.“Huuft.”Hembusan nafas Reiki terdengar begitu berat. Susah menghadapi sang bos yang moodnya berubah-rubah dan ia sampai saat ini tidak mengetahui sela-nya.Reiki yang masih bingung dengan pertemuan besok apakah akan berlangsung apa tidak. Berbeda dengan Daffin yang kini telah kembali melakukan aktivitas panasnya.Alvira yang tadi duduk di atas meja mini bar telah ia turunkan dan digedongnya diletakkan di sofa living room. Sofa yang mempunyai ukuran hanya
Alvira sudah menyelesaikan mandinya, selama setengah jam ia berada di dalam kamar mandi berendam. Dengan senyum yang lebar ia keluar dan menuju lemari pakaian yang di maksud oleh Daffin tadi.Tubuhnya saat ini terasa sangat begitu segar. Alvira juga sudah memantapkan hatinya jika ia akan menyerahkan semuanya malam ini untuk suaminya tercinta. Makanya ia merendam tubuhnya selain menghilangkan pegal, ia juga ingin agar tubuhnya wangi saat bersama Daffin. Langkahnya ia urungkan menuju lemari, kini Alvira malah duduk di meja rias, ia ingin sedikit mengaplikasikan make up naturalnya dan memberikan semprotan parfum di daerah-daerah tertentu. Tidak lupa ia mengeringkan rambutnya juga.Sudah siap, Alvira ingin mengambil piyama yang katanya Daffin berada di dalam lemari. Namun, saat Alvira buka pintu lemari itu matanya membulat sempurna melihat baju-baju yang bergantung di sana sungguh ia tidak berpikir sampai ke arah sana.“Astaga ini semua?” gumamnya pelan.
Saat ini Alvira tengah bersiap untuk pulang karena jam dinasnya telah usai. Sambil merapikan peralatan dan meja kerjanya matanya melirik ponsel yang berada di atas meja. Takut suaminya menghubungi dirinya.“Sudah mau pulang?” tanya Vita yang tiba-tiba muncul di balik pintu.“Iya, emangnya kenapa?” tanya Alvira.“Enggak paa sih, gua mau ajak keliling bentar. Bisa nggak?”“Em?”Alvira menyahut sambil memicingkan manik matanya merasa aneh dengan permintaan sahabatnya itu.“Biasa aja kali lihatnya nggak usah gitu amat kenapa? Salah gua mau ajak hangout bentar?” celetuk Vita lagi dengan mengibaskan satu tangannya di depan Alvira.“Enggak apa sih, heran aja!” sahut Alvira.“Sudah yuk, keluar,” ajak Alvira lagi sambil meneteskan tasnya keluar ruangan.“Beneran nih nggak bisa?” tanya Vita lagi ingin memastikan.Alvira lan