Share

Chapter 4

Aruna membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa berat karena minum semalaman bersama Liza. Hingga pagi menjelang tidak terdengar suara Ayara memanggilnya, padahal Ayara biasa membangunkannya dan selalu menyuruhnya olahraga pagi untuk menjaga berat badan.

Aruna turun ke lantai bawah dan pergi ke dapur, setiap bangun tidur pagi Aruna selalu menyempatkan diri untuk minum air putih sebelum melanjutkan aktifitasnya.

"Bi, mamah kemana." tanya Aruna.

"Gak tau non, dari kemarin Ibu gak pulang, terakhir si bibi liat dia pergi bawa koper kecil gitu."

Aruna berdecak, ia tau persis kalau Ayara kabur menghindarinya. Aruna tau kalau mamahnya itu tidak mau sedikitpun dilibatkan dalam masalahnya, padahal jika untuk urusan uang Ayaralah yang paling getol mendampinginya meskipun uang dari jalur yang tidak baik. Aruna kembali ke kamarnya, dan merebahkan diri di sebelah Liza. Pikirannya masih menerawang soal kejadian memalukan kemarin, bisa-bisanya ia kepergok orang tua Kastara dan salah target dalam menjalankan rencananya.

Aruna membuka sosial medianya dan mencari akun milik Anggasta, namun tidak ia ketemui satupun akun milik Anggasta. Bahkan di pertemanan Kastara pun tidak ada.

"Ini orang hidup di zaman apa sih? masa sosial media aja gak punya," gerutunya.

"Berisik banget sih Na, aku masih pusing nih." Liza menggeliat dan menendang bokong Aruna.

"Hih, sakit tau. Pulang gih istirahat di rumah kamu sendiri!" Aruna balik menendang bokong Liza hingga tersungkur ke lantai.

Ponsel Aruna berdering, ada satu nomor tidak dikenal memanggilnya. Aruna tidak langsung menjawab panggilan telepon itu, dan malah bengong memikirkan siapa pemilik nomor yang tengah memanggilnya.

"Aruna! angkat itu teleponnya," Liza menepuk bahu Aruna agar ia tersadar dari lamunannya.

Segera Aruna menekan tombol warna hijau di ponselnya, ternyata ayah Kastara yang menelponnya menggunakan handphone milik Anggasta.

"Iya pak, bisa. Jam dua tepat saya pasti udah disana," jawabnya cepat.

Aruna memutus panggilan teleponnya dan segera bersiap mandi agar terlihat rapih, kali ini ia harus berpakaian sopan untuk memperbaiki imagenya yang sudah luluh lantak kemarin.

"Mau ketemu siapa sih?" tanya Liza penasaran.

"Ketemu orang tuanya Kastara," sahutnya sembari berdandan.

"Hah? jadi rencana kamu berhasil Na?"

"Enggak Liz, gagal."

"Terus kamu mau ngapain ketemu orang tuanya Kastara?" Tanyanya lagi sambil menyeruput jus buah kemasan.

"Mau dinikahin sama kakaknya Kastara," jawab Aruna.

Liza terkejut setengah mati, sampai-sampai jus yang ada di dalam mulutnya terhambur keluar dan untungnya tidak mengenai Aruna.

"Jorok banget ish, Liza!"

"Kamu lagi ngelawak apa gimana si Na? kok bisa dinikahin sama kakaknya Kastara?"

"Panjang ceritanya, yang jelas aku niatnya jebak Kastara eh malah kakaknya yang kejebak. Jadinya dinikahin deh sama kakaknya Kastara,"

"Astaga, hidup kamu complicated banget." Liza berlalu dan pergi ke dapur untuk mengambil jus lagi.

Aruna sudah siap dan saatnya pergi menemui kedua orang tua Kastara, mereka akan bertemu di cabang restoran milik ayah Kastara.

*****

Aruna pergi ke restoran milik ayah Kastara dengan menggunakan taksi online, ia belum mampu menyetir sendiri karena kepalanya masih terasa sedikit pening. Tadinya Liza ingin menemani Aruna, tapi ia urungkan karena merasa itu adalah urusan pribadi antara Aruna dan keluarga Kastara.

Restoran ayah Kastara merupakan resto yang menyediakan aneka masakan khas Indonesia, ayah Kastara adalah seorang chef yang hobinya travelling ke seluruh daerah di Indonesia. Itu sebabnya ayah Kastara tau berbagai jenis makanan khas di tiap daerah, dan nekat membuka resto dengan keahlian memasaknya.

Saat memasuki restonya wewangian rempah langsung merasuk ke dalam hidung Aruna, perut Aruna jadi semakin keroncongan mengingat ia juga belum makan sedari kemarin karena galau. Aruna di persilahkan masuk ke ruangan pribadi Rajasa, karena ini urusan penting dan Rajasa tidak dapat meninggalkan pekerjaannya mau tidak mau mereka berunding di ruang pribadinya yang ada di restoran.

Aruna tercengang, ia kira di ruangan ini hanya ada dirinya dan keluarga inti Rajasa. Ternyata ada tiga orang tambahan yang merupakan kakak dan adik dari ayah Kastara, mereka memaksa ikut berunding karena penasaran dengan perempuan yang akan dinikahi oleh seorang Anggasta. Cucu kesayangan dari Arundaya, kakek kandung Anggasta Danadyaksa Arundaya.

"Eh, kok rame ya?" ucap Aruna seraya mengintip dari balik pintu.

Ada Anggasta disana namun tidak ada Kastara, ia nampak cuek dan dingin bahkan menatap Aruna saja tidak.

"Tidak apa Aruna, mereka kakak dan adik saya." sahut Rajasa.

Rajasa celingukan seperti mencari sesuatu di belakang Aruna, melihat Rajasa celingukan Aruna malah ikut-ikutan mencari yang ia sendiri tidak tau apa yang sedang di cari.

"Tidak ada yang mendampingi kamu Aruna?" tanya Rajasa kebingungan.

"Enggak ada pak, emang harus pakai pendamping ya?" Aruna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kita kan ingin membicarakan rencana pernikahan kamu dan Anggasta, harus ada orang yang lebih tua untuk mendampingi kamu mengambil keputusan Aruna."

"Tapi saya gak punya siapa-siapa pak, ayah saya sudah meninggal. Mamah saya gak tau kemana," Aruna tertunduk malu.

Rajasa menghela nafas, "Kamu sebantang kara?"

Aruna mengangguk, sebenarnya ia tidak sebatang kara. Tetapi karena ia hanya anak dari istri kedua, dan setelah ayahnya meninggal ia dibuang oleh keluarga ayahnya bahkan tidak diakui sebagai anggota keluarga mereka.

"Baiklah, kalau gitu semoga kamu paham dengan apa yang nanti akan saya bicarakan." ucap Rajasa.

Tidak banyak penjelasan yang Rajasa berikan, karena Rajasa takut Aruna tidak akan mengerti. Yang jelas semua urusan pernikahan ada di tangan keluarga Rajasa, Aruna hanya perlu melakukan persiapan sebelum menikah. Aruna ingin sekali memilih gaun pernikahannya dan juga dekor yang sesuai impiannya, namun Aruna sadar diri dan harus rela menahan semua keinginannya.

Ada banyak perdebatan antara Rajasa dan ketiga saudaranya, membuat pening Aruna semakin menjadi-jadi karena melihat mereka berdebat. Anggasta melirik sedikit ke arah Aruna, ia ingin tertawa melihat wajah Aruna saat ini. Aruna menatap mereka kebingungan dengan mulut sedikit menganga, ia mencoba mencerna setiap ucapan yang di perdebatkan ayah Kastara juga om dan tantenya.

"Aruna, ayo ikut saya keluar." ajak Anggasta.

"Tapi kita belum selesai berunding, liat tuh pak Rajasa aja masih berdebat sama om dan tante kamu mas." sahut Aruna.

"Udah selesai kok, tinggalin aja. Ayo ikut saya makan siang,"

Aruna mengangguk dan segera mengikutinya keluar, sebenarnya ini tidak bisa disebut dengan makan siang karena hari juga sudah menjelang sore. Anggasta menyuruh seorang waitress untuk membawakan makanan yang paling spesial, Anggasta memilih meja yang berhadapan dengan laut karena Anggasta suka melihat pemandangan laut saat makan.

Tidak butuh waktu lama, makanan yang Anggasta pesan sudah datang. Ada tujuh jenis makanan yang mereka sajikan di atas meja, air liur Aruna serasa berseluncur di dalam mulutnya saat melihat tujuh hidangan lezat yang ada di depan matanya.

Seperti biasa, sebelum makan Aruna selalu mendokumentasikan makanan lewat foto terlebih dahulu. Anggasta sedikit kesal karena ia sudah sangat kelaparan, tapi masih harus menunggu Aruna selesai memotret hidangan. Penderitaan Anggasta akhirnya berakhir, Aruna selesai memotret hidangan dan ia siap menyantap seluruh makan lezat tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status