"Terserah Mama saja!"
Tanpa sopan santun, aku langsung bangkit dari tempat dudukku, memasang wajah masam dengan sejuta amarah yang kubawa bersamaku. Aku berjalan cepat tanpa melihat kemanapun, karena yang kupikirkan sekarang hanyalah kabur dari perdebatan panjang. Ya, dengan kekesalan di hati, ku banting pintu kamarku dengan keras. Ku hempaskan tubuhku ke ranjang yang terasa seperti semak berduri. Aku memilih egois, mengurung diri di kamar dan tidak ingin menemui siapapun, aku hanya ingin tidur dan memejamkan mataku agar aku bisa melupakan kejadian hari ini, tapi semakin aku menutup mata semakin mata ini tidak ingin dipejamkan. Bahkan keadaan ini berlangsung hingga satu minggu, dimana aku seperti mayat hidup, antara hidup segan, mati tidak mau. Hari-hariku terasa sangat hampa dan tidak berdaya, bahkan ketika berada di kantor pun aku tidak berkonsentrasi bekerja sama sekali. [Jelek, jalan yuk!] Pesan singkat dari Arya kini tidak ku pedulikan. Pandanganku tertuju pada langit yang terlihat mendung, seolah hujan lebat akan turun mengguyur bumi ini. Seketika aku menoleh ke arah jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wib, waktu dimana tugasku sebagai seorang abdi negara telah usai. Namun, entah mengapa hari ini rasanya hatiku tidak tenang, seolah ada sesuatu yang mengganjal, hingga rasanya terlalu berat melangkahkan kaki kembali ke rumah. Tapi, mau tidak mau suka tidak suka, aku tetap harus pulang karena aku tidak ingin membuat orang tuaku khawatir. Dengan motor matic kesayangan, aku kembali ke rumah dengan sejuta gundah di hatiku. Namun, diri ini kembali dikejutkan oleh sebuah keramaian di rumah. 'Apakah ada acara hari ini?' ucapku di dalam hati. Seketika hati ini terkejut ketika sampai di depan rumah, aku melihat sudah banyak kendaraan berjejeran, terlihat juga famili dan orang-orang yang kukenal berkumpul sembari bercanda tawa. Mama Anita menghampiriku yang tengah memarkirkan motorku. Wajah mama terlihat berbeda dari biasanya. Dengan senyum sumringah yang tergambar jelas di wajah cantiknya. Ada rasa mengganjal dari dalam diriku, hingga ku putuskan untuk mengobati rasa penasaran itu. "Ma, apa ada acara spesial hari ini?" tanyaku dengan wajah kebingungan. Mama menggandeng tanganku berjalan menuju kamar dengan sejuta rasa bahagia yang beliau bawa bersamanya. Sementara orang-orang terus memperhatikanku, bahkan terlihat tersenyum ramah kepadaku, seolah aku adalah ratu yang sangat dipuja hari ini. "Nak, bersiaplah, hari ini keluarga Ustadz Fahri akan datang melamar mu secara resmi, kalian akan bertunangan." Debaran jantung luar biasa bukan pertanda bahagia, namun lebih kepada kaget dan tidak menyangka. "Bertunangan, Ma? Dengan lelaki yang seminggu yang lalu datang ke rumah kita?" Dengan seluruh tubuh yang gemetar, aku mencoba memastikan kalau lelaki yang akan menjadi tunangan ku adalah lelaki yang waktu itu datang ke rumahku. "Iya, Sayang, Ustadz Fahri adalah lelaki yang baik dan tepat untuk menjadi suamimu." Mama Anita tersenyum sembari membelai pipiku dengan lembut. Namun tidak denganku, jiwaku serasa tidak lagi di ragaku, seolah malaikat izrail datang untuk mencabut nyawaku. Seluruh tubuhku menggigil, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah nyawa akan meninggalkan badanku. Aku kedinginan seperti berada di kutub utara, mulutku kaku dan tidak bisa membantah mama seolah bisu. "Sayang, setelah isya keluarga calon tunanganmu akan datang, jadi bersiaplah!" Lagi dan lagi aku dikejutkan oleh perkataan yang seolah menyengatku. Mama Anita meninggalkanku dengan senyum indah yang terlihat menawan, wanita separuh baya itu memang sangat mengharapkan ku menikah, jadi hari seperti ini adalah hari yang telah beliau tunggu sejak lama. Aku sadar, usiaku memeng sudah sangat matang untuk berumah tangga, bahkan teman-teman seusiaku telah menggendong anak-anak mereka. Selain itu, aku selalu menjadi bahan pergunjingan dan tranding topik di lingkunganku. Mereka mengatakan perkataan yang menyinggungku, mulai dari hinaan, sindiran bahkan sesuatu yang membuat mentalku remuk. Percuma saja cantik dan sukses tapi belum menikah, percuma punya banyak pacar tapi hanya dijadikan permainan bahkan sampai ditinggal nikah, bahkan yang parahnya mereka mengatakan kalau aku adalah wanita yang sangat pemilih dalam mencari pasangan. Ya, aku akui, aku memang memilih lelaki terbaik yang tidak hanya menjadi imamku di dunia, tetapi juga menjadi imamku di surga kelak. Rasanya sangat wajar jika seorang wanita mengharapkan lelaki baik-baik untuk menjadi suaminya karena Tuhan juga telah berjanji bahwa wanita baik-baik diciptakan untuk lelaki baik-baik dan begitu sebaliknya, lelaki baik-baik juga diciptakan untuk perempuan baik-baik, karena jodoh itu cermin diri dan jodoh telah ditetapkan karena setiap insan ciptaan Tuhan diciptakan berpasang-pasangan. Perjalanan cinta yang panjang, terjal dan berliku telah ku lewati, tapi apalah dayaku, aku hanya manusia biasa yang hanya bisa berusaha dan berdoa, tetap keputusan akhirnya Tuhan yang menentukan dan Tuhan belum menetapkan waktu terbaik untukku bertemu dengan jodohku. Bukan tidak ada yang melamar ku, tapi tetap saja hatiku belum terbuka dan bergetar untuk menerimanya. Pernah aku memaksakan diri menerima lamaran dari lelaki yang tidak kusukai karena ingin lari dari pertanyaan kapan menikah, tapi yang namanya bukan jodoh, tetap saja ada jalan Tuhan untuk memisahkan. 'Kania, bukankah lelaki dengan pemahaman agama yang tinggi seperti Ustadz Fahri yang selama ini kamu doakan?' Ucapan bergejolak di dalam hatiku membuat kepalaku terasa teramat pusing seperti ingin pecah. Ingin rasanya aku menghantamkan kepala ini ke dinding agar aku amnesia dan tidak merasakan sakit lagi, ingin juga aku berteriak dan memaki sangat keras, tapi aku bukanlah wanita yang tidak punya sopan santun hingga mempermalukan diriku dan keluargaku di khalayak ramai. Ah, apapun alasannya tetap saja aku tidak bisa menerima perjodohan ini. Ya, kali ini kedua orang tuaku kelewatan, bagaimana mungkin beliau menentukan hari pertunangan tanpa meminta pendapatku. Hatiku semakin sakit dan hancur hingga rasanya ingin mati saja. Hidup yang kumiliki kini tidak lagi menjadi milikku, bahkan pendapat dan keinginanku tidak lagi didengar oleh kedua orang tuaku. Aku masuk ke kamarku, membanting pintu kamar, kemudian menghempaskan tubuhku di ranjang dalam keadaan hati yang berkecamuk. Aku merasa tidak berdaya, tidak kuasa menanggung rasa sakit ini sendirian, hingga kesedihan ini ku curahkan lewat butiran-butiran air mata yang mengalir membasahi pipi bulat ku. Aku memikirkan berbagai cara agar pertunangan ini bisa dibatalkan, tapi aku berada di jalan buntu dimana jurang yang menjadi akhirnya. Jika aku melangkah maju maka keluargaku akan malu muka, jika aku menerima maka aku akan dihadapkan pada pernikahan yang tidak aku inginkan seumur hidupku. 'Apa yang harus kulakukan sekarang?' ucapku di dalam hati dengan gejolak dari dalam dada."Kania, Mas yakin kamu akan mendapatkan lelaki terbaik dan terhebat seperti yang kamu harapkan selama ini. Ikhlaskan dia yang telah pergi dan buka hati untuk dia yang nantinya akan mengisi hari-harimu. Mas yakin, wanita baik sepertimu akan mendapatkan lelaki terbaik juga, karena jodoh adalah cermin diri, dan wanita baik-baik akan dipersatukan juga dengan lelaki baik-baik," ucap Arya menasihati ku.Kutatap lelaki itu dengan seksama, penuh kekaguman dan rasa syukur. Ya, akhirnya aku menyadari kalau Arya adalah sosok lelaki yang bisa mengayomiku, ia menasehatiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adiknya, melindungi dan menjagaku seperti saudaranya sendiri. Aku tahu, Arya adalah laki-laki. Ia memiliki naluriah laki-laki, sikap dan jiwa seorang lelaki yang mungkin saja mudah jatuh dan dimanfaatkan oleh wanita yang tidak benar-benar tulus mencintainya. Ia mungkin juga akan tergoda dengan wanita cantik dan seksi seperti sebelumnya, karena tantangan terbesar seorang lelaki yang telah su
"Ma, Bella terkagum-kagum dengan agama islam. Islam begitu memuliakan kedua orang tua dan Mama adalah surganya Bella."Bella bersujud dan mencium telapak kaki mamanya dengan tulus dan ikhlas. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Jangan seperti ini, Sayang!" Mama Ratna membantu putri kesayangannya untuk bangun dan bangkit. Beliau memeluk putri kesayanggannya itu. Rasa haru dan bahagia memenuhi hati dan fikiran mama Ratna, betapa ia sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki putri yang teramat sangat baik dan berbakti seperti Bella."Nak, kamu benar-benar permata dalam kehidupan Mama dan Papa. Maaf karena selama ini kami membiarkanmu tumbuh sendiri tanpa perhatian dan kasih sayang."Mama Ratna membelai lembut rambut putrinya, matanya mengisyaratkan sebuah penyesalan yang teramat sangat dan keinginan untuk membalas sesuatu yang telah hilang menjadi senyum kebahagiaan untuk Bella."Ma, apa Bella boleh nggak usah ke kantor dulu? Bella ingin fokus di rumah dan belajar agama. Biar Lara saja y
"Tentu jadi, Sayang, nanti kita packing dan membereskan semua perlengkapan travelling," ujar mama Ratna bersemangat."Ma, emangnya Papa mau libur ngantor?" Papa Herman juga salah seorang manusia yang sangat gila dan mencintai pekerjaan, hingga Bella ragu papanya bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau tidak."Tenang, Sayang, perusahaannya 'kan punya kita, jadi tidak ada alasan bagi Papa untuk menolak," terang mana Ratna.Papa Herman menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terlihat bersangat untuk liburan di luar kota.Ya, memang benar, Bella dan keluarganya sudah lama sekali tidak liburan bersama. Setidaknya sakitnya Bella menjadi perekat hubungan keluarga Bella."Terima kasih, Papa." Bella tersenyum dan terlihat sangat bersemangat."Kalau begitu, sekarang Papa ke kantor dulu ya. Papa ingin menyiapkan semua berkas-berkas dan pekerjaan yang tertumpuk sekalian memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sekretaris papa selama kita tid
Bella memeluk mama Ratna, ia tidak bisa berkata apa-apa karena saat ini yang bisa dilakukannya hanya menangis."Sayang, Mama ada untukmu."Mama Ratna menepuk-nepuk punggung putri kesayangannya sembari membelai rambut Bella dengan penuh cinta dan kasih sayang."Ma, apa kita boleh berjalan-jalan ke luar kota? Bella ingin sekali liburan dan menenangkan fikiran," ucap Bella lembut namun tersedu-sedu."Tentu boleh, Nak. Bella boleh pergi ke mana saja yang Bella inginkan. Apa kamu pengen ke luar negeri, Sayang?" Mama Ratna ingin mewujudkan semua keinginan anak kesayangannya karena yang terpenting baginya adalah Bella bisa kembali ceria lagi dan bisa tersenyum lagi seperti dulu."Ma, Bella ingin liburan sama Mama dan Papa, tapi Bella ingin di Indonesia saja," terang Bella.Bella menatap wajah mama dengan penuh harap.Mama Ratna kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi putri kesayangannya itu."Sayang, Bella ingin ke mana?" Mama Ratna bertanya dan mendengarkan keinginan putri kesay
Bella tidak peduli dengan pertanyaan Rasya, mau tidur atau berpura-pura tidur saat ini yang ingin Bella lakukan hanya diam sembari menutup matanya."Bella, aku tahu kamu tidak tidur, tapi kalaupun kamu tidur maka beristirahatlah dengan tenang, aku akan membangunkanmu ketika kita telah sampai di rumah," ujar Rasya.Rasya terus melajukan mobilnya dengan hati yang berkecamuk, penuh dengan kegelisahan dan rasa bersalah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bella.Rasya menatap Bella, gadis cantik itupun terlihat sangat cantik saat menutup mata.Rasya kemudian menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipi Bella, hati Rasya terlihat sangat hancur karena melihat hal itu terjadi."Bella, kita sudah sampai di rumah." Rasya membangunkan Bella yang sebenarnya tidak tidur itu.Bella membuka matanya kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum. Bella tidak ingin melihatkan wajah murung qtau bersedih lagi kepada Rasya."Sya, kamu harus singgah di rumah, aku ingin membuatkanmu salad buah untu
Mama Rasya menatap Bella dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau kemudian menggenggam tangan Bella dengan hangat, Bella merasakan ketulusan di sana."Sayang, Mama sangat merindukan Bella, maaf untuk banyak hal dan terima kasih banyak karena masih mau datang berkunjung ke sini."Ucapan tulus yang ke luar dari mulut mama Rasya membuat Bella terharu, hingga tanpa sadar air mata lagi-lagi membasahi pipi Bella.Kutatap mata mama Rasya dengan air mata yang tidak bisa berhenti ke luar dari mataku. Beliau juga melakukan hal yang sama."Tante, apa benar Tante merindukan Bella?"Dengan nada tersedu-sedu aku ingin memastikan tentang apa yang baru saja aku dengar bukanlah mimpi belaka."Tentu, Sayang, hanya kamu seorang gadis yang Tante anggap seperti anak sendiri dan Tante berharap kamu bisa menjadi istrinya Rasya." Secara terang-terangan mama Rasya mengungkapkan apa yang disimpannya di hatinya. Sementara Bella saat ini terlihat haru bercampur kaget."Bagaimana mungkin seseorang yang melar