Risa, seorang ibu yang penuh kasih sayang, harus menghadapi ketidakadilan dari ibu mertuanya yang selalu memberikan perlakuan berbeda antara anaknya dan anak mertuanya. Risa merasa sedih dan frustrasi ketika anaknya, Rania, selalu mendapatkan pakaian bekas dan perlakuan yang tidak adil. Namun, Risa tidak ingin membuat anaknya merasa sedih dan berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk Rania. Ketika ibu mertuanya menawarkan sepeda bekas untuk Rania, Risa harus membuat keputusan yang sulit. Apakah Risa akan menerima tawaran itu atau membelikan sepeda baru untuk Rania? Bagaimana Risa akan menghadapi ketidakadilan dan membuat anaknya bahagia?
View MoreAku yang tengah sibuk mencuci piring – piring kotor sisa aku memasak tadi, dikejutkan oleh suara gadis kecil yang selama lima tahun ini menemani hari – hariku. Rania, putriku yang cantik, berlari menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. “Bunda, bunda!” teriaknya sambil memegang baju bekas yang dikenakannya. Aku tersenyum tipis, tapi perasaan perih di hatiku tidak bisa disembunyikan. Baju bekas itu bukan hanya sebuah pakaian, tapi juga simbol ketidak adilan yang telah lama aku rasakan.
Aku tidak pernah mempermasalahkan baju bekas itu awalnya, tapi semakin kesini, aku merasa tidak adil ketika anak dari adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru, sementara Rania selalu mendapatkan pakaian bekas. Aku tidak tahu mengapa ibu mertuaku melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa aku harus mengatakan sesuatu untuk membuat Rania mengerti. “Rania sayang, bunda minta sama Rania, kalau nenek memberi Rania pakaian bekas lagi, jangan mau ya nak?, Rani bilang saja kalau baju – baju Rania sudah penuh didalam lemari.” Ucapku lembut pada Rania dengan harapan bahwa dia akan mengerti. Tapi Rania hanya menatapku dengan wajah sedihnya. “Tapi kenapa bun, kan bajunya masih bagus? Rania juga belum punya baju model ini” tanya Rania. "Iya Bunda tau Rania suka sekali baju ini. Untuk sekarang baju ini gak apa apa untuk Rania pakai, tapi lain kali jangan ya nak, Bunda mohon". Ucapku seraya menahan supaya air mata ini tidak jatuh. Rania hanya mengangguk paham dengan penjelasanku. Aku tersenyum lembut dan memeluk Rania. “Nak, ayah sama bunda masih sanggup kok membelikan Rania baju baru yang lebih bagus dari pada ini.” Ucapku dengan harapan bahwa Rania akan paham mengapa aku melarangnya. Rania mengangguk dan menghampiri makanannya yang sebelumnya sudah aku siapkan untuknya dimeja. Aku menatapnya dengan perasaan haru dan berharap bahwa suatu hari nanti, Rania akan mendapatkan perlakuan yang adil dan sama seperti cucu yang lainnya. "Mas Haris sedang asyik menonton TV sambil tiduran di matras lantai. Aku menyerahkan secangkir kopi kesukaannya dan duduk di dekatnya. “Mas, tadi mama kasi Rania pakaian bekas lagi,” kataku dengan nada yang sedikit sedih. Mas Haris memandangku dengan mata yang masih fokus menatap layar TV. “Aku harus gimana lagi, aku juga bingung melihat sikap mama,” jawabnya dengan nada yang sedikit kesal. "Iya mas sama. Padahal kemaren aku lihat mama menitipkan Rini baju untuk Melati. bajunya baru dibeli sama mbak Sinta tukang baju langganan mama." kataku lagi. Untuk sesaat Mas Haris terdiam sebelum akhirnya menggambil napas dalam " Yang sabar ya dek, mungkin mama cuma bisa belikan satu pakaian aja buat cucunya makanya anak kita cuma kebagian yang bekas". Balas mas Haris tersenyum tipis mencoba menenangkan ku. "Tapi mas, baju yang dibeli mama untuk Melati itu ada tiga pasang lo banyaknya. Apa karena aku ini anak orang miskin mas, makanya mama bedain antara anakku sama anaknya Rini.” Jawabku lagi yang kini udah mulai berkaca – kaca menahan buliran bening itu. Lama Mas Haris diam menunduk, kemudian ia merangkulku, memberiku kekuatan agar aku tahu bahwa masih ada dirinya didekatku. "Huum.. ya sudah kamu sabar aja ya. Besok kalau mas dapat uang lebih, kamu belikan baju baru untuk Rania ya dek," Aku mengangguk dan memandang ke arah lain. berusaha menahan bulir bening itu. Aku tidak bisa memahami mengapa ibu mertuaku selalu memberikan pakaian bekas untuk Rania, sementara anak adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru. Sebenarnya aku pun tau kalau diam - diam mas Haris juga memendam sakit hati karena melihat anaknya diperlakukan tidak adil oleh ibu kandungnya sendiri. Hari ini, aku sengaja memasak kesukaan suamiku, rendang jengkol, dan berniat mengantari sebagian untuk mertuaku. Ketika aku tiba di dapur, ibu mertuaku sedang sibuk memotong sayuran. “Assalamualaikum ma,” kataku sambil melangkahkan kaki perlahan masuk ke dapur. “Waalaikumsalam,” balas ibu mertuaku dengan nada yang biasa saja. Aku menyerahkan rendang jengkol yang kubawa dan bertanya apa yang sedang dimasak oleh ibu mertuaku itu. "Mama mau masak apa? sini biar Risa bantu."Aku menawarkan diri membantu mama yang kulihat sibuk di dapur. "Oh, mama mau masak sup sedikit buat Melati kasian dia susah makan kata Angga, makanya mama masakin ini. biar nanti si Nisa suruh antarkan sup nya" Jelas mama mertuaku. Aku mengangguk dan membantu ibu mertuaku memotong sayuran walau di dalam hatiku rasanya sakit. Tapi, jauh dilubuk hatiku,aku terus saja memikirkan tentang ketidak adilan yang selalu keluarga kecilku rasakan. Angga adalah adik kandung mas Haris yang berarti adik ipar ku mereka tiga bersaudara yang bungsu bernama nisa, sedangkan Rini adalah istrinya Angga. Ya kami sama-sama menantu dirumah ini tapi ntah mengapa mama mertua memberi perlakuan khusus untuk Rini. Ya mungkin karena Rini pintar mengambil hati mama. Dulu ketika sebelum Rini menikah dengan Angga ia sering datang kerumah ini untuk sekedar mengantar makanan untuk Angga, bahkan seminggu bisa sampai empat kali dia datang. Ketika Rania memanggilku, aku segera menghampiri dia. “Bunda, Rania mau sepeda seperti punya Arin,” rengek Rania. " Sepeda ...?" "Iya bunda, Arin baru saja dibelikan sepeda sama ayahnya ." Jelas Rania dengan mata yang berbinar - binar. Aku tersenyum dan memeluk Rania. “Nanti kalau ada rezekinya, bunda belikan ya untuk Rania,” kataku dengan harapan bahwa Rania akan memahami tentang kesulitan orang tuanya. Tapi, ibu mertuaku tiba-tiba datang dan menawarkan sepeda bekas milik Nisa untuk Rania. "Ris, itu kan di gudang ada sepeda bekas si nisa waktu kecil dulu, mama lihat batangannya masih kuat kok, coba aja kalian perbaiki untuk Rania.” Ucap mertuaku tiba-tiba yang sedari tadi memperhatikan percakapanku dengan Rania. Sekilas tidak ada yang salah dari ucapan ibu mertuaku itu, namun akan lain jadinya ketika ia, akan membelikan sepeda baru untuk Melati, dengan berbagai macam alasan tentunya. "Oh.. iya ma, nanti Risa bilang sama mas Haris dulu mau tidak dia memperbaikinya, kemaren juga mas Haris ada bilangg kalau mau membelikan Rania sepeda baru, kasian kalau harus pakek yang bekas terus."Balasku tersenyum tipis, sengaja aku berkata demikian berharap mertuaku itu bisa menyadari kesalahannya. Tapi bukannya sadar ibu mertuaku malah menjadi. “Alah, untuk apa sih beli yang baru, kalau yang lama masih bisa di pakek, punya anak itu jangan suka dimanjakan Ris, entar gedenya ngelunjak, baru deh kamu tahu rasa.” Jawab mertuaku ketus lalu kembali kedapur meninggalkanku sendiri. Mama… mama, sepeda udah gak layak gitu kenapa masih harus dikasikan untuk anakku. Bukan aku tak tahu bagaimana kondisi sepeda bekas milik Nisa, kedua bannya bahkan sudah pada sobek, bagian lingkarnya juga minta diganti karena sudah karatan dan ada sebagian jari jarinya yang patah. lain lagi dudukannya yg sudah lepas, belum lagi rantainya yang berkarat dan putus kalaupun diperbaiki juga harus diganti, Batinku.POV: Salma RaharjoNamaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu mena
Setelah kepergian Mbak Lia mengantarkan minuman untuk keluarga Rini, aku pun segera menyiapkan makanan yang sudah matang diatas meja untuk makan siang ini. "Ris, kata Bulek makan siang nya cepat disiapin ya, tu keluarga Rini udah kelaparan kayaknya. udah seperti enggak makan sebulan " Keluh Mbak Lia sembari meletakkan nampan kosong. Aku pun mengangguk lantas dengan cekatan menyiapkan piring serta yang lainnya karena Cuma itu saja yang belum aku siapkan. "Oh iya Mbak, ini juga sudah mau selesai kok,tinggal di taruh di wadah saja." Kulihat Mbak Lia bukan membantuku malah clingak clinguk mencari seseorang didapur. “Cari apa sih mbak, kok seperti orang bingung gitu?" “Lo itu si Rini mana? bukannya dia tadi kemari soalnya tadi waktu Mbak nganter minum dia pamit kebelakang sebentar, Mbak kira dia disini buat bantuin kamu Ris?" terlihat Mbak Lia gusar. "Gak ada Mbak, dari tadi Risa cuma sendirian saja disini, mungkin Mbak salah denger kali, palingan juga dia ngadem dikamar, biasa juga g
"Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai. "Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong. "Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami. Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama. Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?" Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.” Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan
"Kamu lihat si Angga dek, apa yang gak dia punya? Motor dia punya, HP mahal dia juga punya, sama banyak hal lain lagi, semua mama yang belikan. Coba kamu liat mas, semua yang mas mau harus mas dapatkan dengan cara bekerja sendiri," jelas mas Haris dengan raut wajah sedihnya. Sebagai istrinya tentu aku begitu memahami perasaan mas Haris dan mencoba untuk menyabarkan nya. "Yang sabar mas, InsyaAllah rezeki kita suatu saat nanti akan melimpah jadi mas bisa beli apa aja yang mas mau," balas ku tersenyum. Mas Haris tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Amin dek, terimakasih kamu udah mau terima mas apa adanya, walau kamu tau mas gak punya apa-apa bahkan penghasilan mas cuma cukup buat makan kita aja." Aku kemudian mencoba menggoda mas Haris dengan kata-kata manis. "Iya lo mas, gak usah baper gitu ahhh... aku kan cinta kamu apa adanya bahkan makan sepiring berduapun aku mau, Hahaha." Balasku tertawa sengaja agar Mas Haris tidak terus kepikiran tentang perlakuan tidak adil dari ibunya.
"Alhamdulillah," batinku ketika aku melihat Rania begitu senang memiliki sepeda baru. Aku telah menabung setiap hari, menyisihkan sisa uang belanja yang kehemat sedimikian rupa selama dua bulan untuk membelikan sepeda baru untuk Rania, dan sekarang aku bisa melihat dia begitu bahagia.Tiba-tiba, mbak Lia, kakak sepupu suamiku, datang ke kontrakan ku. "Oh, jadi itu sepeda baru Rania ya Ris?" tanya mbak Lia dengan nada yang sedikit penasaran.Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, mbak. Tapi sepeda Rania harganya murah kok mbak, ga sebanding sama punya Dani."Aku kemudian bertanya, "Dani baru beli sepeda juga ya mbak?"Mbak Lia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Ris. Itu juga murah karena beli dua. Kalau satu juga gak dapat harga segitu Ris."Aku merasa sedikit penasaran, lalu bertanya, "Lah, mbak malah borong sepeda ternyata. Kalau gitu Dani sepedanya dua donk mbak?"Mbak Lia menjawab tanpa sadar, "Bukan untuk Dani, sepedanya satu lagi titipan mama mertua mu untuk Melati." Terlihat raut
Aku yang tengah sibuk mencuci piring – piring kotor sisa aku memasak tadi, dikejutkan oleh suara gadis kecil yang selama lima tahun ini menemani hari – hariku. Rania, putriku yang cantik, berlari menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. “Bunda, bunda!” teriaknya sambil memegang baju bekas yang dikenakannya. Aku tersenyum tipis, tapi perasaan perih di hatiku tidak bisa disembunyikan. Baju bekas itu bukan hanya sebuah pakaian, tapi juga simbol ketidak adilan yang telah lama aku rasakan. Aku tidak pernah mempermasalahkan baju bekas itu awalnya, tapi semakin kesini, aku merasa tidak adil ketika anak dari adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru, sementara Rania selalu mendapatkan pakaian bekas. Aku tidak tahu mengapa ibu mertuaku melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa aku harus mengatakan sesuatu untuk membuat Rania mengerti. “Rania sayang, bunda minta sama Rania, kalau nenek memberi Rania pakaian bekas lagi, jangan mau ya nak?, Rani bilang saja kalau baju – baju Rania sudah pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments