Aku terdiam dan tidak sanggup menjawab pertanyaan mama. Bagaimana aku akan membawa seorang lelaki ke rumah untuk dikenalkan sebagai calon suamiku, aku bahkan tidak dekat dengan siapapun selama lebih dari lima tahun terakhir kecuali dengan Arya. Entah mengapa, sejak gagal menikah karena sebuah penghianatan membuat hatiku mati, aku sulit dekat dan percaya dengan makhluk yang namanya laki-laki. Aku beranggapan kalau semua lelaki itu sama dan aku sangat takut untuk ditinggalkan lagi setelah aku memberikan seluruh hatiku kepada makhluk dengan alias buaya darat itu. Ya, Tuhan memang mencemburui hati yang berharap jika bukan kepadanya, jadi saat ini aku hanya menggantungkan hati dan harapanku kepada Tuhan saja, dengan satu keyakinan yang kupegang erat di dalam dada, kalau semua manusia diciptakan berpasang-pasangan dan jika telah waktunya maka jodoh juga akan datang menghampiriku.
"Jika Arya memang lelaki yang kamu sukai maka berhentilah sekarang, Nak! Lelaki itu tidak mencintaimu."Mama Anita lagi-lagi mengatakan kata-kata tajam yang membuat hatiku hancur. Bagaimana bisa orang tuaku menilai Arya sejelek dan serendah itu, padahal Arya adalah lelaki yang sangat baik kepadaku, bahkan ialah lelaki yang berhasil menyembuhkan luka-luka di dalam hatiku. Arya satu-satunya lelaki membuatku percaya kalau masih ada lelaki baik dan tulus di dunia ini selain papa ku. Ya, kami berdua memang tidak berpacaran, kami hanya sahabat dekat yang saling berbagi suka dan duka bersama karena sebuah rasa nyaman, tapi tidak ada orang yang kupercaya selain Arya, tidak ada seorang lelakipun yang membuatku merasa bahagia selain Arya."Sekarang cepat ganti pakaian karena lima menit lagi Ustadz Fahri dan keluarganya akan datang!"Mama Anita keluar dari kamar dengan kekecewaan yang tergambar jelas di wajah beliau, wajah masam itu membuatku merasa bersoda kepada mamaku. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan sekarang. Ya, dalam kebingungan dan ketidakberdayaan akhirnya memutuskan mengganti pakaianku, bukan dengan pakaian terbaik yang mama pilihkan untukku, tapi dengan baju yang sudah ketinggalan zaman yang jarang sekali aku gunakan. Tanpa menggunakan make up, bedak atau pun lipstik, ku pastikan wajahku terlihat jelek dan tidak menarik di depan kaca sebelum akhirnya bersiap keluar dari kamarku dengan menggunakan gamis berwarna abu-abu dan jilbab berwarna merah muda yang menutupi dadaku. Penampilanku tidak seperti anak gadis pada umumnya ketika bertemu dengan pasangannya, tetapi lebih ke ibu-ibu pengajian yang tidak tahu fashion sama sekali, terlihat sangat kampungan, bahkan aku sendiri tidak suka dengan gayaku, tapi ini adalah salah satu usaha penolakanku kepada orang tuaku."Kania, sini, Nak!"Sebuah panggilan yang merupakan kode dari mama, kalau aku harus segera keluar dari kamarku.Dengan langkah kaki berat, aku melangkahkan kakiku keluar dari kamarku dengan hati yang berkecamuk. Tidak ikhlas tentu saja, tidak rela apalagi, yang jelas aku hanya tidak ingin membuat orang tuaku kecewa karena sikapku yang tidak menghargai tamu apalagi tamu itu memiliki niat baik kepadaku."Sayang, sini, Nak!"Mama Anita menghampiriku dengan bersemangat dengan senyum mengembang yang tergambar indah di wajah beliau. Sebuah ekspresi wajah yang menggambarkan kalau beliau memiliki harapan yang sangat besar untuk pertemuan pertama ini."Sayang, kenapa tidak memakai baju yang Mama pilihkan?" bisik mama Anita yang tidak kuhiraukan.Mama Anita menggandeng tanganku untuk duduk di samping beliau, kemudian dengan sangat ramah dan sopan papa Gunawan memperkenalkanku sebagai putrinya."Perkenalkan Bapak Kyai, Ummi Salamah, Ustadz Fahri, ini anak kami Kania."Papa memperkenalkanku dengan bangga sebagai anak perempuan kesayangan dan kebanggaannya kepada keluarga yang terlihat baik yang duduk berhadapan dengan keluarga kami. Tapi durhakanya aku, aku tidak memberikan salam apapun kepada tamu yang datang kecuali memberikan senyum tipis yang terpaksa. Ya, aku melihat keluarga yang datang adalah keluarga yang sangat alim dan paham agama, jadi tentu saja aku bisa mengelak kalau bersentuhan antara seorang muslim yang tidak mukhrim itu tidak diperbolehkan.Aku seperti manusia yang sombong dan angkuh, ilmu dan pemahaman agamaku hanya seujung kuku, tapi bersikap seperti ahli ibadah yang sangat paham dan mengerti agama."Nak Kania, perkenalkan ini Fahri, anak Abi dan Ummi," ucap lembut seorang lelaki separuh baya yang bernama kyai Abdullah.Sekilas kulihat lelaki yang ada di depanku, wajahnya terlihat bersih bercahaya, sungguh wajah yang memancarkan iman di hatinya, matanya sipit dengan tinggi sekitar 170 cm, kulitnya kuning langsat dengan badan yang menututku kurus untuk ukuran laki-laki.Namun, aku tidak peduli dengan lelaki yang ada di depanku, mau ia seorang ustadz atau preman sekalipun tetap saja lelaki itu tidak membuat hatiku bergetar.Jangankan untuk menikah dengannya, memandang wajahnya saja aku sudah tidak mau lagi. Ya, begitulah keegoisan dan kekerasan hatiku, jika aku tidak menginginkan seseorang mau sebaik apapun agamanya, serupawan apapun wajahnya tidak akan membuatku langsung jatuh cinta kepadanya.Bagiku cinta itu adalah sesuatu yang datang dari hati, jika hatiku bergetar maka aku ingin melanjutkan hubungan ketahap selanjutnya dengan lelaki itu, tetapi jika hati ini tidak merasakan getaran cinta itu, maka aku tidak akan mau melanjutkan hubungan ini ketahap yang lebih serius. Karena perkara hati tidak bisa dipaksakan karena menikah adalah ibadah seumur hidup dimana aku akan bersama dengan suamiku selamanya."Kania, maksud kedatangan Ustadz Fahri dan keluarganya ke rumah kita adalah untuk bertaaruf denganmu, Nak," ucap mama Anita begitu antusias dan to the point.'Taaruf?'Setahuku taaruf dilaksanakan oleh dua orang yang sudah bertukar curriculum vitae, kalau yang sekarang ini namanya perjodohan karena aku belum menyetujuinya sama sekali."Jika Nak Kania berkenan, silahkan berkenalan dengan Nak Fahri, dan kami berharap semoga kalian berdua berjodoh ya."Sama halnya dengan mama Anita, ummi Salamah juga terlihat sangat antusias dengan perjodohan ini.Menurut pengakuan ummi Salamah, beliau tidak ingin proses taaruf berjalan lama, jika sudah sama-sama suka maka segera saja menikah, kalau perlu bulan depan karena perkara uang tidak menjadi masalah untuk keluarga mereka.'Bulan Depan?' batinku berteriak.Hatiku semakin hancur dan terasa sangat terluka, bagaimana mungkin perkara menikah dibuat terlalu 'sat set, sat set'Aku bukan sendal yang dipasangkan dengan sembarangan saja, aku bukan barang yang diperjual belikan sesuka hati.Aku manusia, punya hati dan perasaan, punya rencana masa depan yang sudah tertata rapi dalam otakku, apalagi ini adalah perkara ibadah seumur hidup, tentu saja aku tidak ingin salah memilih pasangan karena bagi seorang wanita memilih calon suami adalah memilih masa depannya, menentukan surga dan nerakanya. Aku jugu sangat ingin sekali menikah, tetapi kedok ustadz yang disandang oleh ustadz Fahri juga belum menjamin aku akan menerima perjodohan ini, karena aku punya kriteria sendiri untuk calon pasanganku."Bagaimana, Kania? Apakah Abi dan Ummi bisa menunggu jawaban darimu seminggu dari sekarang?" ucap kyai Abdullah.Ustadz Fahri sepertinya sudah menyerah dan pasrah saja dengan apa yang menjadi keinginam orang tuanya, tapi tidak denganku, aku seperti didesak untuk menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya."Nak, pikirkanlah terlebih dahulu dengan kepala dingin, sholat istikharah, minta petunjuk kepada Allah," bisik mama Anita di telingaku.Sebenarnya aku ingin sekali menolak lelaki itu detik ini juga, namun aku pernah mendengarkan sebuah hadist yang disampaikan oleh seorang ustadz yang berceramah, "Jika seorang wanita dilamar oleh lelaki yang baik agamanya maka hendaknya nikahkanlah karena jika tidak maka akan terjadi kerusakan di muka bumi." Tapi, bagaimanapun juga cinta tidak bisa dipaksakan, ini perkara hati bukan barang dagangan.Aku dilema dan tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang selain diam, walaupun sebenarnya aku ingin segera berlari keluar dari rumah dan berteriak sangat keras kalau aku menolak perjodohan ini."Nak, apakah kamu bersedia?" tanya papa Gunawan.Aku tidak bergemung, walaupun mulutku ingin berteriak tapi mulutku tetap tidak bereaksi sama sekali."Diamnya seorang wanita pertanda setuju," ungkap mama Anita.Saat ini mulutku seperti dijahit, jangankan untuk menolak, bahkan lidah ini terasa sangat kelu dan tidak bisa berkata apa-apa selain menerima dalam diamku."Baiklah, karena kedua belah pihak telah setuju, kalau begitu kami pamit undur diri."Ustadz Fahri dan keluarganya berpamitan pulang dengan senyum indah yang tergambar di wajah mereka, tapi tidak denganku, rasa dongkol dan kesal membuatku murka.Aku bahkan tidak mengantarkan tamu yang datang sampai di depan pintu, tapi lebih memilih diam, duduk di kursi seperti patung hingga sang tamu meninggalkan rumah kami."Kania, Papa dan Mama ingin berbicara, Nak," ucap papa Gunawan dengan nada suara lembut."Nak, Papa dan Mama sudah tidak muda lagi, kami ingin sekali melihatmu menikah dan kami rasa Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk mendampingimu."Sebuah harapan dari orang
Aku tidak bisa membayangkan akan menikah sebulan lagi dengan lelaki yang tidak kukenal, hingga air mata terus mengalir menggenangi pipi bulat ku, air mata ini jatuh bersama hujan yang mengguyur bumi, seolah langit ikut menangis bersamaku. Sungguh, aku lemah dan tidak berdaya. Namun, aku percaya Tuhan mendengar doaku hingga akhirnya secara adat pernikahan akhirnya disepakati dan direncanakan terjadi enam bulan lagi, tepatnya setelah lebaran idul adha.'Alhamdulillah,' batinku.Leganya hati ini membuatku tidak hentinya mengucap syukur, setidaknya aku masih punya kesempatan selama 180 hari lagi untuk menjernihkan pikiran ku, entah untuk membatalkan atau untuk melanjutkan. Kring ..., Kring ..., Kring ....Suara ponsel ku berbunyi dan dengan bergegas aku langsung mengambil ponsel itu.[Assalamualaikum, Kania] Sapaan halus dan lembut yang dikirimkan oleh ustadz Fahri lewat pesan singkat terbaca di notif ponsel ku. Pesan dari seseorang yang tidak kuinginkan, pesan yang membuat seluruh tubu
Batinku mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku memang sangat ingin menikah akan tetapi aku juga tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan bagaimanapun hati ini terus menolak bahwa bukan pernikahan seperti ini yang ku harapkan.'Enam bulan? Itu artinya aku masih punya 180 hari lagi untuk mengatur strategi, ini adalah kesempatan yang bagus,' ucap ku di dalam hati dengan secercah harapan yang kujadikan peluang.Aku bangkit dari pembaringan ku, ku hapus air mata yang terus menggenangi pipi ku, aku merasa Tuhan sedang memberi ku kesempatan untuk merubah takdir ku. Ya, aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz kalau jodoh itu adalah takdir Allah yang bisa diusahakan dengan ikhtiar dan doa, jadi aku menggenggam suatu keyakinan penuh bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, hanya dengan mengatakan, 'Kun Fayakun,' semua akan terjadi.Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian atau cobaan kepada
"Aw, sakit!"Aku merasa seluruh tubuhku kesakitan ketika terhempas ke aspal, sehingga rasanya terlalu sulit untuk bangkit dan berdiri. Beruntung jalan raya sepi sehingga aku bisa bernafas lega karena tidak harus terburu-buru bangkit."Kania, kamu tidak apa-apa?" Aku mendengar sosok yang sangat kukenal datang menghampiriku dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah tampannya."Arya, kamu disini?" ucap ku dengan nada suara lembut karena menanggung kesakitan saat ini."Kamu ingin mati, Kania?" bentak Arya.Mata Arya melotot, pipinya memerah, ia terlihat marah bercampur kecewa kepadaku. Sementara aku, tidak ada yang bisa kulakukan selain diam tertunduk. Aku memang salah, bahkan perjodohan sialan itu membuatku tidak lagi menghargai hidupku yang berharga, aku benar-benar tidak berdaya seolah bumiku terlah runtuh ditimpa langit."Ayo bangun!" Arya menggotong tubuhku, membantuku bangkit, namun rasanya seluruh tenagaku habis hingga aku merasa tidak sanggup untuk berdiri, hingga
Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya."Arya, kamu tidak cemburu 'kan?Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan."Aku ingin mencari angin!"Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.Bruk ...Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak."Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas."Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk.Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi
Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat khawatir melebihi rasa khawatir seorang sahabat.Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan matiku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ya, menerima takdir, meskipun banyak hal di dunia ini yang belum kudapatkan, salah satunya keinginan untuk menyempurnakan agama."Kania, bangun! Aku tidak b
Aku tidak bisa berpikir jernih, yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidupku. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku.Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gaun pengantin berwarna putih mengelilingi kota dengan menubggangi kereta kencana bersama suamiku sembari berpegangan tangan. Tapi kenyataannya kisahku malah seperti Siti Nurbaya, dijodohkan dengan lelaki yang tidak kucintai. Bahkan mirisnya, perjodohan itu bukan karena uang atau harta benda, bukan pula karena terlalu muda, tapi karena aku sudah dianggap perawan tua dan aib keluarga. Sungguh, lingkungan di sekitarku akan menganggap dosa, jika seorang wanita yang umurnya menjelang kepala tiga masih belum menikah. Miri
Terbayang olehku kata-kata mamaku, kalau Arya bukanlah lelaki baik, ia tidak benar-benar tulus bersahabat denganku, ia hanya memanfaatkan kebaikan hatiku, ia hanya ingin bermain-main denganku. Parahnya lagi, mungkin lelaki itu hanya penasaran denganku. Sungguh, tidak ada penilaian dan kata-kata baik yang mama lontarkan untuk Arya."HP-ku mana?" Karena tanganku sedang terluka, aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya kepada Arya."Kamu perlu diobati terlebih dahulu, nanti aku akan mengambilkan HP-nya," ucap Arya dengan nada suara datar. Sungguh, kepeduliannya saat ini terdengar seperti sebuah basa-basi yang mengandung toxic. Tapi, aku tidak ingin berpikir negatif karena akan menambah energi yang merusak mood dan perasaanku."Aku ingin menelpon sekarang!" Dengan nada suara tinggi, aku membentak Arya, mengungkapkan isi hati dan amarahku karena sikapnya yang tidak peduli dengan perasaan orang tuaku. Sungguh, lelaki itu bersikap seolah-olah