"Nia, ada yang akan datang ke rumah kita malam ini, cepat pulang ya, Nak!"
Kata-kata mama Anita selalu terngiang-ngiang di dalam benakku, padahal ada setumpuk pekerjaan di meja kerjaku yang deadline dua jam lagi.Berkali-kali mama juga menghubungiku, beliau mengingatkan agar aku tidak berkeliaran sepulang dari kantor. Sungguh, kata yang membuatku semakin tidak ingin pulang ke rumah.Aku sangat yakin kalau mama akan menjodohkanku lagi dengan seseorang. Tidak sekali dua kali, bahkan hampir setiap bulan ada saja lelaki yang beliau kenalkan kepadaku.Usia dua puluh tujuh tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk seorang wanita menikah, apalagi aku tinggal di kampung yang memang melihat seorang wanita yang belum menikah sebagai aib. Ya, usiaku adalah usia yang rentan mendapatkan ejekan dari lingkungan di sekitarku, karena tidak menikah dianggap tidak laku bagi mereka. Seperti sebuah barang, aku seperti tidak bernilai dan tidak ada harganya bagi mereka.Wajah yang cantik dan awet muda dengan karir yang cemerlang tidak menjamin seorang wanita akan menikah di usia muda, karena terkadang rutinitas pekerjaan membuat diri ini lupa kalau usia sudah tidak lagi muda."Bosan ah!"Aku meninggalkan segudang pekerjaan itu, keluar dari ruangan untuk mencari udara segar agar pikiranku kembali jernih."Kania, Kania, kok bengong?"Terdengar olehku suara yang tidak asing tengah memanggil-manggil namaku.Aryaguna Wiratmaja, lelaki dua puluh empat tahun yang sejak tiga tahun terakhir menjadi malaikatku. Lelaki terbaik yang selalu ada disetiap suka dan dukaku, lelaki hebat yang menjadi sandaran hatiku, tempatku mencurahkan semua isi hatiku.Lelaki tampan itu keluar dari mobil sport berwarna biru miliknya dengan penampilan rapi dan gagah rupawan, ia seorang pengusaha muda yang sedang merintis karir di bidang fashion dengan bisnis yang saat ini sedang berkembang pesat."Jelek, ada apa? Kenapa wajahnya murung begitu?" ucap Arya sembari mencubit hidungku yang sangat jauh dari kata mancung.Tetesan air mata yang sedari tadi ku bendung akhirnya tercurahkan juga. Entah mengapa, kedatangan Arya malah membuatku semakin ingin menangis sejadi-jadinya. Aku ingin mengadu dan mencurahkan semua beban yang tengah kutanggung kepadanya, aku ingin bersandar di bahunya dan aku ingin ia membantuku keluar dari masalahku."Arya, sepertinya Mama akan menjodohkan ku lagi," ucapku tiba-tiba dengan isak tangisan."Paling nanti gagal lagi, Jelek."Celotehan lelaki dengan tinggi 170 cm dengan kulit putih itu cukup menghiburku, aku tertawa di dalam tangisku. Memang ini bukan kali pertama aku bercerita tentang perjodohan kepada Arya, hingga lelaki tampan itu mulai paham dan mengerti tentang problem yang tengah kurasakan sekarang."Sudah ah, jangan cengeng, yuk jalan!"Arya menarik tanganku, membawaku berjalan memasuki mobilnya, namun aku tidak ingin kemana-mana sekang, karena aku dalam kondisi mood yang kurang baik."Aku ingin pulang," tolak ku lembut sembari melepaskan tanganku dari tangan Arya."Tapi jam kerja masih sejam lagi," ucap Arya sembari melihat arlojinya."Aku hanya ingin pulang.""Sini, biar aku antar!"Arya menggenggam tanganku kembali dan berniat mengantarkan aku pulang ke rumah, tapi aku tidak ingin ia mengantarku karena aku tidak ingin mengajak lelaki yang bukan calon suami ke rumahku. Prinsip ini harga mati dan sudah kupegang erat sejak lama.Bagiku Arya seperti seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomiku. Bahkan, walaupun usianya terbilang lebih muda dariku, tapi kedewasaan sikapnya membuatku merasa sangat nyaman untuk sekedar bercerita dengannya.Arya memiliki energi luar biasa yang membuat wanita sepertiku seperti terhipnotis, ia seperti maghnet yang membuatku lengket dan bergantung kepadanya, bahkan hanya dengan menatap wajahnya saja hatiku sudah merasa teramat sangat bahagia."Aku pulang sendiri saja."Dengan gerakan sigap, aku melepaskan genggaman tangan Arya, berjalan cepat dan langsung mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Ya, walaupun aku harus bolos beberapa menit dari jam kerja, setidaknya saat ini aku ingin menghindari Arya, dan agar mama Anita tidak terus-terusan menelponku."Nia, tunggu!" Teriakan Arya tidak kuhiraukan, karena aku harus cepat sampai di rumah agar kedua orang tuaku tidak khawatir."Nanti aku telepon," ucap Arya lagi.Aku terus melajukan kendaraanku hingga dalam tiga puluh menit sampailah aku di depan rumahku.Ku parkirkan motor matic kesayanganku, membuka helm berwarna merah muda yang selalu menemaniku, sebelum akhirnya berlari menuju kamar. High hells yang ku kenakan tidak menghalangi langkahku untuk terus melangkah, karena baju dinas yang kukenakan terasa sangat gerah. Aku ingin segera mandi dan bersemedi di kamar untuk menghindari perbincangan dengan mama. Tapi, mama tidak akan tinggal diam, dengan berbagai cara beliau akan mencari cara untuk mengobrol denganku.Tok ..., Tok ..., Tok ....Sesuai dugaanku, dalam sepuluh menit, terdengar olehku mama mengetuk pintu kamarku, tapi aku bersikap tidak peduli.Aku segera membaringkan tubuhku di ranjang, menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan pura-pura menutup mata seolah tidak mendengar panggilan dari orang tuaku.Untuk saat ini aku tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk keluargaku, aku hanya ingin mengurung diriku di kamar dengan membawa sejuta kesedihan bersamaku.'Maafkan, Nia, Mama.'Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena telah mengabaikan orang tuaku. Namun, ini adalah salah satu bentuk penolakan secara tidak langsung atas ketidaksukaan ku atas perjodohan orang tuaku."Kania, Mama tahu kamu belum tidur, Nak, apa kamu bisa keluar? Mama dan Papa ingin berbicara," ucap mama lembut namun terdengar sangat tegas sekali.Bagaimanapun aku adalah seorang anak dan aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua. Tapi keegoisan membuatku menjadi tinggi hati, aku mengurung diri di kamar tanpa menghiraukan panggilan orang tuaku.Sejam berlalu, mama Anita akhirnya masuk ke kamarku dengan rasa kecewa yang ia bawa bersamanya. Sementara aku, aku menjadi anak yang keras hati, kupalingkan tubuhku menghadap ke dinding dan aku sama sekali tidak ingin melihat wajah mamaku."Nia, Mama tahu kamu belum tidur, tapi satu hal yang harus kamu kalau Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk menjadi suamimu, bukan si Arya, lelaki yang hanya memberikan harapan dan memanfaatkanmu saja!"Ucapan yang keluar dari lisan mama Anita membuat darahku mendidih, aku bangkit dari pembaringanku dengan wajah memerah karena tidak terima jika lelaki yang kuanggap malaikat dijelekkan oleh mamaku."Mama, dimana Mama mengenal Arya? Kenapa Mama bisa beranggapan kalau Arya adalah lelaki yang jahat?" protesku dengan air mata yang jatuh membasahi pipiku."Nak, apa yang kamu harapkan dari Arya? Lelaki itu tidak mencintaimu, bahkan ia mengatakan kalau ia tidak mengenalmu, ia hanya memaanfaatkanmu, Nak!"Dengan suara serak dan mata berkaca-kaca, mama Anita menyampaikan kata-kata yang bertentangan dengan batinku. Arya bukanlah lelaki jahat seperti yang mama Anita tuduhkan, Arya tidak pernah memanfaatkanku, Arya juga tidak pernah mempermainkan perasaanku, ia adalah malaikat yang selama ini selalu ada dalam setiap suka dan dukaku."Mama, Arya bukan lelaki seperti itu," ucapku membela Arya."Nak, lelaki itu tidak mencintaimu, kamu jangan mengharapkan Arya lagi! Ustadz Fahri adalah lelaki yang bisa menjadi imam untukmu, jadi lelaki seperti apa lagi yang kamu cari?"Dengan nada suara tinggi, mama Anita menumpahkan semua isi hatinya kepadaku, beliau marah dan emosi kepadaku. Tapi, aku masih tidak bisa menerima keputusan orang tuaku."Nak, bukankah pasangan itu dilihat dari agamanya, keluarganya dan kekayaannya?"Kata-kata yang keluar dari lisan mama Anita membuatku diam dalam kebisuan, seolah bibir ini tidak ingin membantah apa yang mama katakan, karena bagaimanapun juga, apa yang mama Anita sampaikan benar adanya."Nia, Mama malu karena kamu selalu menjadi gunjingan tetangga, Mama malu karena anak gadis kesayangan Mama belum menikah sementara dua orang adikmu telah menikah, jadi sekarang mau tidak mau suka tidak suka kamu harus menerima perjodohan ini.""Maaf, Ma, tapi Nia tidak bisa menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenal!""Ustadz Fahri adalah lelaki saleh, ia mengajar di pondok pesantren milik orang tuanya, dia lelaki terbaik untukmu!""Tapi Nia tidak mencintai lelaki itu, Ma.""Persetan dengan cinta, cinta akan muncul setelah menikah. Mama dan Papa juga dijodohkan dan bisa hidup bahagia sekarang. Jadi jangan membantah lagi, gantilah bajumu dengan pakaian terbaik karena sebentar lagi Ustadz Fahri dan keluarganya akan datang!"Sebuah ultimatum yang keluar dari lisan mama Anita membuatku merasa sangat hancur dan terluka, diriku seperti tertusuk panah tepat di hatiku."Ma, Nia tidak ingin bertemu dengan Ustadz Fahri."Dengan mata melotot dan nada suara tinggi, aku akhirnya berani mengungkapkan isi hatiku, bahwa aku menolak perjodohan ini."Nia, apa ada lelaki yang kamu cintai? Jika memang ada bawalah lelaki itu ke rumah, kenalkan sama Mama dan Papa, karena hanya itu cara supaya Mama bisa membatalkan perjodohan ini."-Bersambung-Hai readers, selamat datang dibuku pertama aku di goodnovel, semoga pada suka ya.Cerita ini diambil dari kisah dan fenomena yang sering terjadi di masyarakat kita, selamat membaca dan semoga pada suka ya!Aku terdiam dan tidak sanggup menjawab pertanyaan mama. Bagaimana aku akan membawa seorang lelaki ke rumah untuk dikenalkan sebagai calon suamiku, aku bahkan tidak dekat dengan siapapun selama lebih dari lima tahun terakhir kecuali dengan Arya. Entah mengapa, sejak gagal menikah karena sebuah penghianatan membuat hatiku mati, aku sulit dekat dan percaya dengan makhluk yang namanya laki-laki. Aku beranggapan kalau semua lelaki itu sama dan aku sangat takut untuk ditinggalkan lagi setelah aku memberikan seluruh hatiku kepada makhluk dengan alias buaya darat itu. Ya, Tuhan memang mencemburui hati yang berharap jika bukan kepadanya, jadi saat ini aku hanya menggantungkan hati dan harapanku kepada Tuhan saja, dengan satu keyakinan yang kupegang erat di dalam dada, kalau semua manusia diciptakan berpasang-pasangan dan jika telah waktunya maka jodoh juga akan datang menghampiriku."Jika Arya memang lelaki yang kamu sukai maka berhentilah sekarang, Nak! Lelaki itu tidak mencintaimu."Mama Anit
Aku tidak bergemung, walaupun mulutku ingin berteriak tapi mulutku tetap tidak bereaksi sama sekali."Diamnya seorang wanita pertanda setuju," ungkap mama Anita.Saat ini mulutku seperti dijahit, jangankan untuk menolak, bahkan lidah ini terasa sangat kelu dan tidak bisa berkata apa-apa selain menerima dalam diamku."Baiklah, karena kedua belah pihak telah setuju, kalau begitu kami pamit undur diri."Ustadz Fahri dan keluarganya berpamitan pulang dengan senyum indah yang tergambar di wajah mereka, tapi tidak denganku, rasa dongkol dan kesal membuatku murka.Aku bahkan tidak mengantarkan tamu yang datang sampai di depan pintu, tapi lebih memilih diam, duduk di kursi seperti patung hingga sang tamu meninggalkan rumah kami."Kania, Papa dan Mama ingin berbicara, Nak," ucap papa Gunawan dengan nada suara lembut."Nak, Papa dan Mama sudah tidak muda lagi, kami ingin sekali melihatmu menikah dan kami rasa Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk mendampingimu."Sebuah harapan dari orang
Aku tidak bisa membayangkan akan menikah sebulan lagi dengan lelaki yang tidak kukenal, hingga air mata terus mengalir menggenangi pipi bulat ku, air mata ini jatuh bersama hujan yang mengguyur bumi, seolah langit ikut menangis bersamaku. Sungguh, aku lemah dan tidak berdaya. Namun, aku percaya Tuhan mendengar doaku hingga akhirnya secara adat pernikahan akhirnya disepakati dan direncanakan terjadi enam bulan lagi, tepatnya setelah lebaran idul adha.'Alhamdulillah,' batinku.Leganya hati ini membuatku tidak hentinya mengucap syukur, setidaknya aku masih punya kesempatan selama 180 hari lagi untuk menjernihkan pikiran ku, entah untuk membatalkan atau untuk melanjutkan. Kring ..., Kring ..., Kring ....Suara ponsel ku berbunyi dan dengan bergegas aku langsung mengambil ponsel itu.[Assalamualaikum, Kania] Sapaan halus dan lembut yang dikirimkan oleh ustadz Fahri lewat pesan singkat terbaca di notif ponsel ku. Pesan dari seseorang yang tidak kuinginkan, pesan yang membuat seluruh tubu
Batinku mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku memang sangat ingin menikah akan tetapi aku juga tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan bagaimanapun hati ini terus menolak bahwa bukan pernikahan seperti ini yang ku harapkan.'Enam bulan? Itu artinya aku masih punya 180 hari lagi untuk mengatur strategi, ini adalah kesempatan yang bagus,' ucap ku di dalam hati dengan secercah harapan yang kujadikan peluang.Aku bangkit dari pembaringan ku, ku hapus air mata yang terus menggenangi pipi ku, aku merasa Tuhan sedang memberi ku kesempatan untuk merubah takdir ku. Ya, aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz kalau jodoh itu adalah takdir Allah yang bisa diusahakan dengan ikhtiar dan doa, jadi aku menggenggam suatu keyakinan penuh bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, hanya dengan mengatakan, 'Kun Fayakun,' semua akan terjadi.Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian atau cobaan kepada
"Aw, sakit!"Aku merasa seluruh tubuhku kesakitan ketika terhempas ke aspal, sehingga rasanya terlalu sulit untuk bangkit dan berdiri. Beruntung jalan raya sepi sehingga aku bisa bernafas lega karena tidak harus terburu-buru bangkit."Kania, kamu tidak apa-apa?" Aku mendengar sosok yang sangat kukenal datang menghampiriku dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah tampannya."Arya, kamu disini?" ucap ku dengan nada suara lembut karena menanggung kesakitan saat ini."Kamu ingin mati, Kania?" bentak Arya.Mata Arya melotot, pipinya memerah, ia terlihat marah bercampur kecewa kepadaku. Sementara aku, tidak ada yang bisa kulakukan selain diam tertunduk. Aku memang salah, bahkan perjodohan sialan itu membuatku tidak lagi menghargai hidupku yang berharga, aku benar-benar tidak berdaya seolah bumiku terlah runtuh ditimpa langit."Ayo bangun!" Arya menggotong tubuhku, membantuku bangkit, namun rasanya seluruh tenagaku habis hingga aku merasa tidak sanggup untuk berdiri, hingga
Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya."Arya, kamu tidak cemburu 'kan?Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan."Aku ingin mencari angin!"Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.Bruk ...Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak."Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas."Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk.Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi
Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat khawatir melebihi rasa khawatir seorang sahabat.Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan matiku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ya, menerima takdir, meskipun banyak hal di dunia ini yang belum kudapatkan, salah satunya keinginan untuk menyempurnakan agama."Kania, bangun! Aku tidak b
Aku tidak bisa berpikir jernih, yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidupku. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku.Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gaun pengantin berwarna putih mengelilingi kota dengan menubggangi kereta kencana bersama suamiku sembari berpegangan tangan. Tapi kenyataannya kisahku malah seperti Siti Nurbaya, dijodohkan dengan lelaki yang tidak kucintai. Bahkan mirisnya, perjodohan itu bukan karena uang atau harta benda, bukan pula karena terlalu muda, tapi karena aku sudah dianggap perawan tua dan aib keluarga. Sungguh, lingkungan di sekitarku akan menganggap dosa, jika seorang wanita yang umurnya menjelang kepala tiga masih belum menikah. Miri