Share

180 Hari Menuju Akad
180 Hari Menuju Akad
Penulis: Asda Tan

1. Perjodohan?

"Nia, ada yang akan datang ke rumah kita malam ini, cepat pulang ya, Nak!"

Kata-kata mama Anita selalu terngiang-ngiang di dalam benakku, padahal ada setumpuk pekerjaan di meja kerjaku yang deadline dua jam lagi.

Berkali-kali mama juga menghubungiku, beliau mengingatkan agar aku tidak berkeliaran sepulang dari kantor. Sungguh, kata yang membuatku semakin tidak ingin pulang ke rumah.

Aku sangat yakin kalau mama akan menjodohkanku lagi dengan seseorang. Tidak sekali dua kali, bahkan hampir setiap bulan ada saja lelaki yang beliau kenalkan kepadaku.

Usia dua puluh tujuh tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk seorang wanita menikah, apalagi aku tinggal di kampung yang memang melihat seorang wanita yang belum menikah sebagai aib. Ya, usiaku adalah usia yang rentan mendapatkan ejekan dari lingkungan di sekitarku, karena tidak menikah dianggap tidak laku bagi mereka. Seperti sebuah barang, aku seperti tidak bernilai dan tidak ada harganya bagi mereka.

Wajah yang cantik dan awet muda dengan karir yang cemerlang tidak menjamin seorang wanita akan menikah di usia muda, karena terkadang rutinitas pekerjaan membuat diri ini lupa kalau usia sudah tidak lagi muda.

"Bosan ah!"

Aku meninggalkan segudang pekerjaan itu, keluar dari ruangan untuk mencari udara segar agar pikiranku kembali jernih.

"Kania, Kania, kok bengong?"

Terdengar olehku suara yang tidak asing tengah memanggil-manggil namaku.

Aryaguna Wiratmaja, lelaki dua puluh empat tahun yang sejak tiga tahun terakhir menjadi malaikatku. Lelaki terbaik yang selalu ada disetiap suka dan dukaku, lelaki hebat yang menjadi sandaran hatiku, tempatku mencurahkan semua isi hatiku.

Lelaki tampan itu keluar dari mobil sport berwarna biru miliknya dengan penampilan rapi dan gagah rupawan, ia seorang pengusaha muda yang sedang merintis karir di bidang fashion dengan bisnis yang saat ini sedang berkembang pesat.

"Jelek, ada apa? Kenapa wajahnya murung begitu?" ucap Arya sembari mencubit hidungku yang sangat jauh dari kata mancung.

Tetesan air mata yang sedari tadi ku bendung akhirnya tercurahkan juga. Entah mengapa, kedatangan Arya malah membuatku semakin ingin menangis sejadi-jadinya. Aku ingin mengadu dan mencurahkan semua beban yang tengah kutanggung kepadanya, aku ingin bersandar di bahunya dan aku ingin ia membantuku keluar dari masalahku.

"Arya, sepertinya Mama akan menjodohkan ku lagi," ucapku tiba-tiba dengan isak tangisan.

"Paling nanti gagal lagi, Jelek."

Celotehan lelaki dengan tinggi 170 cm dengan kulit putih itu cukup menghiburku, aku tertawa di dalam tangisku. Memang ini bukan kali pertama aku bercerita tentang perjodohan kepada Arya, hingga lelaki tampan itu mulai paham dan mengerti tentang problem yang tengah kurasakan sekarang.

"Sudah ah, jangan cengeng, yuk jalan!"

Arya menarik tanganku, membawaku berjalan memasuki mobilnya, namun aku tidak ingin kemana-mana sekang, karena aku dalam kondisi mood yang kurang baik.

"Aku ingin pulang," tolak ku lembut sembari melepaskan tanganku dari tangan Arya.

"Tapi jam kerja masih sejam lagi," ucap Arya sembari melihat arlojinya.

"Aku hanya ingin pulang."

"Sini, biar aku antar!"

Arya menggenggam tanganku kembali dan berniat mengantarkan aku pulang ke rumah, tapi aku tidak ingin ia mengantarku karena aku tidak ingin mengajak lelaki yang bukan calon suami ke rumahku. Prinsip ini harga mati dan sudah kupegang erat sejak lama.

Bagiku Arya seperti seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomiku. Bahkan, walaupun usianya terbilang lebih muda dariku, tapi kedewasaan sikapnya membuatku merasa sangat nyaman untuk sekedar bercerita dengannya.

Arya memiliki energi luar biasa yang membuat wanita sepertiku seperti terhipnotis, ia seperti maghnet yang membuatku lengket dan bergantung kepadanya, bahkan hanya dengan menatap wajahnya saja hatiku sudah merasa teramat sangat bahagia.

"Aku pulang sendiri saja."

Dengan gerakan sigap, aku melepaskan genggaman tangan Arya, berjalan cepat dan langsung mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Ya, walaupun aku harus bolos beberapa menit dari jam kerja, setidaknya saat ini aku ingin menghindari Arya, dan agar mama Anita tidak terus-terusan menelponku.

"Nia, tunggu!" Teriakan Arya tidak kuhiraukan, karena aku harus cepat sampai di rumah agar kedua orang tuaku tidak khawatir.

"Nanti aku telepon," ucap Arya lagi.

Aku terus melajukan kendaraanku hingga dalam tiga puluh menit sampailah aku di depan rumahku.

Ku parkirkan motor matic kesayanganku, membuka helm berwarna merah muda yang selalu menemaniku, sebelum akhirnya berlari menuju kamar. High hells yang ku kenakan tidak menghalangi langkahku untuk terus melangkah, karena baju dinas yang kukenakan terasa sangat gerah. Aku ingin segera mandi dan bersemedi di kamar untuk menghindari perbincangan dengan mama. Tapi, mama tidak akan tinggal diam, dengan berbagai cara beliau akan mencari cara untuk mengobrol denganku.

Tok ..., Tok ..., Tok ....

Sesuai dugaanku, dalam sepuluh menit, terdengar olehku mama mengetuk pintu kamarku, tapi aku bersikap tidak peduli.

Aku segera membaringkan tubuhku di ranjang, menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan pura-pura menutup mata seolah tidak mendengar panggilan dari orang tuaku.

Untuk saat ini aku tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk keluargaku, aku hanya ingin mengurung diriku di kamar dengan membawa sejuta kesedihan bersamaku.

'Maafkan, Nia, Mama.'

Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena telah mengabaikan orang tuaku. Namun, ini adalah salah satu bentuk penolakan secara tidak langsung atas ketidaksukaan ku atas perjodohan orang tuaku.

"Kania, Mama tahu kamu belum tidur, Nak, apa kamu bisa keluar? Mama dan Papa ingin berbicara," ucap mama lembut namun terdengar sangat tegas sekali.

Bagaimanapun aku adalah seorang anak dan aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua. Tapi keegoisan membuatku menjadi tinggi hati, aku mengurung diri di kamar tanpa menghiraukan panggilan orang tuaku.

Sejam berlalu, mama Anita akhirnya masuk ke kamarku dengan rasa kecewa yang ia bawa bersamanya. Sementara aku, aku menjadi anak yang keras hati, kupalingkan tubuhku menghadap ke dinding dan aku sama sekali tidak ingin melihat wajah mamaku.

"Nia, Mama tahu kamu belum tidur, tapi satu hal yang harus kamu kalau Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk menjadi suamimu, bukan si Arya, lelaki yang hanya memberikan harapan dan memanfaatkanmu saja!"

Ucapan yang keluar dari lisan mama Anita membuat darahku mendidih, aku bangkit dari pembaringanku dengan wajah memerah karena tidak terima jika lelaki yang kuanggap malaikat dijelekkan oleh mamaku.

"Mama, dimana Mama mengenal Arya? Kenapa Mama bisa beranggapan kalau Arya adalah lelaki yang jahat?" protesku dengan air mata yang jatuh membasahi pipiku.

"Nak, apa yang kamu harapkan dari Arya? Lelaki itu tidak mencintaimu, bahkan ia mengatakan kalau ia tidak mengenalmu, ia hanya memaanfaatkanmu, Nak!"

Dengan suara serak dan mata berkaca-kaca, mama Anita menyampaikan kata-kata yang bertentangan dengan batinku. Arya bukanlah lelaki jahat seperti yang mama Anita tuduhkan, Arya tidak pernah memanfaatkanku, Arya juga tidak pernah mempermainkan perasaanku, ia adalah malaikat yang selama ini selalu ada dalam setiap suka dan dukaku.

"Mama, Arya bukan lelaki seperti itu," ucapku membela Arya.

"Nak, lelaki itu tidak mencintaimu, kamu jangan mengharapkan Arya lagi! Ustadz Fahri adalah lelaki yang bisa menjadi imam untukmu, jadi lelaki seperti apa lagi yang kamu cari?"

Dengan nada suara tinggi, mama Anita menumpahkan semua isi hatinya kepadaku, beliau marah dan emosi kepadaku. Tapi, aku masih tidak bisa menerima keputusan orang tuaku.

"Nak, bukankah pasangan itu dilihat dari agamanya, keluarganya dan kekayaannya?"

Kata-kata yang keluar dari lisan mama Anita membuatku diam dalam kebisuan, seolah bibir ini tidak ingin membantah apa yang mama katakan, karena bagaimanapun juga, apa yang mama Anita sampaikan benar adanya.

"Nia, Mama malu karena kamu selalu menjadi gunjingan tetangga, Mama malu karena anak gadis kesayangan Mama belum menikah sementara dua orang adikmu telah menikah, jadi sekarang mau tidak mau suka tidak suka kamu harus menerima perjodohan ini."

"Maaf, Ma, tapi Nia tidak bisa menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenal!"

"Ustadz Fahri adalah lelaki saleh, ia mengajar di pondok pesantren milik orang tuanya, dia lelaki terbaik untukmu!"

"Tapi Nia tidak mencintai lelaki itu, Ma."

"Persetan dengan cinta, cinta akan muncul setelah menikah. Mama dan Papa juga dijodohkan dan bisa hidup bahagia sekarang. Jadi jangan membantah lagi, gantilah bajumu dengan pakaian terbaik karena sebentar lagi Ustadz Fahri dan keluarganya akan datang!"

Sebuah ultimatum yang keluar dari lisan mama Anita membuatku merasa sangat hancur dan terluka, diriku seperti tertusuk panah tepat di hatiku.

"Ma, Nia tidak ingin bertemu dengan Ustadz Fahri."

Dengan mata melotot dan nada suara tinggi, aku akhirnya berani mengungkapkan isi hatiku, bahwa aku menolak perjodohan ini.

"Nia, apa ada lelaki yang kamu cintai? Jika memang ada bawalah lelaki itu ke rumah, kenalkan sama Mama dan Papa, karena hanya itu cara supaya Mama bisa membatalkan perjodohan ini."

-Bersambung-

Hai readers, selamat datang dibuku pertama aku di goodnovel, semoga pada suka ya.

Cerita ini diambil dari kisah dan fenomena yang sering terjadi di masyarakat kita, selamat membaca dan semoga pada suka ya!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Asda Tan
wah, kania bakalan nikah sama siapa ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status