Share

Bab 0005

"Man, Rusman!"

Teriakan seseorang di luar membuat mereka semua bangkit berdiri dengan segera. Di kala senja, tanpa salam maupun permisi seorang lelaki paruh baya masuk begitu saja lantas memanggil sang empunya rumah dengan suara lantang.

"Astaghfirullahhalazim ... Mau apa orang itu datang?" gumam Rusman terdengar lirih.

"Man ... "

"Masuk rumah orang teh ucap salam, Kang, bukan main teriak-teriak begitu!" tegur Rusman, nampak kesal.

"Heleh, rumah kayak kandang kambing begini sok banyak peraturan." cibirnya membuat telinga Adji panas.

"Ada apa, Wak?" tanya Adji pada lelaki tambun yang bergelar kakak dari bapaknya itu.

"Oh, kamu masih mau balik rupanya, Dji? Kalau aku jadi kamu, sih, ogah balik lagi ke kandang begini. Atau, di perantauan pun kamu tidur di bawah jembatan?" cibirnya lagi tanpa tedeng aling-aling.

"Sok-sokan kuliah, otak gak seberapa pun." lanjutnya lalu, tanpa dipersilahkan dia duduk di salah satu kursi yang tersedia.

"Percuma kamu kuliah, kalau pada akhirnya ngikutin jejak Bapakmu yang miskin itu. Paling banter juga bersihin kandang sapi, kena ta* lagi." gelaknya tanpa perasaan. Adji mengepalkan tangannya di samping tubuh, pertanda emosi sudah mengusiknya.

"Contoh, si Hani, walau gak kuliah tapi kerja kantoran. Jadi, manajer lagi, gajinya gede. Bulan ini saja sudah bisa beli mobil." pamernya membanggakan anak pertamanya.

"Uwak mau apa datang ke kandang kambing ini?" tanya Adji lagi penuh penekanan di akhir kata. Tak ingin berlama-lama mendengar ocehan lelaki yang berjarak usia hanya 2 tahun dari bapaknya itu.

"Cuma mau mengingatkan Bapakmu itu, jangan lagi datang ke rumah Emak, ngemis beras atau apapun." ucapnya sembari menunjuk Rusman yang berdiri tak jauh darinya.

"Harusnya kamu yang datang ke sana ngasih Emak, bukan malah minta-minta. Mending gak usah datang ke sana kalau cuma mau minta-minta, Aku susah payah ngasih Emak biar dia makan, bukan buat dibagi ke kamu. Emak sudah tua, kalau bukan dari anaknya dari siapa lagi? Kamu yang masih muda, ya, jangan merongrong, minta-minta seenak udel! Harusnya kamu ke sana tuh ngasih bukan minta." tegasnya lagi tanpa perasaan. Tanpa dia pikirkan perasaan Rusman sebagai adiknya.

"Baru hari ini saya datang ke sana, Kang. Dan itu pun saya mau pinjam, bukan minta." ucap Rusman membela diri.

"Pinjam itu ngembalikin! Lah kamu, mau balikin pakai apa? Mbok ya, sadar diri, Man!" sergahnya tak mau kalah.

"Baik, setelah ini saya juga tidak akan pernah datang lagi ngemis ke rumah Emak. Tapi, saya harap jika ada apa-apa kalian juga jangan datang ke sini." putus Rusman dengan suara bergetar. Yuni mengusap lengan suaminya, memberi ketenangan agar tak terpancing oleh ucapan kakaknya itu.

"Mana bisa begitu, Man. Kalau ada apa-apa sama Emak, itu juga masih tanggung jawab kamu. Enak saja mau lepas tangan begitu saja, di mana baktimu sebagai anak?" ujar lelaki bernama Roji itu dengan entengnya.

"Memangnya apa yang Bapak minta di rumah Nini, Pak?" sela Adji menatap pilu ke arah Bapaknya.

"Beras! Tadi Bapakmu datang ke sana minta beras." sahut Roji cepat.

"Apa beras aking yang sudah banyak kutunya itu tadi yang diberikan Nini, Pak?" tanya Adji mengingat sekantong beras yang tergeletak di samping magic com tadi.

Brak!

Roji menggebrak meja tak terima, tatapannya nyalang ke arah Adji.

"Jaga mulutmu, Dji! Beras yang Nini berikan adalah beras kualitas bagus yang kemarin aku belikan. Bagaimana bisa kamu bilang beras aking yang sudah berkutu." ujarnya marah.

"Wak-Wak ... Kayak gak tahu sifat Nini saja. Nih, kalau Uwak tak percaya!" bantah Adji lalu bangkit dari duduknya. Melangkah menuju lemari kecil lalu mengambil kantong beras yang ia letakkan di atasnya.

Meletakkan beras yang tak layak itu di hadapan Roji yang masih murka. Namun, gengsi Roji tak terima dipermalukan demikian. Ia segera mencari penyanggahan.

"Jangan mengada-ada kamu! Pastilah ini beras kalian sendiri, sedangkan beras bagus dari Emak sudah kalian makan. Kalian pikir aku bodoh, hah?" bentaknya lalu bangkit berdiri.

"Sudah! Kali ini, aku tak masalahkan kamu minta-minta sama Emak, tapi lain kali awas saja kamu, Man! Ngasih, enggak, kok minta-minta!" sungutnya hendak beranjak.

"Tunggu, Wak!" cegah Adji.

"Apa?" hardik Roji.

"Neng, ambilkan yang tadi!" titah Adji pada Santi. Lalu, Santi beranjak ke belakang dan tak lama datang lagi dengan membawa kantong yang sudah mereka siapkan.

"Nitip ini buat, Salma, Wak." Ucap Adji menyodorkan kantong itu ke arah Roji.

"Apa ini?" selidik Roji menatap sinis ke arah kantong kresek berwarna hitam itu.

"Oleh-oleh," sahutnya singkat.

Roji justru tertawa terbahak tanpa mau menyentuh kresek itu. Mencibir lebih tepatnya.

"Dji, Adji! Salma mana doyan makanan orang miskin begini! Sudahlah, gak usah! Buat kalian saja, takutnya besok gak bisa makan. Nanti datang padaku minta-minta lagi!" gelaknya mengibaskan tangan lalu berlalu dari sana dengan tawa menghina yang tak kunjung reda.

"Astaghfirullahhalazim ... "

Adji geleng-geleng melihat kelakuan uwaknya yang sudah kelewatan itu. Menatap Rusman yang masih bergeming di tempatnya.

"Yang sabar, ya, Pak!" hibur Adji memahami perasaan sang ayah. Dia saja terluka dengan ucapan Roji, bagaimana Rusman tidak.

"Bapak sudah biasa, A'." sahutnya lirih. Terlihat dengan jelas sorot kepedihan itu dari pancaran mata sayunya. Lalu kembali menjatuhkan diri di kursi yang tadi diduduki oleh Roji.

"Sejak Bapak kecil, perlakuan Nini sama Uwak memang tidak pernah baik. Terlebih, sejak Aki meninggal. Mereka semakin semaunya sama Bapak dan Ibu. Aa' juga pasti masih ingat perlakuan mereka sama kita dulu, kan? Aa' selalu dibandingkan sama si Hani. Apa-apa Hani, semuanya Hani, sedangkan Aa' tidak mereka lihat sama sekali. Lalu, lahirlah Diaz, semua perhatian seolah milik Diaz. Hani dan Diaz jadi cucu kesayangan Nini walau mereka berdua nakalnya gak ketulungan." Rusman mendesah kecewa. Dan Adji memahami itu, karena dia pun sejak kecil sudah tersisih dari dua sepupunya itu. Hani anak pertama Roji, sedang Diaz anak pertama pamannya, adik bapaknya.

"Sudah, Bang, enggak baik mengingat yang jelek-jelek." sela Yuni yang tak ingin suami dan anaknya larut dalam kesedihan.

"Lebih baik, kita doakan saja mereka yang baik-baik. Bukankah, doa kebaikan akan selalu kembali pada kita?" lanjut Yuni bagai air yang meredam panasnya bara amarah di hati Rusman.

"Terimakasih, Dek, jika bukan kamu, entah sudah jadi apa Abang sekarang." ujarnya tulus menatap wajah sang istri. Membuat Adji dan Santi mengulas senyum melihat keharmonisan orang tua mereka.

"Karena Adek, Abang merasa berharga. Maaf jika Abang sering membuat Adek susah dan belum bisa membahagiakan Adek." lanjutnya dengan mata kembali merebak.

"Bang, dengan Abang menjadikan anak-anak kita anak yang sholeh dan sholehah saja sudah membuat Adek bahagia. Lihat, pewaris ketampanan Abang! Dalam hitungan hari akan menyandang gelar sarjana. Kebahagiaan seperti apa lagi yang kurang, Bang?" sahut Yuni mengulas senyum terbaiknya sembari menatap anak sulungnya dengan penuh kasih.

"Masya Allah ... Terimakasih, Dek." Rusman tanpa malu lagi memeluk Yuni dengan mesra.

"Cie, Bapak, Ibu! So sweet!" ucap Santi turut terharu.

"Sekali lagi, selamat ulang tahun pernikahan, Bapak, Ibu. Semoga harmonis dan bahagia sampai maut memisahkan." doa tulus Adji disertai senyum mengembang.

"Eh, kuenya belum dipotong, A'!" pekik Santi teringat akan kue tart yang masih tertutup tudung saji.

"Yuk, potong, Pak, Bu!" ucap Adji antusias. Rusman dan Yuni pun hanya bisa mengulas senyum kebahagiaan mereka.

Setelah Santi membuka tudung saji, lantas mereka memotong kue cokelat itu dan memakannya bersama. Sembari kembali berbincang, membicarakan perihal wisuda sang putra sulung 3 hari lagi.

Di sela-sela itu, kembali Adji memberikan hadiah utama kepada orang tuanya. Hadiah yang sudah disiapkannya sejak jauh-jauh hari.

"Apa lagi ini, A'?" tanya Yuni menatap kado yang sudah terbungkus rapi di hadapannya itu.

"Ini kado utama untuk, Ibu!" ucap Adji tersenyum senang.

"Hayuk buka, Bu!" girang Santi tak sabar. Yuni menoleh ke arah suaminya, Rusman mengangguk mengiyakan.

Lantas Yuni segera merobek kertas pembungkus kotak kado tersebut. Matanya terbelalak kala sebuah kotak beludru khas dari sebuah barang yang paling disukai wanita terpampang nyata di hadapannya. Tanpa ia buka kotaknya pun, dia sudah tahu apa isi di dalamnya.

"Masya Allah, Aa' ... "

"Bukalah, Bu!" titah Adji lagi

Dengan tangan gemetar, Yuni membuka kotak yang tak terlalu besar itu. Air matanya tumpah seketika, melihat set perhiasan emas ada di hadapannya. Dan bahkan benda itu sekarang adalah miliknya, tak pernah terpikirkan olehnya bisa memiliki satu set penuh seperti sekarang. Bahkan, satu macamnya saja tak terlintas dalam pikirannya, apalagi satu set lengkap.

Ia menatap Adji dengan tatapan yang sulit dijabarkan selain dari air mata yang terus keluar dari sana.

"Ibu suka?" tanya Adji turut meneteskan air mata bahagia. Yuni hanya bisa mengangguk. Lalu memeluk tubuh Rusman sembari sesenggukan.

Rusman pun tak kalah terharu. Sepanjang menjadi suami, ia belum pernah mampu membelikan benda itu untuk istrinya. Apalah daya, untuk makan saja mereka kesulitan apalagi untuk benda berharga tersebut.

"A', tapi si Neng--"

"Neng udah dapet sendiri juga dari Aa', Bu! Nih!" Sahut Santi cepat sembari membuka sedikit kerudung bagian depannya, memperlihatkan kalung emas berbandul huruf  S sebagai inisial namanya, yang sudah bertengger manis di leher jenjangnya.

"Gelang sama cincinnya, Neng gak mau pakai, takut ilang!" kikik Santi membuat Adji gemas sendiri lantas ia mengusap kepala adiknya dengan sayang.

"Masya Allah ... Terimakasih, A'. Semoga Allah balas dengan rejeki yang berlimpah." doa Yuni setulus hati.

"Amin ... !! Nah kalau yang ini buat Bapak!" lanjutnya menyodorkan amplop pada Rusman yang juga terkejut akan mendapat bagian juga.

"Eh, Bapak juga?" kejutnya.

"Tentu dong, Pak. Selain para wanita kesayangan ini yang bahagia, Bapak pun harus bahagia juga. Karena dari keringat dan kerja keras serta kesabaran Bapaklah, Aa' bisa di titik sekarang ini. Coba, dulu Bapak gak ijinin Aa' kuliah ke kota dan Bapak enggak pontang-panting cari biaya buat masuk ke sana, pasti sekarang ini Aa' hanya jadi kuli panggul di pasar dan gak bisa bahagiain Emak, Bapak juga Neng!" ujar Adji dengan tulus.

"Masya Allah, anak Bapak ... Terimakasih, A'. Semoga Allah selalu melimpahimu dengan kesehatan, umur panjang dan rejeki yang berlimpah, Nak!" doa haru Rusman menyambut uluran amplop berisi sejumlah uang dari anak sulungnya itu.

"Juga jodoh yang baik, Pak!" sambung Santi membuat yang lainnya sontak tertawa.

"Amiin ... " sahutnya serentak.

****

Kumandang azan maghrib menggema dari masjid yang terletak di tengah kampung tempat tinggalnya. Adji dan Rusman sudah bersiap hendak pergi untuk sholat berjamaah di masjid.

"Nanti habis sholat di masjid kita ke rumah Nini, ya, Neng. Antar oleh-oleh ini!" pesan Adji pada sang adik yang duduk di tepi kasur sang kakak.

"Iya, A' ... Ke rumah Nini aja, kan? Enggak sampai ke rumah Uwak Roji?"

"Kenapa memangnya, Neng?" tanya Adji heran sebab dari raut wajah adiknya, adiknya itu seperti sangat enggan ke rumah uwaknya itu.

"Males ketemu Teh Salma, gak di sekolah, enggak di rumah bikin rusuh terus!" gerutunya mengingat sepupu yang sepantaran dengannya itu.

"Bikin rusuh gimana?" heran Adji lagi.

"Udah ih, sana buruan berangkat! Malu atuh A' masa sholat jamaah ketinggalan!" ledek Santi mengalihkan pertanyaan Adji.

"Ada yang masih Neng sembunyikan dari Aa'?" selidik Adji tak terpengaruh oleh ucapan adiknya itu.

"Enggak! Ya, emang gitulah, A' ... Aa' kayak enggak tahu keluarga itu gimana aja. Ya, samalah kayak Bapak dan Ibunya. Ya, kayak gitu juga kelakuan anaknya." jelas Santi yang bisa dipahami sang kakak.

"Buah jatuh tak jauh dari pohon! Beruntung kita lahir dari Pak Rusman dan Ibu Yuni, walau miskin harta tapi tak lantas miskin akhlak." sambung Adji memahami arah pembicaraan Santi. Santi mengangguk membenarkan.

"Eh, Aa' tahu tidak kalau Teh Hani itu ... " lalu Santi membisikkan sesuatu ke telinga Adji membuat Adji beristigfar karena terkejut.

"Astagfirullahhalazim ... "

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Betul walaupun miskin harta tapi akhlaknya baik daripada kaya tapi akhlaknya minim
goodnovel comment avatar
Mssilver
terharu membacanya
goodnovel comment avatar
Rusdi Saja
perjalanan hidup yg mengharukan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status