"Komandan ngapain manggil aku?"
Seorang pria berdiri di depan kantor sang komandan di pelatihan tembak, Surabaya. Dia memakai pakaian hitam lengkap dengan baret ungu di kepalanya. Dia merapikan pakaian sebentar, lalu mengetuk pintunya. "Masuk!" Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia segera membuka pintu. Dia melangkah masuk mendekati sang komandan yang berdiri membelakanginya. Sang komandan berbalik. "Abraham Malik!" panggil Erick Sanjaya. Abraham Malik, 21 tahun. Dia memiliki perawakan ideal sebagai syarat masuk ke sekolah militer. Tingginya 185 cm dan berat badan 65 kg. Reflek, Abraham menjawab dengan lantang. "Siap, Komandan!" Dia menatap Erick. "Benarkah Anda memanggil saya?" "Kamu sudah dua tahun mengikuti sekolah militer di sini. Kamu juga sudah mengikuti latihan pasukan khusus. Apa kamu puas dengan prestasi yang telah tercapai dalam satu tahun ini?" "Maaf, Komandan. Meskipun saya mengikuti latihan pasukan khusus, tapi saya bergabung di pasukan ini baru satu tahun." Abraham menjawab dengan yakin. Kedua matanya dipenuhi dengan ambisi. "Jadi, saya masih harus terus melatih kemampuan saya," ujar Abraham kemudian. Tatapan Erick penuh dengan tanda tanya. Abraham berusaha menerjemahkannya. Bagaimana pun juga, dia masih ingin belajar dan mencuri beberapa ilmu lagi sampai merasa puas. "Hahaha ...." Erick tertawa. Dia duduk di kursinya sambil melipat kedua tangan. Kemudian, dia membakar rokok. "Untuk seorang pasukan khusus, ego kamu memang tinggi," kata Erick sambil menghisap rokoknya. "Entah itu bisa dibilang ego atau rendah diri. Tapi yang saya tangkap dari cara kamu bersikap dan berbicara, kamu punya ego yang luar biasa dan nggak dimiliki oleh semua orang!" seru Erick kemudian. "Terima kasih untuk pujian Anda, Komandan," sahut Malik. Wajah rupawan dan rambut hitam dengan model khas tentara. Pandangan mata Abraham selalu tajam sama seperti pendengarannya. "Kamu sudah lulus ujian untuk menjadi seorang sniper dengan nilai tertinggi. Kamu juga sudah diberikan kode nama. Saya rasa, kamu tahu!" Seorang sniper harus menguasai latihan tempur dari berbagai medan darat, laut dan udara. Secara total, dia harus mahir latihan tempur, baik jarak dekat maupun jarak jauh. Tentunya, para sniper juga harus menguasai berbagai macam senjata, bahkan lima jenis senjata paling mematikan yang ada di dunia. Selain serangkaian latihan fisik, Abraham telah melalui latihan menembak selama 50 jam. Hasilnya, dia meraih poin tertinggi diantara teman-temannya. "Ya, saya sudah tahu," jawab Malik dengan pembawaan yang tenang. Erick masih berniat ingin bertanya. Jadi, dia tidak segan-segan memberikan pertanyaan kepada Abraham. "Tapi, apa kamu tahu? Tiga hal paling utama untuk menjadi seorang sniper?" Abraham mengangguk. "Kesabaran, cara mengatur pernapasan dan tahan mental." Benar! Semua jawaban Abraham benar. Karena menurut penelitian, tujuh dari sepuluh orang sniper mengalami gangguan jiwa. "Lalu, hal apa yang sangat diharamkan oleh pasukan kita?" tanya Erick lagi. "Membongkar identitas," jawab Abraham, cepat. Dengan IQ di atas rata-rata, Abraham mampu menjawab berbagai pertanyaan dengan mudah dan tepat. Tidak hanya itu, Abraham selalu tepat menghitung kecepatan dan arah angin di manapun dia berada. "Sekarang, kamu sudah resmi menjadi tentara bayaran sesuai keinginanmu. Ingat, akan ada seorang broker yang menghubungi kamu untuk memberitahu tugas pertama dan tugas-tugas selanjutnya!" Menjadi bagian dari salah satu pasukan elit di negaranya sendiri adalah cita-cita Abraham sejak remaja. Sekarang, dia telah sukses meraihnya, bukan? "Siap, Komandan!" Tegas dan lugas. Suara Abraham memiliki cirinya tersendiri. Erick memang sangat menyukainya. Begitu juga dengan teman seperjuangan Abraham. Mereka merasa, Abraham pantas mendapatkan julukan ataupun pujian. Karena semua yang dimiliki oleh sniper melekat pada dirinya. "Bagus. Pergilah, The King!" perintah Erick. Dia memasukkan kedua tangan ke saku celana. Abraham yang semula ingin melangkah pergi, mengurungkan niatnya. Dia terkejut saat Erick memanggilnya dengan kode nama baru. Abraham berbalik dan menatap Erick. Kemudian berkata, "Terima kasih, Komandan." The King, kode nama yang disematkan pada Abraham. Karena kemampuan menembak dan berkamuflase yang dia miliki begitu hebat. Sesuai perintah Erick, Abraham keluar dari kantor dengan membawa beberapa dokumen yang berisi identitas barunya. Karena dia tidak lagi memakai nama Abraham Malik.Aldebaran dengan setia tetap berada di sisiZoya. Tidak hanya itu, dia menyuapi Zoya dengan penuh kesabaran."Sup ini bener-bener buatan kamu?""Apa rasanya nggak sesuai sama lidah kamu, Nona?""Enak, kok."Selesai makan, Aldebaran melihat Zoya mengantuk.Aldebaran meletakkan mangkuk kembali ke atas meja. "Gimana kalo sekarang kamu tidur?""Bukannya kamu janji nggak bakalan pergi ke mana-mana?""Aku suruh kamu tidur bukan berarti aku mau pergi," sangkal Aldebaran, mengusap pucuk kepala Zoya. "Jadi, gimana perasaan kamu sekarang?"Zoya kembali mengerucutkan bibirnya. Dia membuka gorden sedikit lalu berkata, "Aku mau lihat bintang dari atas balkon."Aldebaran mengikuti arah pandang Zoya dan mengerti, dia merasa kesepian."Ya udah, ayo!"Aldebaran membuka pintu kamar Zoya yangmengarah ke balkon. Zoya mengikutinya."Kamu mau teh chamomile, nggak? Teh ini sangat baik diminum sebelum tidur.""Hmm, ya, aku mau," jawab Zoya tersenyum."Tunggu di sini? Aku akan kembali secepatnya."Zoya meng
Tidak hanya Brisma—koki yang dipekerjakan keluarga Alexander, Aldo dan satu pelayan wanita terpana dengan kepandaian memasak Aldebaran. Aroma sup krim jagung memenuhi seluruh dapur."Kamu benar-benar pandai masak, Tuan Kells," kata Aldo, memperhatikan setiap gerakan Aldebaran."Jangan rendahin aku kayak gitu di depan Koki terkenal!" seru Aldebaran. Aldebaran menuangkan sup krim jagung ke mangkuk keramik putih. "Ayo dicoba!"Brisma, Aldo dan Maria mengambil sendok sup dan mencobanya.Suara menyeruput Brisma terdengar. Kedua matanya mengarah pada mangkuk di hadapannya."Kamu bahkan bisa buat sup krim jagung selezat ini, Tuan Kells!"Baik Aldo maupun Maria menoleh ke arah Brisma. Seorang koki handal seperti Brisma memuji Aldebaran? Sungguh kejadian yang langka!Aldebaran tersenyum. Lalu, berkata, "Thanks, Chef."Aldebaran langsung meletakkan mangkuk sup di atas nampan. Dia bersiap membawanya ke kamar Zoya."Aku mau anterin sup ini buat Nona Zoya. Katanya hari ini, dia nggak makan sama
Karena terlalu frustasi memikirkan Zoya, Aldebaran memutuskan untuk mandi. Setelah itu, dia mengobati luka yang ada di dada dan perutnya. Bagian terparah berada di wajah. Aldebaran meraih alkohol yang akan digunakan sebagai antiseptic dan kapas yangtersimpan di kotak obat berwarna putihtepat di atas wastafel. Dengan cekatan, dia mulai mengobati lukanya."Aarggh ...."Aldebaran mencoba menahan sakit yang di sekujur tubuhnya. Dia terus mengobati luka hingga ke bagian kaki."Bagian yang paling sakit bukan kepala karena dibenturkan ke dinding sama Tuan Sultan. Tapi hati aku jauh lebih sakit. Karena Zoya melihat pemandangan nggak menyenangkan.Aku takut dia depresi lagi."Aldebaran melihat pantulan dirinya sendiri di cermin besar. Terlihat beberapa luka memenuhi bagian perut.Saat itu juga, seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Uhh, siapa yang datang?"Dengan kaki yang masih sakit, Aldebaran berjalan pelan menuju pintu."Tuan Fernando?""Bisa saya masuk?""Silakan!"Aldebaran menutup p
Jantung Aldebaran berdebar-debar ketika Zoya mengatakan kalimat yang menurutnya ambigu. Benaknya melayang ke antah berantah. Namun dia tidak ingin kehilangan secuil harapan cintanya akan terbalaskan.'Zoya mau ngomong apa, sih?'"Kells, aku ... aku ...."Aldebaran melihat Zoya kesulitan berkata-kata. Dia menunggu dengan sabar. Berulang kali, Zoya menarik napas dalam-dalam. Namun tetap tidak membuahkan hasil. Suaranya tetap tidak keluar. "Entahlah," ujar Zoya pada akhirnya. Dia hendak berdiri dan melepaskan genggaman tangan Aldebaran. Tapi, Aldebaran tidak akan membiarkannya."Tunggu, Nona!" seru Aldebaran, mempererat genggaman tangannya dengan tangan Zoya."Eh?" Zoya tercengang melihat tangan Aldebaran yang menggenggam erat tangan kanannya. "A-apa? Lepasin!""Tangan ini ... tangan yang aku genggam ini, nggak akan aku lepasin."Dua pasang manik mata berwarna coklat bertemu. Perasaan saling memiliki yang mereka rasakan membuat keduanya terikat. Itu benar! Sebab, kita tidak akan per
Aldebaran memandang Zoya yang sedang memohon pada Sultan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Zoya terus menerus merengek pada ayahnya. Terlihat kesedihan di raut wajah cantiknya. Aldebaran sangat tidak tega menyaksikan itu. Namun, dia tidak memiliki kuasa apapun di kediaman keluarga Alexander."Pa, Papa tahu apa yang udah dilakukan Kells untukku?" Dengan nada tinggi, Zoya mencoba meyakinkan Sultan.Aldebaran tahu, Zoya mulai frustasi dengan apa yang terjadi. Itu sebabnya, dia mencoba menenangkan Zoya agar tidak tersulut api emosi. "No-Nona ...." Aldebaran mengulurkan tangannya ke arah Zoya.Sultan dan Zoya menoleh bersamaan. "Ya?" Zoya segera melepaskan tangannya dari Sultan dan bergegas menghampiri Aldebaran. "Kells, kamu terluka parah!""Nona, tahan diri kamu! Jangan membantah Tuan Sultan! Biar gimanapun Beliau adalah orang tua Anda," ujar Aldebaran pelan. Dia menahan perih di sekujur tubuhnya yang dipenuhi luka."Pa, panggil Dokter untuk mengobati Kells," pinta ZoyaZoya
Brak!Sultan memukul sisi pinggir kursi yang didudukinya sambil berdiri. Kedua matanya bergantian menatap Aldebaran dan Keenan."Apa itu benar, Kells?" tanya Sultan dengan tatapan intimidasi.Aldebaran berhenti memukuli Keenan dan mengutuknya. 'Sial! Si pria tua ini mulai menjerumuskan aku!'Tap tap tap!Sultan berjalan cepat menghampiri Aldebaran dan mendorongnya ke dinding.Buk!Aldebaran tidak bisa mengelak lagi karena serangan Sultan begitu kuat. Sultan meraih kepala Aldebaran, lalu membenturkannya ke dinding beberapa kali. Matanya merah dan begitu juga dengan wajahnya. Sultan menggerakkan giginya dan berkata, "Apa yang mau kamu jelasin pada saya? Hah? Kamu benar-benar menguji kesabaran saya!"Sultan menghajar Aldebaran habis-habisan. Karena rasa bersalah yang begitu besar terhadap keluarga Alexander, Aldebaran tidak membalas perlakuan Sultan padanya."Pria kurang ajar! Saya sudah salah menilai kamu!" teriak Sultan lantang."Bu-bukan cuma itu, Tuan. Nona Zoya pun telah berada di