Pagi menyapa suasana hati yang sedang bersuka cita juga semangat menyala-nyala. Entah mengapa aku bisa terbangun pagi-pagi buta seperti ini? Sekarang pun sedang bersiap untuk mandi, hanya saja airnya yang terlalu dingin setelah diperiksa tadi membuat rasa malas kumat.
Iseng kumainkan aplikasi sosial media facebook, rupanya sudah hampir tiga puluh pemberitahuan masuk setelah empat hari tak dibuka. Salah satu yang menarik perhatian adalah seseorang asal Indonesia yang tak kukenal sama sekali, mengomentari unggahan foto kala tengah bermain dengan teman kursus beberapa waktu lalu.
Dalam komentar itu dia menuliskan bahwa diri ini terlalu sombong juga banyak gaya. Lebay! Padahal, hanya berfoto menggunakan kaca mata yang sedang terkenal milik teman. Itu artinya, aku memang keren di pandangan banyak orang. Dibalasnya komentar berbau keirian hati itu menggunakan Bahasa Inggris, semoga saja dia mengerti dan kalau pun tidak, semoga fitur aplikasi biru itu yang membantunya.
Beberapa menit setelah asyik berselancar di dunia maya juga membalas pesan dari teman-teman, aku memantapkan niat untuk segera membersihkan badan. Berjalan ke arah kamar mandi dengan sempoyongan.
Dinginnya ruangan dengan satu bak minimalis di sudutnya itu tak seberapa dibandingkan sikap si pujaan hati serta suhu di negara tempat tinggalku. Di sana, hampir setiap hari mandi menggunakan air hangat apalagi saat memasuki musim penghujan dan turunnya salju. Bicara soal pujaan hati, di musim panas sekali pun dia tetap dingin. Terkadang menyejukkan hati, tapi terkadang membuat hati bak terbakar.
Kunyalakan keran hingga air yang mengalir itu secepat kilat menembus kulit. Berlanjut dengan kegiatan membersihkan seluruh tubuh hingga bersih dan wangi. Tak sampai sepuluh menit, ritual mandi kali ini benar-benar singkat.
---0o---
"Jangan diinjek!" Astaga. Teriakan perempuan itu hampir membuat jantung terlepas. Alih-alih lantai licin---baru saja dibersihkan, telapak kaki sebelah kanan ini hampir menginjaknya. Kemudian, menyebabkan perempuan yang sedang memeras kain pel itu histeris.
"Ah, maaf, Kak. Saya jinjit boleh, 'kan?" Aku bertanya sembari mengangkat kedua tangan layaknya seorang pencuri yang tertangkap polisi. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil jikalau melakukan kesalahan walaupun sedikit.
"I-iya, silahkan," katanya sedikit gelagapan mungkin lebih tepatnya malu.
Dilanjutkannya langkah yang sempat terhenti menuju ruang makan, sampai di sana menu sarapan sudah tersaji. Di sana pun sudah ada Papa sedang menuangkan air putih ke dalam gelas. Lantas, aku duduk berseberangan dengannya.
Beliau tiba-tiba bertanya, "Kamu jadi berangkat sekarang, Jen?" Diri ini hanya mengiakan pertanyaan tersebut.
"Ke Sukabumi, 'kan? Sama siapa?"
"Sendiri, Pa."
"Minta temenin aja sama Angel. Kalau sendiri, takut kenapa-napa terus nanti malah repot sendiri," ujarnya mengkhawatirkanku.
Namun, siapa orang yang disebut Angel ini? Sebelumnya, aku tak pernah memiliki teman bernama Angel itu. Kutanyakan lagi siapa dia? Papa menunjuk ke arah perempuan yang sedang berjalan membawa ember ke kamar mandi.
Dia adalah pembantu di rumah ini yang kemarin menyambut kedatanganku dan tadi sempat berteriak karena akan menginjak lantai yang sudah dia bersihkan. Kuakui, namanya cantik seperti wajahnya. Papa memberi tau bila Angel berasal dari Sukabumi juga, maka dari itu dia menyarankan agar ikut sembari pulang ke kampung halamannya. Aku setuju atas sarannya dan itu berarti, daerah yang akan dikunjungi bertambah satu yakni menjadi delapan.
"Angel, kamu udah selesai bersihin lantainya?" Papa bertanya tatkala perempuan itu hendak melewati kami.
"Iya, sudah selesai, Pak."
"Habis ini mandi, terus ikut anak saya keliling Sukabumi, ya. Sekalian pulang kampung dulu," jelas Papa.
Mulanya dia sedikit terkejut dan memberi alasan jika pekerjaan rumah belum sepenuhnya selesai. Akan tetapi, pria berusia 52 tahun itu menegaskan bila pekerjaan rumah yang belum selesai akan diselesaikan oleh pembantu satunya lagi. Angel menyetujuinya, lalu segera bersiap-siap agar tak memakan waktu lama.
Beberapa menit berlalu, kini aku dibantu perempuan bertubuh langsing itu tengah mengangkut barang-barang yang akan dibawa ke dalam bagasi mobil. Setelah selesai semua, aku menyuruhnya agar memeriksa ulang barang bawaan juga kamarnya. Takut terdapat barang penting yang tertinggal, lalu nanti justru repot seperti kata Papa tadi.
"Udah siap semua, kita pamit dulu, ya, Pa. Doakan semoga senantiasa diberi kemudahan saat di perjalanan nanti dan semoga mobil Papa gak kenapa-napa," ujarku.
"Iya, sudah pasti. Papa juga harap, tujuanmu itu dapat membuahkan hasil yang maksimal."
Kami bersalaman, lantas pergi meninggalkan pekarangan rumah dengan beribu harapan kebahagiaan juga keberhasilan yang didapat. Walaupun pasti banyak pula rintangan yang harus dihadapi saat menjalaninya.
Perjalanan dari Bandung Barat menuju Desa Banjarsari memakan waktu kurang lebih lima jam. Semoga saja, bisa terhindar dari kemacetan. Saat ini, mobil yang kukendarai telah keluar dari jalur komplek dan beruntung doa yang sempat dipanjatkan tadi terkabulkan. Jalan raya tidak begitu padat oleh bermacam kendaraan.
*****
Tiga jam lebih 50 menit telah dilalui, kami menempuh perjalanan diwarnai berbagai hal hari ini. Dari mulai ponselku yang mati lalu menyala lagi dengan sendirinya, hingga hampir tersesat ke jalur lain disebabkan ponsel itu sedikit eror kala GPS sangat diperlukan. Mungkin, ini pertanda bahwa ponsel itu meminta untuk tidak hidup lagi. Ah, jangan sekarang!"Kakak suka musikkah?" Aku iseng bertanya demikian di sela-sela menunggu kendaraan di depan maju, walaupun perlahan.
"Iya, aku suka," jawabnya setelah selesai meneguk air mineral dalam botol kemasan. Kutanyakan lebih detail lagi mengenai jenis dan lagu yang dia suka. Rupanya, perempuan berwajah tirus itu menggemari musik jazz dan K-pop. Lalu, lagu yang paling disukainya tak lain adalah lagu yang dibawakan temanku bersama personilnya.
"Saya juga pernah denger lagu itu sekilas, lagunya easy listening," tuturku meyakinkan.
"Iya, apalagi waktu di bagian Jaemin, suaranya khas begitu, duh!"
Dilihatnya senyuman manis disertai bola mata di arahkan ke atas setelah berucap demikian, aku yakin dia pasti penggemar berat lelaki bergigi rapi itu. Andai dia tahu, kalau lelaki yang sedang dibahasnya itu adalah kerabatku semasa sekolah SMA dulu.
.
---0o---
To be continued 💚
Banyak yang bilang kalau realita kadang tak sesuai ekspektasi, begitu pula yang dirasakanku dan Angel. Dari informasi yang didapat, menuju desa ini hanya memakan waktu lima jam. Namun, nyatanya sudah enam jam lebih dan kami harus berusaha lebih susah lagi untuk menuju tempatnya. Kali ini, kami harus putar balik melewati jalur lain untuk sampai ke tempat tujuan. Pasalnya, menurut orang yang berada di sana, jalan yang hendak dilalui ini rusak tertimbun longsor satu hari lalu dan sedang proses perbaikan. Setelah putar balik, lalu melewati jalan yang lurus, aku dan perempuan yang sedang mendengkur ini harus belok ke arah kanan. Terdapat plang besar berisi ucapan selamat datang di Desa Banjarsari di sini. Bentukan jalannya pun bukan berupa aspal, melainkan tanah yang agak becek. Mungkin, dikarenakan terkena hujan semalam. Di belokkan pertama sisi kanan-kiri jalan, hanya terdapat tanaman-tanama
Angel bermalam di penginapan dekat rumah Bu kades, sedangkan diriku di rumah Bah Halim yang terletak kurang lebih harus melewati 18 rumah. Kebetulan dia tinggal seorang diri. Selama berada di dalam bangunan minimalis lengkap dengan cat biru langit yang di beberapa bagiannya terkelupas ini, pikiran merenung. Menatap badan orang tua itu yang tampak tulangnya dari belakang, rasanya ingin merangkul, lalu memberikan apa yang ia minta. Hidup dalam kesendirian, tidaklah menyenangkan. Sama seperti Papa yang mengalami hal serupa. Beruntunglah dia masih bisa ditemani oleh anak buahnya."Ini minumnya, maaf cuma ada air teh, saya jarang sediain sirup kalau nggak lagi bulan puasa atau lebaran," ujarnya seraya meletakan nampan serta teko berisi air teh juga gelas kaca kecil di meja kayu yang bagian kakinya sedikit rapuh."Nggak papa atuh, Bah. Seadanya saja," balasku yang kemudian menuangkan air teh tersebut dan meneguk
"Awas!" Kendaraan berhenti seketika kala perempuan yang sedang memegangi makanan ringan itu berteriak. Jajanan keripik singkongnya tumpah mengotori bawah jok mobil. Aku pun tersentak kaget, kukira kendaraan ini menabrak seseorang atau hewan. Namun, ternyata orang lain yang melakukannya. Dari arah berlawanan kurang lebih tiga meter dari sini, tampak seorang anak lelaki terserempet mobil bak. Aku dan Angel bergegas keluar dari mobil, menghampiri bocah malang yang mencoba bangun dari posisi tersungkurnya tadi. Dilihatnya betis juga telapak tangan berdarah itu, cepat-cepat kuambil kotak P3K yang tersimpan di bagasi mobil, sementara perempuan yang sempat panik itu berusaha menenangkan dan memastikan bahwa anak lelaki tersebut baik-baik saja. Sangat disayangkan, penyerempet bermobil bak itu melarikan diri dengan melajukan kendarannya semakin ugal-ugalan tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya
"Selalu ingat dan kenanglah hal sederhana yang telah membuat kita bahagia." ****Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu dengan berjuang serta bersenang-senang, Zaki diantar pulang olehku juga Angel. Untuk menuju rumahnya, kami harus melewati jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Terpaksa mobil dititipkan kepada orang, lantas berjalan menyusuri sepinya keadaan rumah warga desa ini, sampai akhirnya sampai di sebuah rumah bilik. Sedikit berbeda dari rumah bilik lain, di halaman depan bangunan ini tampak kumuh dan berserakan sampah. Tubuh tinggi sepertiku diharuskan menunduk tatkala memasuki ruangan dalam rumah. Minim pencahayaan dari dalam rumah milik Zaki ini. "Kamu tinggal sama siapa?" Angel bertanya setelah duduk di lantai beralaskan tikar bangkar. "Sama Emak, Bapak, dan adik.Mereka masih di kebun cengkeh, sebentar lagi pulang," jelasnya. Aku mengangguk paham, lalu mengajak berbica
****"Dia datang, dia datang!" Angel berujar heboh seraya memukul-mukul bahuku. Kami tengah bersembunyi di bagian kanan bangunan bilik ini. Senyum mengembang, menampilkan deretan gigi rapi saat mengintip langkah anak berbadan pendek itu semakin mendekat. Aku membalikkan badan, menarik lengan perempuan dengan tinggi hanya sebahuku ini ke belakang supaya tidak ketahuan. Terdengar, Zaki mengucap salam sewaktu masuk rumah. Tak terbayang bagaimana eskpresinya kala sepasang mata itu menangkap benda-benda baru terpajang rapi di ruangan tempat dirinya selalu mengerjakan tugas sekolah. Satu lembar kertas bertuliskan suruhan untuk mendatangiku di pinggir rumahnya pun tertempel jelas di sana. Tak lama setelah itu, dia tiba-tiba menghampiri dan langsung mengarahkan kedua tangan kecilnya ke atas guna merangkul pinggangku. Dilepasnya perlahan rangkulan itu, lalu tubuhku disetarakan dengan tinggi anak itu. Sorot legam netranya tergenangi air yang hendak menya
Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Angel ikut bersama beberapa petani pergi ke sebuah desa di kecamatan dan kabupaten yang berbeda. Kami harus naik turun bukit curam untuk sampai ke jembatan penghubung kedua desa tersebut. Berkali-kali sempat terjatuh karena aku sangat tak terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini. Beruntung, Angel sigap membantu seolah jalanan seperti ini adalah rintangan sebesar upil. "Orang kota mainnya gak menantang, ya?" tanya Angel di sela-sela suara ngosngosanku. Aku menghentikan langkah dan membuat tubuh lebih tegak. "Kata siapa? Banyak, kok, yang lebih menantang. Contohnya main skateboard dari atas bukit bersalju, itu menantang." "Wah, kamu pernah coba, Jen?" "Nggak, aku jadi penonton aja." Dia terbahak-bahak usai mendengar perkataan barusan. Akhirnya, sampailah kami menghadapi tantangan baru. Ya, jembatan gantung bambu yang terbentang sepanjang enam meter ini harus dilewati guna sampai ke
Satu kilogram singkong diberi harga senilai tiga ribu rupiah dari para petani, begitu juga dengan hasil tani lainnya. Namun, jika sedang terjadi paceklik atau hasil tani kurang bagus, maka akan dikurangi sebagian dari harga biasa."Kalau paceklik biasanya dapat penghasilan berapa, Pak?""Lima puluh ribu, kadang nggak sampai segitu."Aku mengangguk paham hingga pengepul tersebut memberi beberapa lembar uang merah dan pecahan dua puluh ribu. Sempat terheran juga ketika sampai di sana banyak yang menjual hasil tani dari tempat yang sama, rupanya mereka berangkat menaiki rakit."Udah selesai, ayo, pulang!" Angel menepuk bahuku, melihat orang-orang mulai merapikan karung yang dibawa.Selang beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa asal. Sempat khawatir jika nanti menggendong beban lagi, alhasil hal ini terobati oleh kabar bahwa kami akan pulang menggunakan rakit menyebrangi sungai.Alat transportas
Sepulang dari desa sebelah, kini kami disuguhi minuman dingin oleh warga. Bukan hanya aku dan Angel yang meminumnya, tapi semua orang yang tadi pergi ke pengepul. Suasana ramai juga hangat, banyak hal dibahas tentu tak luput dari lelucon untuk lebih meningkatkan sebuah keharmonisan.Sesekali, kami berdua yang asik menyimak pun turut terkena banyolan mereka. Terlebih, menyinggung soal 'hubungan percintaan', terkadang ini membuatku geli. Urusan pendidikan dan pekerjaan saja masih ruwet dipikirkan, apalagi soal ikatan dengan lawan jenis. Lebih banyak resiko yang harus dihadapi karena aku belajar dari Mama Papa, kalau hubungan serius itu bukan hanya soal keromantisan."Pelan-pelan minumnya, cuma becanda, kok. Ya, kami doain aja supaya kalian cepat halal, biar kalau ke mana-mana berdua, nggak menimbulkan fitnah." Perempuan di hadapanku yang tersedak sebab mendengar sindiran orang-orang di sini. Memang betul begitu, tapi semua itu tergantung masing-masing, sepert