Share

Start (2)

Penulis: Yoshifa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-17 12:48:57

Pagi menyapa suasana hati yang sedang bersuka cita juga semangat menyala-nyala. Entah mengapa aku bisa terbangun pagi-pagi buta seperti ini? Sekarang pun sedang bersiap untuk mandi, hanya saja airnya yang terlalu dingin setelah diperiksa tadi membuat rasa malas kumat.

Iseng kumainkan aplikasi sosial media facebook, rupanya sudah hampir tiga puluh pemberitahuan masuk setelah empat hari tak dibuka. Salah satu yang menarik perhatian adalah seseorang asal Indonesia yang tak kukenal sama sekali, mengomentari unggahan foto kala tengah bermain dengan teman kursus beberapa waktu lalu.

Dalam komentar itu dia menuliskan bahwa diri ini terlalu sombong juga banyak gaya. Lebay! Padahal, hanya berfoto menggunakan kaca mata yang sedang terkenal milik teman. Itu artinya, aku memang keren di pandangan banyak orang. Dibalasnya komentar berbau keirian hati itu menggunakan Bahasa Inggris, semoga saja dia mengerti dan kalau pun tidak, semoga fitur aplikasi biru itu yang membantunya.

Beberapa menit setelah asyik berselancar di dunia maya juga membalas pesan dari teman-teman, aku memantapkan niat untuk segera membersihkan badan. Berjalan ke arah kamar mandi dengan sempoyongan.

Dinginnya ruangan dengan satu bak minimalis di sudutnya itu tak seberapa dibandingkan sikap si pujaan hati serta suhu di negara tempat tinggalku. Di sana, hampir setiap hari mandi menggunakan air hangat apalagi saat memasuki musim penghujan dan turunnya salju. Bicara soal pujaan hati, di musim panas sekali pun dia tetap dingin. Terkadang menyejukkan hati, tapi terkadang membuat hati bak terbakar.

Kunyalakan keran hingga air yang mengalir itu secepat kilat menembus kulit. Berlanjut dengan kegiatan membersihkan seluruh tubuh hingga bersih dan wangi. Tak sampai sepuluh menit, ritual mandi kali ini benar-benar singkat.

---0o---

"Jangan diinjek!" Astaga. Teriakan perempuan itu hampir membuat jantung terlepas. Alih-alih lantai licin---baru saja dibersihkan, telapak kaki sebelah kanan ini hampir menginjaknya. Kemudian, menyebabkan perempuan yang sedang memeras kain pel itu histeris.

"Ah, maaf, Kak. Saya jinjit boleh, 'kan?" Aku bertanya sembari mengangkat kedua tangan layaknya seorang pencuri yang tertangkap polisi. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil jikalau melakukan kesalahan walaupun sedikit.

"I-iya, silahkan," katanya sedikit gelagapan mungkin lebih tepatnya malu.

Dilanjutkannya langkah yang sempat terhenti menuju ruang makan, sampai di sana menu sarapan sudah tersaji. Di sana pun sudah ada Papa sedang menuangkan air putih ke dalam gelas. Lantas, aku duduk berseberangan dengannya.

Beliau tiba-tiba bertanya, "Kamu jadi berangkat sekarang, Jen?" Diri ini hanya mengiakan pertanyaan tersebut.

"Ke Sukabumi, 'kan? Sama siapa?"

"Sendiri, Pa."

"Minta temenin aja sama Angel. Kalau sendiri, takut kenapa-napa terus nanti malah repot sendiri," ujarnya mengkhawatirkanku.

Namun, siapa orang yang disebut Angel ini? Sebelumnya, aku tak pernah memiliki teman bernama Angel itu. Kutanyakan lagi siapa dia? Papa menunjuk ke arah perempuan yang sedang berjalan membawa ember ke kamar mandi.

Dia adalah pembantu di rumah ini yang kemarin menyambut kedatanganku dan tadi sempat berteriak karena akan menginjak lantai yang sudah dia bersihkan. Kuakui, namanya cantik seperti wajahnya. Papa memberi tau bila Angel berasal dari Sukabumi juga, maka dari itu dia menyarankan agar ikut sembari pulang ke kampung halamannya. Aku setuju atas sarannya dan itu berarti, daerah yang akan dikunjungi bertambah satu yakni menjadi delapan.

"Angel, kamu udah selesai bersihin lantainya?" Papa bertanya tatkala perempuan itu hendak melewati kami.

"Iya, sudah selesai, Pak."

"Habis ini mandi, terus ikut anak saya keliling Sukabumi, ya. Sekalian pulang kampung dulu," jelas Papa.

Mulanya dia sedikit terkejut dan memberi alasan jika pekerjaan rumah belum sepenuhnya selesai. Akan tetapi, pria berusia 52 tahun itu menegaskan bila pekerjaan rumah yang belum selesai akan diselesaikan oleh pembantu satunya lagi. Angel menyetujuinya, lalu segera bersiap-siap agar tak memakan waktu lama.

Beberapa menit berlalu, kini aku dibantu perempuan bertubuh langsing itu tengah mengangkut barang-barang yang akan dibawa ke dalam bagasi mobil. Setelah selesai semua, aku menyuruhnya agar memeriksa ulang barang bawaan juga kamarnya. Takut terdapat barang penting yang tertinggal, lalu nanti justru repot seperti kata Papa tadi.

"Udah siap semua, kita pamit dulu, ya, Pa. Doakan semoga senantiasa diberi kemudahan saat di perjalanan nanti dan semoga mobil Papa gak kenapa-napa," ujarku.

"Iya, sudah pasti. Papa juga harap, tujuanmu itu dapat membuahkan hasil yang maksimal."

Kami bersalaman, lantas pergi meninggalkan pekarangan rumah dengan beribu harapan kebahagiaan juga keberhasilan yang didapat. Walaupun pasti banyak pula rintangan yang harus dihadapi saat menjalaninya.

Perjalanan dari Bandung Barat menuju Desa Banjarsari memakan waktu kurang lebih lima jam. Semoga saja, bisa terhindar dari kemacetan. Saat ini, mobil yang kukendarai telah keluar dari jalur komplek dan beruntung doa yang sempat dipanjatkan tadi terkabulkan. Jalan raya tidak begitu padat oleh bermacam kendaraan.

*****

Tiga jam lebih 50 menit telah dilalui, kami menempuh perjalanan diwarnai berbagai hal hari ini. Dari mulai ponselku yang mati lalu menyala lagi dengan sendirinya, hingga hampir tersesat ke jalur lain disebabkan ponsel itu sedikit eror kala GPS sangat diperlukan. Mungkin, ini pertanda bahwa ponsel itu meminta untuk tidak hidup lagi. Ah, jangan sekarang!

"Kakak suka musikkah?" Aku iseng bertanya demikian di sela-sela menunggu kendaraan di depan maju, walaupun perlahan.

"Iya, aku suka," jawabnya setelah selesai meneguk air mineral dalam botol kemasan. Kutanyakan lebih detail lagi mengenai jenis dan lagu yang dia suka. Rupanya, perempuan berwajah tirus itu menggemari musik jazz dan K-pop. Lalu, lagu yang paling disukainya tak lain adalah lagu yang dibawakan temanku bersama personilnya.

"Saya juga pernah denger lagu itu sekilas, lagunya easy listening," tuturku meyakinkan.

"Iya, apalagi waktu di bagian Jaemin, suaranya khas begitu, duh!"

Dilihatnya senyuman manis disertai bola mata di arahkan ke atas setelah berucap demikian, aku yakin dia pasti penggemar berat lelaki bergigi rapi itu. Andai dia tahu, kalau lelaki yang sedang dibahasnya itu adalah kerabatku semasa sekolah SMA dulu.

.

---0o--- 

To be continued 💚

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 21 Days in Sukabumi   Terungkap (20B)

    Kediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar."Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku."Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?""Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu

  • 21 Days in Sukabumi   Pulang (20A)

    Usai puas bersuka ria di atas bukit, kami lantas berkeliling area sawah. Angel nyaris berlumuran lumpur dan merusak padi-padi yang masih segar, kakinya terpeleset. Beruntung aku sigap menahan agar dia tak jatuh. Dasar gadis kampung ini, banyak tingkah jika sudah berada di alam bebas. Kulihat, ada sekitar empat orang-orangan sawah di sini hingga ujung sana. Agaknya karena tempatnya luas, jadi agar memudahkan mengusir gerombolan burung yang hinggap. Angel merasa capek, kami pun beristirahat di samping saung dengan beberapa orang berada di sana. Kupandangi sekitar, ternyata lebih estetis juga pemandangannya. Kamera yang berada di dalam tas diambilnya, kemudian mengambil gambar dari bagian sebelah kanan dulu, berlanjut ke tengah, lalu ... kuarahkan kamera itu ke wajah Angel yang tengah melamun. Yah! Pose menatap lurus ke depan dengan beberapa helai rambut pendeknya terbawa angin, itu cukup bagus. Aku tersenyum menatap cantiknya---oh, apa dia juga tida

  • 21 Days in Sukabumi   Dinotice! (19B)

    Ayunan dengan desain kursi kayu yang menambah estetika tempat wisata sederhana in, menjadi tempat duduk kami sekarang. Aku dan Angel mengakhiri perdebatan dengan saling bermaafan, tak lupa aku memperingatkan agar dirinya tidak lagi mengakrabkan diri dengan orang asing, terlebih pria. "Berarti, sama kamu juga nggak boleh deket-deket?" tanya gadis itu yang kuyakini dia sendiri tahu jawabannya. "Nggak boleh, kamu harusnya nempel-nempel kalau sama saya." Aku menjawab sembari mesem-mesem, penasaran melihat reaksinya. "Dih, ngapain juga kayak gitu?! Sana jauhan!" suruhnya, lantas kutanggapi dengan tawa membuat pengunjung lain mengalihkan perhatian. "Ngomong-ngomong, temen kamu yang ganteng itu, siapa?" "Penasaran, ya? Ngapain juga kamu cari yang ganteng di luaran sana, sedangkan saya yang nggak kalah ganteng ada di deket kamu?" Kira-kira, hatinya meleleh atau tidak? Jantungnya masih aman, kan? Kulihat ekspresi perempuan ini

  • 21 Days in Sukabumi   Cogan (19A)

    "Njel, saya punya kenalan ganteng, loh." Perempuan itu melepas earphonenya dan menoleh. "Terus kenapa?" "Kamu bukannya suka sama yang ganteng-ganteng?" tanyaku meledek. "Ya, siapa sih, yang gak suka sama cowok ganteng?" Wah, suatu pujian tersembunyi untukku. Itu artinya, dia sendiri menyukaiku, kan? "Berarti kamu juga suka saya, dong?" Mendengar itu, dia mengangkat satu alis serta melengkungkan bibir. Jelas aku bukan pakar ekspresi, jadi hanya dapat menyimpulkan kalau dari ekspresinya mengatakan iya. Perbincangan kami terhenti kala mobil mulai memasuki gang desa, melewati rumah-rumah warga yang berjejer tak luput dari tanaman di halaman rumahnya. Lumayan sepi, mungkin karena pukul delapan pagi adalah waktu di mana orang-orang sibuk. Suasana pedesaan ini memang terbilang sederhana dan persis seperti beberapa tempat sebelumnya yang pernah kami kunjungi. Namun, kesederhanaan alam itulah yang m

  • 21 Days in Sukabumi   Ancaman Ibu (18B)

    "Jen, beneran aku nggak sengaja, maaf!" Angel berucap dengan raut cemas, aku tak memedulikan permintaan maafnya. Dalam hati saat ini cuma sibuk merutuk, bertanya-tanya bagaimana caranya agar meredakan rasa sakit dengan cepat?! Peristiwa menyebalkan ini bermulai ketika Angel berdiri menating kelapa tadi, dia menginjak kakinya sendiri hingga terjatuh dan kelapa itu terlempar ke arahku. Mestinya buah itu jatuh mengenai wajah, tapi aku buru-buru menghindar, sialnya malah menghantam ... organ vital. Perempuan berponi tersebut berjongkok mengusap-usap punggungku yang membungkuk; masih menahan sakit. Supaya tidak canggung dilihat orang, aku pura-pura memainkan pasir yang terkontaminasi sampah. Ah, lebih baik memunguti sampah juga. Beberapa saat setelahnya, rasa sakit itu kian mereda hanya ya sedikit masih ngilu. Aksiku memungut sampah pun menarik pengunjung lain untuk melakukannya juga. Hal tak sengaja dilakukan malah menebar dampak

  • 21 Days in Sukabumi   Insiden Kelapa (18A)

    Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status