Banyak yang bilang kalau realita kadang tak sesuai ekspektasi, begitu pula yang dirasakanku dan Angel. Dari informasi yang didapat, menuju desa ini hanya memakan waktu lima jam. Namun, nyatanya sudah enam jam lebih dan kami harus berusaha lebih susah lagi untuk menuju tempatnya.
Kali ini, kami harus putar balik melewati jalur lain untuk sampai ke tempat tujuan. Pasalnya, menurut orang yang berada di sana, jalan yang hendak dilalui ini rusak tertimbun longsor satu hari lalu dan sedang proses perbaikan. Setelah putar balik, lalu melewati jalan yang lurus, aku dan perempuan yang sedang mendengkur ini harus belok ke arah kanan. Terdapat plang besar berisi ucapan selamat datang di Desa Banjarsari di sini.
Bentukan jalannya pun bukan berupa aspal, melainkan tanah yang agak becek. Mungkin, dikarenakan terkena hujan semalam. Di belokkan pertama sisi kanan-kiri jalan, hanya terdapat tanaman-tanaman liar. Jalan berkelok serta becek ini membuatku harus ekstra hati-hati dalam mengendarai mobil.
"Haduh ... mobil pasti kotor ini." Aku bermonolog sembari berwaspada terhadap genangan air yang mengintai.
Sampailah mata ini menangkap sebuah bangunan rumah kecil yaitu warung di pinggir jalan. Rumah warga juga sudah terlihat dari sini, tak dipungkiri rasa lega pun menghampiri. Sudah tak ada lagi jalan berkelok, kuucaplah syukur. Akan tetapi, perasaan kembali tegang saat memandang sebuah tanjakan yang tidak terlalu terjal di depan sana.
Meskipun begitu, hati tetaplah gusar sebab jalurnya pasti tidak memungkinkan untuk bisa melewati tanjakan tersebut. Terlebih lagi, aku tak berpengalaman pada kondisi jalan seperti ini. Kendaraan dihentikannya sejenak, mengumpulkan nyali untuk melintasi rintangan baru. Kebetulan, Angel terbangun dari mimpinya, mau tak mau kusuruh dia untuk turun dan berjalan kaki sampai mobil ini berhasil melintasi tanjakan.
Kuhirup napas sedalam-dalamnya, dengan tekad yang bulat, pedal gas diinjak bersamaan jantung berdebar-debar karena sedikit takut. Detik-detik menegangkan pun tidak bisa dihindari, aku kesulitan mengendalikan mobil dan malah terjebak di pertengahan jalur! Terus berusaha, tapi tetap tak membuahkan hasil sampai akhirnya mobil mundur kembali. Argh!
Rem diinjak secara mendadak kala di kaca spion---tepatnya di belakang mobilku muncul mobil ambulans yang hampir saja tertabrak. Di tengah situasi genting terjadi, syukurlah Tuhan masih mau menolong oleh datangnya tiga pria dan si pemilik warung yang tadi tampak terkejut mendengar suara bising dari mesin mobil.
Salah seorang dari pria tersebut berteriak pada warga lain agar membawa tali tambang untuk dikaitkan ke mobil supaya dapat melintasi tanjakan. Kukira, hanya sepuluh orang yang datang padahal lebih dari itu. Dengan sigap, beberapa di antara mereka menautkan tali ke bagian bawah mobil. Kemudian, ban depan juga belakang diganjal menggunakan batu besar.
Setelah semuanya siap, beberapa orang di antaranya bersedia menarik tali tambang yang tersambung dengan kendaraan ini. Lalu, beberapa orang lagi berada di belakang guna membantu mendorong. Dengan bantuan juga usaha para warga, akhirnya aku bisa melewati tanjakan jalan tersebut. Ditariknya napas lega, pun rasa syukur diucapkan berkali-kali pada-Nya.
Mobil diparkirkan di pinggir jalan, aku turun lantas bersalaman dengan para warga yang telah membantu barusan, tak lupa rasa terima kasih kuucapkan. Gembira rasanya memandang keantusiasan penduduk desa untuk saling membantu. Setelah bersalaman, para warga kembali membantu sebuah kendaraan yang hendak melintas tanjakan. Kendaraan itu tak lain adalah mobil ambulans yang tadi nyaris tertabrak olehku.
Pandangan diedarkannya ke beberapa tempat di sini, mencari keberadaan Angel. Kuputuskan untuk bertanya pada seorang wanita yang tengah duduk di teras rumah dekat mobilku berada.
"Permisi, Bu, apa Ibu lihat temen saya? Dia perempuan, tubuhnya langsing, dan pakai kulot warna cokelat," jelasku secara rinci.
"Oh, iya, dia yang tadi minta bantuan itu, kan? Tadi, dia diajak mampir sama Bu kades yang rumahnya di situ." Wanita berdaster kuning disertai motif bunga mawar merah menunjuk ke rumah bercat putih di seberang.
"Terima kasih, Bu," ucapku, lantas pergi mendatangi rumah tersebut.
Aku mengucap permisi tak lama kemudian, pemilik rumah menghampiri. Menyapa dengan ramahnya, sesudah itu mempersilakan masuk terlebih dulu karena tahu bila aku adalah teman Angel. Benar saja, perempuan berambut panjang yang diikat itu baru selesai menikmati secangkir teh hangat. Aku duduk di sebelahnya, disusul oleh Bu kades. Kemudian, memperkenalkan diri serta tujuan kedatangan kami ke sini.
"Kalian, téh, asalnya dari Bandung? Jauh-jauh ke sini mau ngunjungin siapa?" tanya wanita berjilbab ungu itu keheranan.
"Kalau saya sebenarnya dari Kanada, Bu, pulang ke rumah Papa yang di Bandung dan ke sini ... sengaja buat referensi tulisan saya," balasku sedikit gugup menjelaskan tujuan serta alasannya.
"Wah, jauh atuh, ya. Tapi, kok bisa lancar Bahasa Indonesia gitu?"
"Iya, soalnya saya sering kontekan sama Papa pakai Bahasa Indonesia."
"Hebat, atuh." Beliau memuji tatkala aku berucap demikian.
"Kalau Néng ini dari Bandung juga, 'kan?" Bu Nita kembali bertanya.
"Iya, Bu. Tapi asli mah di Sukabumi."
Setelah berbincang-bincang ringan, aku meminta saran tempat penitipan mobil. Namun, sayangnya tidak ada, lalu Bu Nita menawarkan dengan senang hati agar mobilku disimpan dulu di samping rumahnya.
*****
Kali ini, aku, Angel, dan seorang kakek-kakek asal desa ini tengah berjalan-jalan mengitari hijaunya pemandangan sawah sembari mengobrol. Membahas tentang kejadian-kejadian yang pernah menggemparkan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan yang diselenggarakan, juga keadaan ekonomi yang kurang terkadang mmenyulitkan mereka hanya makan sesuap nasi.Desa Banjarsari merupakan perbatasan antara Kabupaten Sukabumi dengan Cianjur yang dibatasi oleh sungai yang lumayan besar yaitu sungai Cibala. Akses melewati Cibala yaitu melewati Jembatan yang terbentang dari tepi sungai Kampung Tegal Loa melintas ke tepi sungai Kampung Cikeuyeup.
Kata Bah Halim, Sungai Cibala ini sangat indah apalagi saat musim kemarau dengan air yang masih jernih dan alam yang masih asri. Sangat cocok bila dijadikan kawasan arum jeram. Di sungai itu juga terdapat batu yang dianggap mistis oleh masyarakat setempat, yaitu batu Bale Kamang.
Orang sekitar menyebutnya batu yang tidak pernah tenggelam atau batu yang selalu terlihat mengapung di atas air Sungai Cibala tersebut. Meskipun, sungai itu mengalami pasang yang cukup besar. Konon katanya, di Bale Kamang sering terdengar suara alunan musik gamelan dan nyanyian.
Jika terdengar suara musik dan nyanyian, penunggu di sana sedang melakukan pesta pora dan akan terdapat banyak ikan. Karena sungainya lumayan besar, sehingga banyak sekali orang yang memancing di sana. Ikan yang menjadi popularitas di sana tak lain adalah ikan regis. Ukuran ikan regis cukup kecil, tetapi banyak orang yang menyukainya sebab rasanya yang begitu gurih dan lezat.
Kemudian, beberapa bulan lalu di salah satu kampung Desa Banjarsari ini, pernah terjadi bencana alam berupa pergeseran tanah yang memorakporandakan jalan desa di kampung tersebut. Akibat pergeseran tanah itu, jalan desa amblas dan rusak berat sepanjang 30 meter sampai-sampai tidak dapat dilalui kendaraan bermotor.
"Bencana itu juga merusak saluran air dan membuat ambruk fondasi jembatan. Saluran air rusak total dan harus diperbaiki dari nol," tutur Bah Halim seraya memandang langit. Mungkin, bermaksud untuk mengingat kejadian tersebut.
Selain itu, lima rumah dalam posisi terancam runtuh karena berada di jalur retakan tanah yang mengalami pergeseran. Sistem pengairan ke areal sawah lumpuh total sehingga tidak dapat mengalirkan air yang sangat dibutuhkan petani terutama pada musim kemarau. Bangunan lain yang terdampak adalah tugu batas desa.
"Apa selepas kejadian itu, warga dari kampung lain bantu mereka perbaiki juga, Bah?" sahut Angel yang berjalan tepat di belakang tubuh kurus pria tua itu.
"Iya, warga dari kampung lain serempak bantu. Emang selalunya gitu, setiap kelompok ini kesusahan, pasti kelompok lain bantu."
Betapa kompaknya orang-orang di desa ini. Mereka beruntung tinggal di lingkungan yang senantiasa mengutamakan kepedulian sesama. Walau daerahnya termasuk kawasan pedalaman, tapi semangatnya justru tak kalah dalam.
"Maaf, Bah, apa Mbah pernah mengalami masalah ekonomi juga?" Sejujurnya, aku merasa kurang sopan bila bertanya seperti ini. Hanya, keingintahuan diri inilah yang mendorong kuat untuk mampu bertanya begitu.
Tak terasa, kami telah sampai di saung yang berada di tengah-tengah hamparan padi yang hijau menyejukkan mata. Setelah kami duduk, barulah Bah Halim menjawab pertanyaanku.
"Waktu masih usia 20 tahun dulu, saya pernah kena tipu sama temen. Saya abis dapat uang tiga puluh ribu hasil bantu-bantu tetangga, lalu dia tiba-tiba datang cari saya, mengemis-ngemis dan menangis. Katanya, mau pinjem uang lima ratus ribu buat berobat ibunya, tapi saya mana ada uang segitu.
Alhasil, dua puluh ribu saya kasihkan dan dia janji bayar lusa, uang sisa sepuluh ribu hanya cukup dibelikan beras satu liter dan garam. Sampai di rumah, saya panik lihat badan Emak panas dingin mungkin karena kelaparan dari hari sebelumnya. Tiga hari kemudian, almarhum jatuh sakit dan saya sibuk cari cara biar segera dapat uang dan harap temen saya itu segera bayar hutangnya buat Emak berobat.
Kagetnya saya waktu tetangga bilang dia dilaporkan ke polisi karena menjambret. Beritanya semakin merebak sampai terbongkarlah bahwa dia seorang penipu yang pinter bersandiwara. Saya kesel, tapi keadaan Emak lebih penting dipikirkan. Lalu, minta bantuan tetangga buat anter ke rumah sakit, tiga hari kemudian beliau pergi."
"Terus Abah kecewa, ngamek, atawa
kumaha kitu?" Perempuan yang tengah duduk bersila itu mengusap pelupuk matanya yang sedang berderai air mata."Pasti, tapi saya tahan, lah. Nggak ada guna juga marah-marah begitu karena saya pikir itu juga musibah."
*****
Di atas jembatan kayu yang sudah tua dengan lebar sekitar tiga meter ini kami menyaksikan derasnya aliran sungai. Airnya pun masih terbilang sangat jernih, belum tercemari apa pun seperti sungai-sungai lain misalnya yang terletak di perkotaan. Suara gemuruh arus itu membuat hati sejuk serta tergerak untuk menjeburkan diri ke dalam sungai itu. Kalau tidak berbahaya.Di dalam air itu terdapat ikan berukuran sedang ada juga ikan regis yang katanya terkenal kecil, tapi gurih. Saking kecil dan suka bersembunyi di balik bebatuan, mataku hampir tak melihat keberadaannya.
"Sipit, sih makanya nggak liat!" ledek perempuan berbulu mata lentik sebelah itu mengundak gelak di antara kami.
Setelah melihat-lihat keadaan sungai, kami beralih menuju batu besar yang dipercaya mistis itu. Bale Kamang, batu hitam legam berukuran raksasa yang tingginya pun dua kali lipat dari tinggi tubuhku. Menakjubkan! Beberapa permukaannya terasa sedikit kasar dan permukaan halus mendominasi.
"Wah, jadi ini yang namanya Batu Bale Kamang itu? Terus suara-suara musik itu biasanya terdengar kapan?" Aku penasaran.
"Ya, di hari tertentu seperti misalnya malam Jumat Kliwon atau beberapa hari menjelang perayaan-perayaan," jelas Bah Halim.
Tiba-tiba, Angel menyahut minta tolong untuk difotokan. Ah, dasar perempuan, lihat tempat langka, estetis, atau apa pun itu pasti tak luput dari swafoto. Namun, sepertinya tidak hanya perempuan juga. Puas berswafoto sendiri, sekarang dia malah mengajakku. Sejujurnya, aku tidak terlalu suka berfoto-foto karena selalu mati gaya; kaku seperti yang dikomentari oleh orang iri kemarin.
Cahaya merah mulai terbentang di ufuk barat, meskipun hari ini perjalanan pertama, tapi terasa sangat ragib. Bah Halim kemudian mengajak pulang, aku sempat bertanya di desa ini tersedia rumah penginapan atau tidak? Rupanya memang ada, tetapi hanya satu.
Terpaksa, harus perempuan langsing itu yang menempati. Kalau kami bermalam di tempat yang sama, aku takut warga berdatangan sambil membawa obor, lalu dengan sigap melelehkan wajah tampan paripurna ini. Kejam sangat halusinasiku.
"Kamu nginep di rumah Abah saja," tawarnya kepadaku, "Kecuali kalau kalian suami istri, ya, pasti kalian berdua boleh nginep di sana." Kakek ini bercakap sembari melipat lengannya ke belakang. Sementara gadis di sampingku memalingkan wajah ke arahku, bola matanya terlihat siap dikeluarkan. Aku hanya menanggapinya dengan seulas senyum menahan tawa. Entah apa yang lucu?
****
ngamek : marahAtawa kumaha kitu : Atau gimana gituKediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar."Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku."Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?""Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu
Usai puas bersuka ria di atas bukit, kami lantas berkeliling area sawah. Angel nyaris berlumuran lumpur dan merusak padi-padi yang masih segar, kakinya terpeleset. Beruntung aku sigap menahan agar dia tak jatuh. Dasar gadis kampung ini, banyak tingkah jika sudah berada di alam bebas. Kulihat, ada sekitar empat orang-orangan sawah di sini hingga ujung sana. Agaknya karena tempatnya luas, jadi agar memudahkan mengusir gerombolan burung yang hinggap. Angel merasa capek, kami pun beristirahat di samping saung dengan beberapa orang berada di sana. Kupandangi sekitar, ternyata lebih estetis juga pemandangannya. Kamera yang berada di dalam tas diambilnya, kemudian mengambil gambar dari bagian sebelah kanan dulu, berlanjut ke tengah, lalu ... kuarahkan kamera itu ke wajah Angel yang tengah melamun. Yah! Pose menatap lurus ke depan dengan beberapa helai rambut pendeknya terbawa angin, itu cukup bagus. Aku tersenyum menatap cantiknya---oh, apa dia juga tida
Ayunan dengan desain kursi kayu yang menambah estetika tempat wisata sederhana in, menjadi tempat duduk kami sekarang. Aku dan Angel mengakhiri perdebatan dengan saling bermaafan, tak lupa aku memperingatkan agar dirinya tidak lagi mengakrabkan diri dengan orang asing, terlebih pria. "Berarti, sama kamu juga nggak boleh deket-deket?" tanya gadis itu yang kuyakini dia sendiri tahu jawabannya. "Nggak boleh, kamu harusnya nempel-nempel kalau sama saya." Aku menjawab sembari mesem-mesem, penasaran melihat reaksinya. "Dih, ngapain juga kayak gitu?! Sana jauhan!" suruhnya, lantas kutanggapi dengan tawa membuat pengunjung lain mengalihkan perhatian. "Ngomong-ngomong, temen kamu yang ganteng itu, siapa?" "Penasaran, ya? Ngapain juga kamu cari yang ganteng di luaran sana, sedangkan saya yang nggak kalah ganteng ada di deket kamu?" Kira-kira, hatinya meleleh atau tidak? Jantungnya masih aman, kan? Kulihat ekspresi perempuan ini
"Njel, saya punya kenalan ganteng, loh." Perempuan itu melepas earphonenya dan menoleh. "Terus kenapa?" "Kamu bukannya suka sama yang ganteng-ganteng?" tanyaku meledek. "Ya, siapa sih, yang gak suka sama cowok ganteng?" Wah, suatu pujian tersembunyi untukku. Itu artinya, dia sendiri menyukaiku, kan? "Berarti kamu juga suka saya, dong?" Mendengar itu, dia mengangkat satu alis serta melengkungkan bibir. Jelas aku bukan pakar ekspresi, jadi hanya dapat menyimpulkan kalau dari ekspresinya mengatakan iya. Perbincangan kami terhenti kala mobil mulai memasuki gang desa, melewati rumah-rumah warga yang berjejer tak luput dari tanaman di halaman rumahnya. Lumayan sepi, mungkin karena pukul delapan pagi adalah waktu di mana orang-orang sibuk. Suasana pedesaan ini memang terbilang sederhana dan persis seperti beberapa tempat sebelumnya yang pernah kami kunjungi. Namun, kesederhanaan alam itulah yang m
"Jen, beneran aku nggak sengaja, maaf!" Angel berucap dengan raut cemas, aku tak memedulikan permintaan maafnya. Dalam hati saat ini cuma sibuk merutuk, bertanya-tanya bagaimana caranya agar meredakan rasa sakit dengan cepat?! Peristiwa menyebalkan ini bermulai ketika Angel berdiri menating kelapa tadi, dia menginjak kakinya sendiri hingga terjatuh dan kelapa itu terlempar ke arahku. Mestinya buah itu jatuh mengenai wajah, tapi aku buru-buru menghindar, sialnya malah menghantam ... organ vital. Perempuan berponi tersebut berjongkok mengusap-usap punggungku yang membungkuk; masih menahan sakit. Supaya tidak canggung dilihat orang, aku pura-pura memainkan pasir yang terkontaminasi sampah. Ah, lebih baik memunguti sampah juga. Beberapa saat setelahnya, rasa sakit itu kian mereda hanya ya sedikit masih ngilu. Aksiku memungut sampah pun menarik pengunjung lain untuk melakukannya juga. Hal tak sengaja dilakukan malah menebar dampak
Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan