Share

21 Days in Sukabumi
21 Days in Sukabumi
Penulis: Yoshifa

Bandung, I'm Coming! (1)

Kembali aku menginjakkan kaki ke rumah tingkat yang telah ditinggalkan selama hampir dua belas tahun ini. Hanya sedikit yang berubah dari penampilan bangunannya. Cat yang dulu berwarna merah muda sudah berubah menjadi putih, halaman depan pun sudah tak ditanami rumput liar lagi.

Sekilas bayangan masa kecil terlukis kembali dalam benak. Saat-saat berkumpul dengan keluarga, bermain dengan teman, hingga ketika hampir menangis sebab akan pergi meninggalkan tempat ini. Sekarang, aku sudah di sini meski mungkin hanya sesaat.

Tok-tok-tok!

Kuketuk pintu rumah, berharap Papa sedang tidak pergi ke luar. Tak lama kemudian, terdengar suara perempuan yang menyahut dari dalam. Membukakan pintu dan bertanya, "Iya? Ada perlu dengan siapa, ya?"

"Oh! Perkenalkan saya Jeno putra Pak Johni yang menetap di Kanada," jawabku disertai senyum ramah setelahnya.

Terlihat ekspresi wajah wanita dengan rambut diikat seadanya itu berubah menjadi kaget dan gugup. Setelah itu, dia mempersilakanku untuk masuk dan duduk di ruang tamu, lantas dia pergi ke ruangan lain. Beberapa benda di ruangan ini telah diperbarui, tetapi suasana rumah tetap terasa seperti dulu.

Tas punggung yang berisi banyak pakaian juga benda lain dilepasnya, lalu kuletakkan di atas punggung kaki yang terbalut kaus kaki. Wanita tadi datang dengan membawakan segelas air putih serta satu toples biskuit cokelat.

"Wah, terima kasih. Sebelumnya, di mana Papa? Em, maksudnya Pak Johni." Aku bertanya sebelum melahap biskuit cokelat tersebut.

"Saya juga kurang tau, Mas. Soalnya, akhir-akhir ini Pak Johni sering ke luar rumah, tapi entah ke mana?" jelasnya kelimpungan.

Aku hanya memanggut-manggut, lantas dia pamit ke dapur. Sembari memamah, diri ini seakan bertanya-tanya ke mana dan ada tujuan apa Papa sering bepergian akhir-akhir ini. Beberapa bulan lalu saat kuhubungi, Papa mengatakan kalau dirinya tidak lagi menjadi bos di sebuah restoran karena bangkrut.

Pria bertubuh gemuk itu tak memberikan kejelasan mengenai bangkrutnya restoran tersebut. Namun, aku hanya bisa berdoa agar dia selalu dalam keadaan baik-baik saja. Sudah sejak lama pula aku ingin menemui Papa, hanya saja ada suatu hal yang menghambat.

---0o----

Malam sudah tiba, tapi Papa belum juga pulang. Sedari tadi aku terduduk di hadapan jendela kamar yang dulu pernah kutempati sambil memainkan ponsel pintar berukuran kurang lebih 14 sentimeter guna menunggu kedatangannya.

Ketika tengah asyik menonton sebuah film laga, terdapat notifikasi pesan masuk. Kelihatannya tidak penting, kuabaikan saja dulu sampai film ini selesai. Namun, lagi-lagi sesuatu memecah fokusku menonton, itu adalah suara klakson dari luar gerbang . Tirai jendela dibukanya, menampakkan mobil pribadi berwarna hitam memasuki pekarangan rumah.

Mobil Papa? Buru-buru aku menuruni tangga, menyambut kedatangan sang pemilik rumah. Sampai di depan pintu, Papa terkejut dengan kehadiranku. Begitu juga denganku yang terkejut saat mendapati seorang wanita di belakangnya.

"Jeno?" ujarnya yang kemudian merangkul tubuh jangkung ini. Aku mengangkat kedua sudut bibir hingga mata menjadi sipit, melepas kerinduan yang sejak lama tertahan.

Papa mengusap punggungku berkali-kali. Ia seakan memberi isyarat bahwa dirinya tak percaya anak semata wayangnya sudah sebesar ini. Selepas puas melepas rindu, pria di hadapanku ini memperkenalkan wanita yang sedari tadi hanya berdiri, mesem, dan kebingungan.

"Ah, iya, kenalin ini Marni temen Papa."

"Halo salam kenal," sapa wanita tersebut mengulurkan tangan. Kubalas uluran tangannya yang agak kasar serta berjejer empat cincin di jari lentiknya. Lepas berkenalan, aku pamit ke kamar lagi dengan alasan menyelesaikan tontonan film yang sempat terpotong tadi.

---0o---

Rintikkan hujan lebat disertai suaranya yang amat bising lantas menemani dinginnya malam ini. Kubuka ponsel yang baru saja selesai diisi baterai, ternyata Mama mengirimi banyak pesan juga telepon. Dibacanya pesan tersebut satu per satu, ternyata beliau cuma mengingatkanku jangan berlama-lama di sini saja karena ....

"Jeno," panggil Papa membuka pintu kamar dan membuatku sedikit terhenyak saking seriusnya membaca pesan dari wanita yang telah melahirkanku itu.

"Iya, Pa."

"Ayo, kita makan malam dulu! Ada ayam kecap, makanan kesukaan kamu."

Bukan seperti yang orang banyak pikirkan. Ayam kecap kesukaanku berupa ayam goreng biasa diolesi kecap yang baru saja dikeluarkan dari kulkas. Cairan kental hitam dengan rasa manis serta suhu dinginnya, berpadu dengan gurih juga garingnya ayam goreng. Sedikit menggelikan memang, tapi rasanya enak melebihi makanan berlapis emas sepuluh karat.

Setelah sampai di meja makan, sepasang mata ini malah mencari sesuatu yang hilang. Ya, wanita tadi. Ke mana dia?

"Pa, tamu yang tadi itu udah pulang, ya?" Aku bertanya sekaligus memecah keheningan di antara Papa dan dua orang pembantu yang sedang menyiapkan hidangan.

"Iya, kenapa? Habis makan, kita ngobrol-ngobrol, ya?"

"Enggak. Ini juga, 'kan, lagi ngobrol?" kelakarku sedikit mencairkan suasana yang sejak tadi dingin bak sengaja mengunci mulut masing-masing.

Rupanya, orang-orang yang bekerja di sini diperlakukan dengan baik oleh Papa. Mereka dipersilakan makan bersama satu meja dengan majikannya. Aku suka hal seperti ini, patut ditiru dan dijadikan contoh bagi orang di luaran sana yang senantiasa memperlakukan para pekerjanya dengan semena-mena.

Beberapa menit berlalu, acara makan malam kali ini sudah cukup membuat perut terisi. Sekarang, aku iseng hendak menonton televisi yang sepertinya jarang dinyalakan. Sudah lama juga mata ini tak menangkap acara-acara siaran televisi sebab sibuk berkutat dengan benda elektronik lain.

Selama bertamu di rumah ini, aku nyaman-nyaman saja. Tak ada rasa canggung atau malu sedikit pun ketika melakukan sesuatu. Karena untuk apa pula canggung? Ini rumahku juga, bebas berbuat apa saja asal masih dalam batas wajar.

Papa tiba-tiba datang dengan dua gelas keramik putih berlukiskan matahari. Ah, lihatlah! Gelas itu adalah gelas favoritku kala menginjak usia tujuh tahun dan sampai sekarang masih tersimpan tanpa kecacatan. Luar biasa! Kukira, sudah musnah di tempat sampah.

"Jen, masih inget ini?" Beliau bertanya diikuti tawa kecil.

"Ingat, lah. Kok, masih ada sampai sekarang?"

"Iya, sengaja disimpen jaga-jaga kalau kangen sama kamu dulu."

"Kan, bisa telepon gitu lewat Mama." Dengan jawaban ini, pria di hadapanku hanya menggeleng lalu duduk bersebelahan.

Kami mulai berbincang-bincang dari hal yang ringan. Saling menanyakan kabar, berbicara mengenai kegiatanku selama tinggal di Kanada, perenovasian rumah, hingga terlarut dalam pembahasan lainnya. Tak lupa, Papa juga bertanya mengenai kedatanganku ke sini.

"Kamu udah ada gandengan?"

Aku terkekeh mendengar pertanyaan itu, lalu menjawab, "Belum, lah, Pa. Masih mau fokus  belajar."

"Oh, bagus kalau gitu. Tapi, pasti ada 'kan em, perempuan yang kamu suka?"

"Ah, yaa kalau itu ... ada." Kepala menunduk juga tersenyum menggigit bibir bawah saat berkata demikian. Malu!

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status