Wirya hanya menggunakan Senin hingga Sabtu mengurus pekerjaan kantornya. Dan setiap hari Minggu, ia akan menghabiskan waktunya di rumah bersama Latri. Wirya sudah terbiasa untuk menemani istrinya melakukan serangkaian latihan fisik dalam proses fisioterapi yang tengah dijalani.
Wirya memang sengaja memanggil beberapa terapis terbaik sejak dua bulan lalu ke rumah guna membantu Latri. Ia juga membeli sejumlah alat-alat terapi dan gym yang dapat membantu wanita itu selama masa penyembuhan. Wirya mendukung secara penuh keinginan sang istri untuk sembuh dan bisa berjalan lagi tanpa operasi.
"Aku bisa, Wi," ucap Latri disertai senyuman cukup lebar disaat melihat sorot kekhawatiran di sepasang mata sang suami yang berdiri di depannya. Wanita itu sendiri sedang berada di tengah-tengah paralel bar, melatih kakinya berjalan.
"Tidak, aku tetap mengawasi di sini. Hati-hati melangkahnya su—" Wirya belum sempat menyelesaikan kata-katanya saat tiba-tiba saja tubuh Latri oleng dan nyaris jatuh ke lantai. Tapi untunglah, ia begitu cepat sigap dan menangkap tubuh istrinya.
"Kakiku kayaknya keseleo." Latri berujar pelan dan menahan ringisan karena merasa sakit yang cukup kuat pada bagian pergelangan kaki kanannya.
Tanpa menunggu waktu lebih lama, Wirya segera menggendong istrinya dan berjalan menuju ke salah satu sudut ruangan, dimana sofa panjang terletak. Raut kecemasan tampak nyata di wajah pria itu. Ia tidak akan pernah senang jika terjadi hal buruk pada istrinya.
"Mana yang sakit?" Wirya langsung saja bertanya sesaat setelah berhasil mendudukkan sang istri di atas sofa. Ia tampak belum bisa tenang.
Wirya kemudian mengambil posisi setengah bersimpuh di depan Latri sembari memegang salah satu kaki istrinya itu yang terlihat merah dan bengkak. "Aku sudah bilang hati-hati. Tapi, malah tidak didengarkan."
"Maaf," ucap Latri tak enak karena ia bersalah. Terlalu percaya diri jika mampu memfungsikan kaki-kakinya dengan baik.
"Kita ke dokter saja, Latri."
"Aku pikir cuma keseleo. Kita tidak perlu pergi ke dokter. Mungkin habis dikompres air hangat sakitnya akan berkurang." Latri menolak halus. Ia terkadang tidak suka dengan rasa cemas berlebihan suaminya yang dari dulu tak berubah.
"Menurutku fisioterapi ini lumayan berat bagimu, Latri. Apa kamu tidak ingin operasi saja di Jepang? Aku akan mengurus semuanya. Berapa pun biaya yang dibutuhkan. Aku siap membayar demi kesembuhanmu."
Latri menggeleng seraya tak melepas tatapan pada sosok Wirya yang juga sedang memandangnya dengan sorot kasih sekaligus memohon. "Tidak, Wi. Aku tidak ingin dioperasi. Walau fisioterapi perlu waktu yang lebih lama. Terima kasih sudah peduli pada kondisiku."
"Kamu istriku. Aku akan melakukan yang terbaik supaya kamu kembali dapat berjalan seperti dulu." Wirya menanggapi serius keformalan yang tadi ditunjukkan Latri.
"Semua itu kamu lakukan karena tidak ingin punya istri yang cacat dan hanya bisa menghabiskan waktu di kursi sepertiku 'kan, Wi?"
Keterkejutan menghinggapi Wirya mendengar lontarkan pertanyaan dari Latri yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. "Aku tidak sedikit pun malu. Aku cuma ingin supaya kamu cepat sembuh tanpa harus menderita mengikuti fisioterapi. Kalau dengan operasi kamu bisa berjalan kembali."
"Ikuti saja permintaan anak Ibu, Nak. Jangan banyak menyusahkan putra Ibu lagi karena kecacatanmu."
Latri dan Wirya hanya bisa diam seribu bahasa ketika suara milik Ibu Ratna menggema di sekitar mereka. Sosok ibu kandung Wirya itu sedang berdiri di depan pintu ruangan seraya melayangkan tatapan cukup tajam ke arah menantu beliau.
"Lagipula, kalian sudah hampir tiga bulan menikah. Tapi, Latri belum juga mengandung. Ibu tidak mampu menjamin kebohongan kalian akan bisa awet sepulang Ayah dari Jepang seminggu lagi." Ibu Ratna dengan tenang melanjutkan ucapan beliau yang sarat akan sindiran.
===============================
"Apakah ketulusan anak saya dalam mencintai kamu harus diragukan lagi, Nak Latri? Dia tidak ragu melakukan apa pun hanya demi membuktikan perasaanya."
"Jika kamu tidak dapat mencintai anak saya, jangan pernah kecewakan Wirya lebih banyak lagi. Kebaikan anak saya tidak seharusnya kamu dimanfaatkan, Latri."
"Anak saya bahkan pantas mendapat pendamping hidup yang jauh lebih sempurna. Andai Wirya tidak teguh memegang janji yang dibuatnya pada mendiang ayahmu. Saya yakin dia akan mencari wanita lain yang dapat mencintainya dengan tulus."
Kesesakan menghantam dada Latri semakin kuat ketika ucapan-ucapan bernadakan sinis yang pernah ibu mertuanya katakan beberapa waktu lalu. Hal tersebut setidaknya dapat menciptakan kesadaran dalam diri Latri tentang cinta Wirya yang besar padanya. Sedangkan, ia tak kunjung membalas perasaan pria itu. Latri kian merasa tak enak.
"Apa kamu masih memikirka kata-kata Ibuku kemarin?"
Segala bentuk pemikiran yang tadi sempat membuat Latri melamun pun buyar, tatkala sentuhan tangan Wirya terasa di bagian pipi kanannya. Dan manakala Latri memandangi wajah suaminya, tak ada tercipta senyuman di sana. Ekspresi datar mendominasi dilengkapi sorot mata tajam yang terarah padanya.
"Sedikit, Wi," balas Latri jujur. Ia tak mungkin berbohong untuk masalah ini. Senyuman tipis terbentuk oleh masing-masing sudut bibirnya.
Sementara, Wirya tak menunjukkan reaksi. Walau dentangan waktu terus berjalan pagi ini dan mengingatkan bahwa ia harus segera berangkat ke kantor, tetapi Wirya tidak berniat beranjak dari tempat tidur. Tak mau meninggalkan istrinya dalam kondisi tidak baik.
"Aku lihat kaki kamu masih bengkak, Latri. Kalau begitu kita periksa ke dokter. Aku tidak akan bekerja hari ini," beri tahu Wirya dengan suara beratnya sambil terus menatap Latri yang hanya memandang lurus ke depan.
Wirya menyadari betul jika sang istri terbebani dengan ucapan sarkasme ibunya kemarin. "Sudah aku bilang jangan pikirkan kata-kata Ibu. Aku tidak akan pernah membiarkan Ibu menyakitimu, Latri."
"Tapi, perkataan Ibu kamu memang ada benarnya. Kondisiku sekarang cuma bisa menyusahkanmu, Wi."
Wirya berdecak. Jelas, ia tidak suka akan deretan kalimat yang baru saja dilontarkan istrinya. "Aku tidak merasa disusahkan sedikit pun, Latri. Berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak."
Selepas menangkap nada sarat emosi dalam suara berat Wirya, Latri lantas memandangi suaminya itu. Walaupun hanya sebentar karena ia kembali memfokuskan atensi ke arah lain agar tak perlu bersitatap dengan Wirya.
"Mungkin kalau kamu tidak memiliki janji menjagaku pada almarhum ayah. Aku rasa kamu akan hidup bahagia bersama wanita lain yang jauh lebih sempurna dariku."
Wirya lagi-lagi harus mengeluarkan decakannya. "Ck. Apa menurutmu aku bisa lepas tangan setelah Ayah dan Ibu cuma ingin mengicar saham yang ditinggalkan Ayahmu, Latri?"
"Aku tidak akan membiarkan mereka lebih menyakitimu cuma karena harta dan saham."
Kali ini mata Wirya dan Latri saling beradu. "Beri aku kesempatan supaya aku bisa membuktikan keseriusanku dalam melindungimu, Latri. Meski, kamu belum bisa mencintaiku saat ini. Aku tidak akan memaksa."
Latri ingin sekali menanggapi ucapan Wirya sebenarnya. Namun, wanita itu urungkan karena timbul rasa mual yang kian hebat. "Wi, aku bisa minta tolong ambilkan kursi roda? Aku mau ke kamar mandi. Mau muntah."
Wirya pun segera bertindak. Ia lantas bangun dari tempat tidur, melangkah cepat mengambil kursi roda istrinya yang ditempatkan di sudut lain kamar. Sedikit jauh dari ranjang. Kemudian, Wirya membantu Latri berpindah duduk ke atas kursi roda.
"Apa maag kamu kambuh lagi?"
"Mungkin." Latri menjawab singkat pertanyaan yang diajukan oleh sang suami.
Dan ketika bisa membaca pergerakan Wirya yang hendak mendorong kursi rodanya ke kamar mandi, wanita itu berucap, "Aku bisa sendiri. Kamu diam di sini saja, Wi."
................................
Pak Indra menikmati secangkir kopi hitam hangat yang beberapa menit lalu baru disajikan oleh asisten rumah tangga di kediaman putra sulung beliau. Raut ketenangan terlihat nyata di wajah Pak Indra, meski tidak ada senyuman terbentuk di sana. Hari ini, beliau memang sengaja mempersiapkan waktu khusus untuk bertandang, selepas tiba dari Jepang kemarin malam. Pak Indra ingin tahu mengenai kondisi calon cucu pertama beliau yang sedang dikandung sang menantu. "Bagaimana kabar kalian berdua dan calon cucu Ayah? Kalian sudah tahu jenis kelaminnya?" tanya Pak Indra dengan menyelipkan keantusiasan cukup tinggi dalam suara beliau. Latri dan Wirya yang sedang duduk berdampingan pun lantas sama-sama menampakkan ekspesi ketegangan di wajah, selepas mendengar pertanyaan dari Pak Indra. Terutamanya Wirya yang mulai dilanda sekelumit rasa bersalah akibat kebohongannya sendiri. Dan pria itu telah bertekad akan mengatakan kejujuran.
Ketidakpercayaan masih sangat Latri rasakan, ia bahkan ingin menyangkal hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan jika dirinya sedang hamil empat bulan. Latri pun jarang memerhatikan siklus menstruasi yang kerap tak menentu. Ia enggan memusingkan. Dan seingatnya, terakhir datang bulan memang sudah lama. Sungguh semua ini diluar prediksi yang pernah Latri pikirkan. Andai tadi ia tidak pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, mungkin keberadaan calon anak mereka tak akan diketahui secara cepat. Latri tentu bersyukur dan merasa bahagia akan menjadi ibu lagi setelah keguguran yang sempat ia dialami beberapa tahun lalu. Latri juga ingin segera memberi tahu Wirya perihal kehamilannya, namun hampir lima hari belakangan pria itu tak menghubunginya. Latri mengira suaminya sedang cukup sibuk dengan sejumlah agenda dalam perjalanan bisnis di luar negeri. Sudah selama dua bulan lima hari lamanya Wirya tidak pulang, menyisakan 25 hari hingga akhirnya pria itu bisa kemba
Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya. Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu. "Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini. Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka. "Bangun, Nak." Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berda
Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab. Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda. Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan. Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung. "Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?" W
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.