“Kenapa aku bisa mengetahuinya?” ujar Shouhei dengan wajah dingin yang serius, memecah keheningan di antara mereka berdua. Risa Abdullah mengangguk bingung, keringat gelisah menatapnya tanpa kedip. Shouhei mengelus sebelah pipinya dengan lembut, berkata dengan sangat penuh cinta, “karena aku mengetahui hampir semua hal tentang dirimu, Risa Abdullah.” “Ta-tahu semua tentang diriku?” Shouhei mengangguk khidmat. “Ya. Hampir semuanya.” Risa termenung bodoh sesaat, lalu membeliakkan matanya kaget. “EHHHH?! Kamu sudah menyelidikiku selama ini? Dasar penguntit!” tuduh Risa kesal, antara percaya dan tidak percaya. Sang pria terkekeh elegan, mengusap puncak kepalanya pelan. Menyadari kalau Risa pasti memahami jawabannya dengan makna lain. Mungkin Risa mengira kalau dia baru-baru saja mencari tahu semua hal tentang dirinya, tapi pada kenyataannya Shouhei telah melakukannya jauh sebelum mereka bertemu di kantor dulu. Shouhei merasa geli dan penasaraan di saat yang sama, membayangkan baga
Selama dua hari izin, Risa Abdullah menghabiskan waktunya menjernihkan pikiran dengan banyak hal. Mulai dari membaca, berkebun, sampai hanya bersantai minum teh di mansion megah keluarganya. Ternyata, lama-lama bosan juga tanpa ada kebiasaan seperti biasa. Helaan napas Risa berat, menjatuhkan majalah fashion ke pangkuannya. Dia menatap ruang kaca dengan sinar matahari indah dan beberapa tanaman hias di dekatnya. Sangat asri dan hijau, juga ada beberapa bunga berbagai warna menghiasinya. “Dia bahkan tidak meneleponku? Hanya ucapan selamat tidur saja malam itu?” gumam Risa kesal, teringat dengan ucapan Shouhei terakhir kali. Walaupun sebenarnya dia marah, tapi saat teringat aksi heroik Shouhei untuk menyelamatkan nyawanya, dan lebih memilih dia yang hanya wanita simpanan ketimbang tunangan cantiknya yang manja, membuat suasana hatinya sedikit membaik. Namun, sudah dua hari sejak hari di mana bosnya mengakui bahwa dia tahu tentang jati dirinya yang asli, pria itu tidak menghubunginya l
Risa Abdullah sudah berganti pakaian khusus untuk turun ke dapur. Yang semula memakai gaun biru cerah, kini sudah menggantinya dengan kaos jingga sebatas siku dan sebuah rok tartan cokelat sebatas betis. Wanita ini kemudian meraih sebuah celemek putih untuk dikenakan, dan juga diberikan kepada Adnan yang telah berdiri menatap semua bahan di atas meja marmer super besar dan lebar. “Terima kasih,” balas Adnan tulus. Matanya memancarkan cinta yang belum pernah dia rasakan kepada wanita mana pun yang telah pernah tidur dengannya. Inikah yang namanya jatuh cinta? Benar-benar perasaan dalam dan sangat hangat! Risa yang melihat senyum Adnan yang agak aneh, menjahilinya dengan menoelkan krim dari mangkuk kecil ke sebelah pipi sang tunangan. “Tunanganku ini terlalu dingin, kalau diberi krim seperti ini pasti akan sedikit lebih manis, bukan?” ledek Risa, mengedipkan sebelah matanya jahil. Adnan Budiraharja memerah sekujur tubuh, lalu segera menguasai diri meraih sebelah pinggangnya. Berbi
Di hari Jumat pagi, Risa Abdullah datang ke kantor dengan gaya seperti seorang spionase. Wanita ini berusaha menuju lift tanpa ada yang bisa mengenalinya. Sayangnya, malah sangat konyol, wahai para pembaca! Dengan kacamata hitam, dan sebuah pashmina menutupi kepalanya, wanita berpakaian seragam sekretaris ini berjalan masuk dengan gaya yang jelas-jelas mencurigakan. Sesekali mengintip dari balik kacamata hitamnya, lalu berakting berpura-pura semuanya baik-baik saja. Tapi, setiap kali jalan beberapa meter, kakinya keseleo saking gugupnya takut tiba-tiba berpapasan dengan Shouhei. “Nona! Apa ada masalah?!” teriak penjaga keamanan ketika Risa hendak menempelkan kartunya pada palang menuju lorong lift berada, tapi kartunya malah jatuh terus ke lantai, tidak fokus terbaca oleh mesin barcode. “I-ini saya, Pak! Risa! Risa Abdullah!” terangnya bisik-bisik cepat, ketika penjaga mendekat dengan wajah kaget. “Waduh! Nona Risa sudah mau menjadi wanita sholeha, ya? Nona, roknya kependekan!” t
Napas Risa Abdullah tersengal hebat luar biasa ketika keluar dari lift. Dia bersandar di dinding dengan lipstik kacau di wajahnya, dan pakaian bagian atas agak berantakan. Sementara Shouhei Shiraishi yang berdiri di sebelahnya sudah berkilau sangat bahagia. Dasi yang dikenakannya diperbaiki dengan gaya yang elegan. Di salah satu sudut bibirnya, terlihat jejak lipstik sang wanita, lalu dengan cepat diusap menggunakan punggung tangan. Risa Abdullah melotot kesal ke arahnya. Dengan gugup dan gemetar segera memperbaiki kancing bajunya yang terbuka oleh perbuatan tirani sang bos beberapa saat lalu. ‘Sialan! Baru juga dua hari tidak bertemu dan menolak panggilannya, kenapa dia menjadi buas seperti itu?’ batin Risa kesal setengah mati. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lift yang akan dinaikinya akan menjadi perangkap sempurna dari pelampiasan pria itu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Shouhei, sebelah kening dinaikkan santai. ‘Baik-baik saja kepalamu!’ maki Risa dalam hati, menatapnya s
“Ke-kenapa harus begitu?” tanya Risa gugup ketika jam pulang kantor sudah tiba. Mata menatap gugup pada bos dinginnya di depan meja. Di sebelahnya, tampak sekretaris Renji hanya bisa tersenyum kikuk. Shouhei mengencangkan alisnya, berkata dalam dan tenang, “karena kamu adalah sekretaris yang menemaniku di awal pertemuan dengan Pak tua CEO itu, maka harus kamu yang ikut denganku sekarang.” “Tapi— ” “Ikut denganku,” titah Shouhei dalam dan kuat, wajah sudah menggelap kejam penuh ancaman. Risa Abdullah menciutkan diri, kedua kakinya gemetar hingga hampir jatuh dari posisi berdirinya. Baru juga diberi bekal makanan mewah, dia pikir bisa bersikap semena-mena lagi kepadanya? Dasar tiran! Lagi pula, bukankah orang yang terakhir kali ikut dengannya untuk mengurus masalah taman hiburan adalah sekretaris Jill? Kenapa sekarang malah bilang harus dia yang ikut? *** Walaupun Risa hendak protes dalam berbagai bentuk, dia tahu akan tetap kalah darinya. Maka dari itu, di sinilah dia seka
“Kenapa? Aku kira kamu akan berpura-pura tidak mengenaliku.” Andres tertawa mengejek dengan nada serak seksi nakalnya. “Dari mana kamu mendapat nomor ponselku, hah?!” bentak Risa setengah mendesis marah. “Sayang, jangan marah begitu. Kalau hanya sekedar mendapat nomor ponsel seseorang, lewat kekuatan orang dalam, apa saja bisa dilakukan, bukan? Oh, ya, itu tidak penting. Aku menelepon repot-repot begini bukan hanya untuk membahas soal bagaimana mendapatkan nomor ponselmu. Yang aku ingin bahas adalah tentang sandiwaramu saat kita bertemu terakhir kali. Heh, ternyata, setelah bersandiwara dengan bos sendiri, malah bertunangan dengan pria lain. Apa sekarang kamu sudah menjadi murahan yang melayani dua pria sekaligus? Menyesal karena kabur malam itu dariku?” “Diam! Tutup mulut kotormu itu! Aku tidak punya masalah denganmu lagi! Kenapa kamu tidak bisa melepaskan masa lalu, hah?! Bukankah ada banyak wanita cantik dan seksi di dekatmu? Untuk apa menggangguku lagi? Apa kamu dendam karena
Risa Abdullah bernapas dengan nada memburu, dadanya naik turun oleh amarah, mata menatap layar ponselnya penuh kemarahan. “Ada apa?” Suara Shouhei mengejutkan Risa disertai dengan tepukan di salah satu bahunya. “Sho-Shouhei?” gugup Risa, menatapnya setengah berkaca-kaca. Wajah sembabnya terlihat jelas. “Kenapa kamu menangis? Siapa yang kamu ajak bicara barusan?” tanya Shouhei dengan kening berkerut tak enak dipandang. Risa menghapus air matanya dan menggeleng cepat. “Bukan apa-apa. Lupakan saja. Tadi hanya telepon tidak penting sama sekali.” Shouhei tidak setuju, tetap menatapnya penuh keseriusan. Kedua tangannya kini memegang kedua bahunya sekuat mungkin. “Siapa, Risa Abdullah? Katakan kepadaku. Apanya yang salah? Kenapa kamu harus meminta maaf?” Wajah kelam penuh intimidasi Shouhei sangat terlihat jelas bagaikan gunung es hitam di depannya, membuat Risa menelan saliva gugup. “Shouhei... sungguh. Tadi itu tidak penting sama sekali.” “Risa. Abdullah,” ejanya dengan nada meneka