Share

SEBUAH PERJODOHAN

Dan disinilah aku. Mematut diri di depan cermin. Memakai lipglos untuk melembatkan bibirku. Menatap ulang jilbab hijau muda dengan lapisan brokat. Serta memutar badanku memperhatikan gamis dengan warna senada dengan jilbabku. Sekali lagi aku menatap wajahku. Aku sedikit tersenyum mendapati tidak ada kerutan disana. Tetap terlihat awet muda seperti gadis belia karena alasan ini pula aku tidak terlalu takut jika belum menikah. Toh aku masih terlihat sangat muda.

“Sudah nak, kamu itu sudah cantik,” kata ibu memeluk pundakku dari belakang. Aku hanya tersenyum meski tahu kalau seorang ibu selalu menganggap anaknya sangat cantik. Aku berbalik kemudian memeluk ibu. ada sedikit debaran dibalik dadaku. Kali ini aku berharap bisa menikah. Kali ini aku yakin orang tuaku dan orang-orang yang sayang padaku sudah menyingkirkan bara api yang selama ini menghadang di depan mataku.

“Begini saja. Sebentar bu. Aku butuh ketenangan,”kataku saat ibu ingin melerai pelukan kami. ibu mengangguk. Aku menyembunyikan wajahku dalam leher ibu. tenang dan damai rasanya.

“Huft,” aku menarik nafas berat setelah melepaskan pelukan ibu. ibu tersenyum kemudian mencubit pipiku yang sengaja aku kembungku untuk melepaskan rasa deg-degan yang tengah menyerangku.

Ibu menuntun langkahku yang sedikit lambat dan terkesan feminim. Aku sendiri tidak tahu mengapa berprilaku seperti itu. Padahal selama ini aku cuek. Membiarkan semuanya mengalir apa adanya. Mungkin kali ini aku berharap banyak pada perjodohan ini.

Aku menghentikan langkahku tidak jauh dari ruang tamu tempat dimana calon suamiku duduk tenang menungguku. Aku menarik nafas berat kemudian menghembuskan lewat mulut untuk meringankan gugupku. Sedangkan ibu dan yang lainnya tertawa melihat tingkahku. Aku mengedarkan pandanganku, mencari tahu seperti apa wajah calon suamiku. Namun diantara orang yang duduk di ruang tamu, tidak seorangpun yang menurutku layak menjadi suami. Mereka berwajah tua. Atau mungkin karena kerja keras membuat wajah mereka yang harusnya terlihat beruai 30an malah terlihat berusia 50 tahun.

“Ayo nak,” tegur ibu. aku tersenyum ke arah ibu kemudian melangkah mendekati para tamu. Duduk di antara ayah dan paman. Sedangkan di depanku duduk seorang wanita anggun dengan gamis yang terlihat mewah di sampingnya duduk anak ingusan yang ku taksir berusia 19 tahun mengenakan setelan jas rapi berwarna navi. Dan di sampinga lelaki tua namun terkesan kaya mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja biru.

Krekr. Rekek.

Tunggu dulu. Kita mundur sedikit. Melihat posisi anak ingusan di depanku yang sama persis denganku membuatku terbelalak. Jangan bilang kalau pemuda ingusan itulah yang akan dijodohkan denganku. Aku menarik nafas gusar. Menatap penuh dengan keprihatinan. Apa karena orang tuaku sudah putus asa sehingga memilih lelaki yang di depanku sebagai calon suamiku?

“Namanya Dwi Julian. Dia itu putra bungsuku,” kata Bu Angel calon mertuaku. Aku mengendus kesal. Bisa aku bayangkan seperti apa sikapnya nanti. Kekanak-kanakan, seenaknya, egois, manja dan segudang sikap buruk lainnya.

“Dia masih muda. 21 tahun. Sarjana IT, dan sekarang menjadi ceo di perusahaan game miliknya,” kata Pak Burhan bapak calon mertuaku. Aku mencibir, aku tahu dia tidak akan jauh-jauh dari game. Masih bau kencur.

“Aku mendirikan perusahaan sendiri tanpa bantuan ayahku,” jelas Julian bangga. Aku mengalihkan tatapanku saat tatapan kali beradu, sekilas aku bisa melihat senyum mengembang di wajahnya.

“Kau bisa berhenti kerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga setelah kita menikah nanti,” kata Julian tegas.

“Apa? Belum menikah sudah mengatur,”kataku terkejut.

“Aku ini imammu. Kau harus ikut denganku,” kata Julian penuh kemenangan. Aku mendesis melihat tingkah songongnya. Dan kali ini aku tidak bisa berkata apa-apa. Jika sudah urusan imam dan makmun, aku sudah angkat tangan. Sebab tidak seorang makmunpun bisa mengatur imam, bisa mendahului imam.

“Tidakkah salah seorang dari kalain takut, atau apakah salah seorang dari kalian tidak takut  jika dia mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan menjadikan kepalanya seperti kepala keledai atau Allah akan menjadikan rupanya seperti keledai ? hadist riwayat Bukhari no. 691 dan Muslim no.427” jelas Paman Umar saat masih belajar mengaji dulu.

Kata-kata paman Umar kembali tergiang di telingaku membuatku merinding dan bergidik. Julian terlihat tersenyum penuh kemenangan. Aku memicingkan mataku, menaruh dendam padanya. Apakah dia sudah begitu yakin aku akan menerima lamarannya? Aku menatap orang-orang di sekitarku dengan tatapan meminta tolong. Kali ini aku berat untuk menolak sebab aku sendiri yang memberi kesempatan mereka untuk mencari calon suami untukku.

Tiba-tiba aku mengingat penjelasan Paman Umar ketika seorang imam melakukan kesalahan. Aku tersenyum menatap Julian yang juga kini menatapk penuh kemenangan.

“Tetapi jika imam melakukan kesalahan maka makmum wajib untuk mengingatkannya,” kataku. Dia tersenyum dan mengangguk seakan setuju dengan kata-kataku. Aku sendiri merasa diremehkan. Aku mulai marah melihat tingkahku. Namun aku berusaha meredamnya karena aku yakin dia akan lebih bertingkah lagi saat berhasil menjatuhkanku dengan amarahku sendiri.

“Kalian boleh saling mengenal selama persiapan pernikahan ini,” jelas Paman Umar.

“Artinya aku siap menikah dengannya?” tanyaku. Membuat semua orang menatap heran padaku. “Tidakkah kalian memutuskannya terlalu cepat? Berikan kesempatan padaku untuk memikirkannya,” lanjutku.

“Kau bilang pilihkan yang terbaik untukku,” bisik ayah membuatku kendor. Aku memang mengizinkan mereka untuk memilihkan yang terbaik untukku tetapi bukan bocah sepertinya. Aku menarik nafas kesal menatap jengkel ke arah Julian yang tertawa kemenangan. Apa jadinya rumah tanggaku jika aku menikah dengan Julian? Aku yakin kalau dia tidak akan bisa menjadi imam yang baik untukku._..._

Aku menutup wajahku dengan bantal kemudian berguling-guling diatas kasurku. Aku sangat malu. Semua orang menganggapku sempurna namun lihatlah siapa yang jadi suamiku. Julian? Pemuda yang berusia 21 tahun. Pemuda yang beda 10 tahun denganku. Dan bisa aku bayangkan dimana aku akan selalu mengalah dengan sikap manjanya demi mempertahankan rumah tangga kami. itu sangat konyol.

“Rasain. Makanya jangan jadi pemilih.”

“Jangan menyesal.”

“Semakin kamu pilih semakin rusak.” Tergiang kembali kata orang yang mencibirku. Yang menginginkan kehancuranku. Bisa aku bayangkan para lelaki yang aku tolak lamarannya. Mereka pasti menertawakanku.

Aku terduduk. Mengendus nafas kesal beberapa kali. Baru saja aku akan bangkit dari tempat tidurku saat Paman Umar masuk ke kamar. Dia tersenyum bahagia. Aku yakin ayah memiliki senyum yang lebih lebar dari senyum Pamar Umar. Dan aku akan sangat merasa bersalah jika menghapus senyum itu dengan kembali menolak lamaran lelaki yang datang melamarku.

“Apakah tidak bisa dipertimbangkan kembali?” tanyaku pada Paman Umar. Dia menatapku seakan meminta penjelasan yang lebih jauh.

“Dia masih sangat muda. Aku tidak akan bisa beradaptasi dengan usianya itu,” kataku kesal. Paman tersenyum kemudian menarik tubuhku, memelukku. Tubuhnya sedikit terguncang. Aku tahu Paman Umar sedang menangis. Aku sendiri hanya bisa diam. Selama ini Paman Umar tidak pernah menangis, dia selalu tabah dan sabar hadapi semuanya. Tetapi kenapa kali ini Paman menangis?

“Buat kami bahagia di hari tua kami. hanya untuk kali ini saja. Bahkan kau tahu bahwa ayahmu lebih bahagia melihatmu menikah dibandingkan kau datang dengan kesuksesanmu,” kata paman tergugu. Aku hanya bisa mengangguk karena ikut suasana. _..._

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status