Share

2. Driving Me Crazy

"Sial. Aku lapar."

Perutku keroncongan sejak beberapa jam setelah aku menghabiskan sandwich

"Kapan ia akan datang?" keluhku sambil memeluk perut.

Jujur saja aku tidak tahu sudah jam berapakah ini, sebab tidak ada sama sekali penanda waktu di sekitarku. Apakah aku harus menunggu satu, dua, tiga, atau beberapa jam lagi untuk Louton datang dan membawakanku makanan serta minuman, sesuai dengan perkataannya sebelumnya. Dan, kalaupun ia datang, aku harap ia tidak hanya membawa setangkup sandwich dan sebotol air mineral. 

Usai menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Louton, aku benar-benar menghabiskan waktu untuk berpikir keras mengenai apa yang sedang terjadi padaku. Tentunya ketika aku bangun tidur, aku berharap bahwa apa yang sedang terjadi padaku ini adalah mimpi. Namun, kenyataan yang ada tetap tidak sesuai dengan harapan. Aku masih terkurung di dalam sebuah ruangan rahasia milik Louton Vague.

"Oke," kataku pada diri sendiri. Selain karena bosan dengan suasana sekitar yang sepi, juga dalam rangka mengalihkan pikiran dari rasa laparku. 

"Ia sendiri yang mengatakan kalau aku tidak melakukan kesalahan apa pun padanya. Dan seingatku, aku memang tidak pernah melakukan sekecil apa pun kesalahan padanya, karena aku tidak pernah bertemu dengannya secara langsung,” ungkapku yakin. “Kalau begitu, kenapa?"

Tak henti-hentinya aku menggigiti kuku jari selama berjibaku dengan pikiranku sendiri.

"Tunggu. Ia tidak mungkin melakukan hal gila ini hanya karena butuh uang, kan?" tanyaku menyuarakan kemungkinan yang baru saja tercetus di kepalaku. "Ah, tidak. Tidak mungkin," tampikku kemudian seraya menggelengkan kepala. "Keluarga Vague punya segalanya. Ia tidak akan merasa kekurangan. Tidak mungkin karena itu."

Betul. Tidak mungkin karena itu. 

Yang aku tahu sejauh ini perusahaan keluarganya dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan masih berada dalam jajaran Holding Company terbaik dan terbesar di USA. Tidak ada pemberitaan tentang kebangkrutan atau semacamnya hingga membuat Louton melakukan hal gila ini. Lagi pula, apa untungnya juga ia menculikku? Ayah dan ibuku bukan berasal dari keluarga terpandang yang memiliki banyak uang. 

"Errggh … ayo berpikir, Rose. Pasti ada sesuatu. Tidak mungkin tanpa alasan," gerutuku sampai mengacak-acak rambut. Frustrasi akibat tidak bisa menerka-nerka kira-kira alasan apa yang membuat Louton menculikku.

Dan sial. Kulit kepalaku juga masih berdenyut-denyut akibat menerima jambakan darinya. Tenaganya itu sungguh berkali-kali lipat dari total tenaga yang bisa kukeluarkan. 

Berselang beberapa detik, pintu pun mendesis. Sulit untuk mengakui, tapi itu adalah jenis suara yang sangat aku tunggu-tunggu.

Louton berdiri di sana. Kali ini ia menggunakan kaus oblong putih, celana training, dan sneakers. Kutebak ia baru saja selesai joging. Terlihat juga dari bulir-bulir air keringat yang menempel di area wajah dan lehernya ketika ia melangkah mendekat. Meski begitu, ia tetap terlihat segar. 

Eh. Bodoh. Bisa-bisanya otakku berpikir demikian.

Kali ini Louton datang dengan dua buah paper bag di tangannya.

"Makanan dan pakaian ganti untukmu," ujarnya datar. Langkah kakinya berhenti di salah satu sisi tempat tidur. Meletakkan dua paper bag itu di sana.

"Kalau aku boleh tahu, saat ini jam berapa?" tanyaku yang masih duduk meringkuk di atas tempat tidur, bersandar pada dinding. Masih terlalu takut untuk dekat-dekat dengannya.

"Jam delapan pagi," jawab Louton langsung berbalik pergi. 

Saat itu juga aku menerjang paper bag untuk melihat apa isi di dalamnya. Ia pasti bercanda, pikirku. 

"Apa kau sengaja ingin buatku mati kelaparan di sini?" tanyaku kesal, saat lagi-lagi menemukan sebotol air mineral dan setangkup sandwich di dalam salah satu paper bag.

Tidak peduli dengan komentarku, Louton terus berjalan melenggang.

"Kau tidak akan mati hanya karena memakan satu sandwich," tampik Louton seakan pernyataannya itu bisa membuatku merasa lebih lega.

"Tapi aku sangat lapar," keluhku apa adanya. 

"Memang itu konsekuensinya."

"Atas dasar apa?” tanyaku dimana aku sadar jika suaraku sudah mulai meninggi. 

Louton belum kembali menanggapi, tapi ia sudah berhenti di ambang pintu. Kulihat wajahnya menunduk dan kedua tangannya mengepal. 

“Aku sungguh tidak bisa jika seharian ini hanya disumpal dengan satu sandwich lagi,” akuku kemudian dengan intonasi yang terdengar begitu menyedihkan. “Dan aku pun yakin kalau kau jadi aku, kau juga tidak akan terima jika hanya diberi satu sandwich untuk seharian.”

Sedetik setelah aku mengatakan itu, tiba-tiba saja Louton meninju tembok yang terbentang di sampingnya hingga menimbulkan suara pukulan yang begitu kental di telinga. Aku terlonjak di tempat dengan mata membeliak. Louton berputar dan kembali mendekat ke arahku dengan berang.

Raut wajahnya kini benar-benar membuatku takut. Detak jantungku tiba-tiba meningkat.

"Maaf aku tidak bermaksud—"

Terlambat. Louton sudah lebih dulu mencengkeram kerah blus yang kupakai sejak kemarin dan menarikku dengan mudah. 

Aku kesulitan bernapas. "Mr. Vague—"

"Kau benar-benar perempuan yang suka membantah!"

Ia menyeret tubuhku hingga keluar dari area tempat tidur, kemudian melemparku ke lantai yang dingin dengan teramat kasar. Seakan tubuhku ini hanyalah sekarung beras.

Aku mengerang. Memegangi kedua lengan sambil terus merintih kesakitan. Di sela-sela kedua mataku yang terpejam, aku melihat Louton berdiri menjulang di atasku. Sorot matanya tajam. Bahu dan dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Matanya memelotot ke arahku. Raut wajahnya menggambarkan kemarahan yang luar biasa. Louton berdiri di sana seolah tengah berpikir tindakan apa lagi yang akan ia lakukan padaku jika aku terus mengeluh atas makanan yang ia berikan.

Aku mencoba bangun. Mencoba menjauhinya dengan menyeret bokong dan menggerakkan kedua kakiku ke belakang dengan tenaga seadanya. Meskipun tak lama kemudian pergerakanku langsung tertahan oleh dinding ruangan.

Sambil menangis, aku memeluk diriku sendiri. 

"Apa salahku?" tanyaku lirih. "Apa salahku sampai kau memperlakukanku sejahat ini?"

Kedua kakiku tertekuk ke atas dengan lemah. Kembali meringkuk sekaligus berpaling untuk menyembunyikan wajah ketika Louton datang menghampiriku. Melalui sudut mata, kulihat Louton berjongkok di depanku, meraih daguku dengan telunjuk dan ibu jarinya, lalu dengan gerak pelan membawa wajahku ke depan untuk berhadapan dengan wajahnya. Seketika sosok pria tampan dan berwibawa yang aku tahu selama ini telah menjelma menjadi seorang pria berhati dingin, kasar, dan menakutkan.

Mataku yang masih dipenuhi bulir-bulir air mengerjap selagi menatap Louton. 

"Kau sendiri yang membuatku melakukan ini," bisiknya. Tatapannya padaku kini melunak. "Berperilaku baiklah, maka aku juga akan memperlakukanmu dengan baik."

Aku menelan ludah. Setelah itu kusadari bola matanya bergulir ke area dadaku yang terbuka, dikarenakan beberapa kancing blus bagian atas terlepas sewaktu Louton mencengkeram kerah blus dan melemparku ke lantai. 

Selama sesaat yang mengerikan, kupikir Louton akan berlanjut melakukan hal kotor padaku, tapi ia justru beranjak dari posisinya dan berjalan mengarah pada tempat tidur. Mengambil salah satu paper bag, lalu melemparnya padaku. Paper bag mendarat di depanku dengan suara nyaring.

"Ganti pakaianmu dengan itu," perintahnya, kemudian pergi. "Tenang saja. Kau akan kubebaskan setelah aku merasa cukup."

Ucapannya itu berhasil memunculkan rasa ingin tahuku dari balik timbunan rasa takut akan kejadian sebelumnya.

"Merasa cukup untuk apa?" tanyaku spontan dimana sedetik setelahnya aku langsung menundukkan pandangan. Takut jikalau Louton menyerangku lagi. 

"Menghukummu." 

Satu kata itu jelas mampu membuatku kembali mendongak.

"Tapi … tapi kemarin kau bilang kalau aku tidak melakukan kesalahan apa pun padamu," ujarku memastikan ulang.

"Aku tidak pernah secara spesifik mengatakan jika aku menghukummu atas kesalahan yang kau buat padaku."

"Lalu jika bukan padamu, pada siapa?" 

"Silakan kau pikirkan sendiri,” jawabnya seraya menyentuh pemindai pintu.

Sigap aku berdiri. "Tunggu, Mr. Vague!" pekikku di saat Louton telah keluar melewati pintu yang sudah mulai tertutup. "Mr. Vague!" 

Pintu telah tertutup rapat. Dengan bodohnya aku menggedor dengan sekuat tenaga sambil mencoba meletakkan telapak tanganku pada pemindai yang ada pada tembok. Sayangnya memang tidak terjadi apa-apa. Aku terus berusaha dengan mencoba mencari-cari sesuatu yang mungkin saja bisa membuat pintu ini terbuka, tapi percuma. Tidak ada apa pun. Ruangan ini beserta dengan pintunya memang dirancang untuk Louton seorang. Hanya ia satu-satunya orang yang memiliki akses. 

"Sial!" umpatku sambil memukul pintu sekali lagi.

Sungguh semua ini membuatku gila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status