"Sial. Aku lapar."
Perutku keroncongan sejak beberapa jam setelah aku menghabiskan sandwich.
"Kapan ia akan datang?" keluhku sambil memeluk perut.
Jujur saja aku tidak tahu sudah jam berapakah ini, sebab tidak ada sama sekali penanda waktu di sekitarku. Apakah aku harus menunggu satu, dua, tiga, atau beberapa jam lagi untuk Louton datang dan membawakanku makanan serta minuman, sesuai dengan perkataannya sebelumnya. Dan, kalaupun ia datang, aku harap ia tidak hanya membawa setangkup sandwich dan sebotol air mineral.
Usai menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Louton, aku benar-benar menghabiskan waktu untuk berpikir keras mengenai apa yang sedang terjadi padaku. Tentunya ketika aku bangun tidur, aku berharap bahwa apa yang sedang terjadi padaku ini adalah mimpi. Namun, kenyataan yang ada tetap tidak sesuai dengan harapan. Aku masih terkurung di dalam sebuah ruangan rahasia milik Louton Vague.
"Oke," kataku pada diri sendiri. Selain karena bosan dengan suasana sekitar yang sepi, juga dalam rangka mengalihkan pikiran dari rasa laparku.
"Ia sendiri yang mengatakan kalau aku tidak melakukan kesalahan apa pun padanya. Dan seingatku, aku memang tidak pernah melakukan sekecil apa pun kesalahan padanya, karena aku tidak pernah bertemu dengannya secara langsung,” ungkapku yakin. “Kalau begitu, kenapa?"
Tak henti-hentinya aku menggigiti kuku jari selama berjibaku dengan pikiranku sendiri.
"Tunggu. Ia tidak mungkin melakukan hal gila ini hanya karena butuh uang, kan?" tanyaku menyuarakan kemungkinan yang baru saja tercetus di kepalaku. "Ah, tidak. Tidak mungkin," tampikku kemudian seraya menggelengkan kepala. "Keluarga Vague punya segalanya. Ia tidak akan merasa kekurangan. Tidak mungkin karena itu."
Betul. Tidak mungkin karena itu.
Yang aku tahu sejauh ini perusahaan keluarganya dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan masih berada dalam jajaran Holding Company terbaik dan terbesar di USA. Tidak ada pemberitaan tentang kebangkrutan atau semacamnya hingga membuat Louton melakukan hal gila ini. Lagi pula, apa untungnya juga ia menculikku? Ayah dan ibuku bukan berasal dari keluarga terpandang yang memiliki banyak uang.
"Errggh … ayo berpikir, Rose. Pasti ada sesuatu. Tidak mungkin tanpa alasan," gerutuku sampai mengacak-acak rambut. Frustrasi akibat tidak bisa menerka-nerka kira-kira alasan apa yang membuat Louton menculikku.
Dan sial. Kulit kepalaku juga masih berdenyut-denyut akibat menerima jambakan darinya. Tenaganya itu sungguh berkali-kali lipat dari total tenaga yang bisa kukeluarkan.
Berselang beberapa detik, pintu pun mendesis. Sulit untuk mengakui, tapi itu adalah jenis suara yang sangat aku tunggu-tunggu.
Louton berdiri di sana. Kali ini ia menggunakan kaus oblong putih, celana training, dan sneakers. Kutebak ia baru saja selesai joging. Terlihat juga dari bulir-bulir air keringat yang menempel di area wajah dan lehernya ketika ia melangkah mendekat. Meski begitu, ia tetap terlihat segar.
Eh. Bodoh. Bisa-bisanya otakku berpikir demikian.
Kali ini Louton datang dengan dua buah paper bag di tangannya.
"Makanan dan pakaian ganti untukmu," ujarnya datar. Langkah kakinya berhenti di salah satu sisi tempat tidur. Meletakkan dua paper bag itu di sana.
"Kalau aku boleh tahu, saat ini jam berapa?" tanyaku yang masih duduk meringkuk di atas tempat tidur, bersandar pada dinding. Masih terlalu takut untuk dekat-dekat dengannya.
"Jam delapan pagi," jawab Louton langsung berbalik pergi.
Saat itu juga aku menerjang paper bag untuk melihat apa isi di dalamnya. Ia pasti bercanda, pikirku.
"Apa kau sengaja ingin buatku mati kelaparan di sini?" tanyaku kesal, saat lagi-lagi menemukan sebotol air mineral dan setangkup sandwich di dalam salah satu paper bag.
Tidak peduli dengan komentarku, Louton terus berjalan melenggang.
"Kau tidak akan mati hanya karena memakan satu sandwich," tampik Louton seakan pernyataannya itu bisa membuatku merasa lebih lega.
"Tapi aku sangat lapar," keluhku apa adanya.
"Memang itu konsekuensinya."
"Atas dasar apa?” tanyaku dimana aku sadar jika suaraku sudah mulai meninggi.
Louton belum kembali menanggapi, tapi ia sudah berhenti di ambang pintu. Kulihat wajahnya menunduk dan kedua tangannya mengepal.
“Aku sungguh tidak bisa jika seharian ini hanya disumpal dengan satu sandwich lagi,” akuku kemudian dengan intonasi yang terdengar begitu menyedihkan. “Dan aku pun yakin kalau kau jadi aku, kau juga tidak akan terima jika hanya diberi satu sandwich untuk seharian.”
Sedetik setelah aku mengatakan itu, tiba-tiba saja Louton meninju tembok yang terbentang di sampingnya hingga menimbulkan suara pukulan yang begitu kental di telinga. Aku terlonjak di tempat dengan mata membeliak. Louton berputar dan kembali mendekat ke arahku dengan berang.
Raut wajahnya kini benar-benar membuatku takut. Detak jantungku tiba-tiba meningkat.
"Maaf aku tidak bermaksud—"
Terlambat. Louton sudah lebih dulu mencengkeram kerah blus yang kupakai sejak kemarin dan menarikku dengan mudah.
Aku kesulitan bernapas. "Mr. Vague—"
"Kau benar-benar perempuan yang suka membantah!"
Ia menyeret tubuhku hingga keluar dari area tempat tidur, kemudian melemparku ke lantai yang dingin dengan teramat kasar. Seakan tubuhku ini hanyalah sekarung beras.
Aku mengerang. Memegangi kedua lengan sambil terus merintih kesakitan. Di sela-sela kedua mataku yang terpejam, aku melihat Louton berdiri menjulang di atasku. Sorot matanya tajam. Bahu dan dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Matanya memelotot ke arahku. Raut wajahnya menggambarkan kemarahan yang luar biasa. Louton berdiri di sana seolah tengah berpikir tindakan apa lagi yang akan ia lakukan padaku jika aku terus mengeluh atas makanan yang ia berikan.
Aku mencoba bangun. Mencoba menjauhinya dengan menyeret bokong dan menggerakkan kedua kakiku ke belakang dengan tenaga seadanya. Meskipun tak lama kemudian pergerakanku langsung tertahan oleh dinding ruangan.
Sambil menangis, aku memeluk diriku sendiri.
"Apa salahku?" tanyaku lirih. "Apa salahku sampai kau memperlakukanku sejahat ini?"
Kedua kakiku tertekuk ke atas dengan lemah. Kembali meringkuk sekaligus berpaling untuk menyembunyikan wajah ketika Louton datang menghampiriku. Melalui sudut mata, kulihat Louton berjongkok di depanku, meraih daguku dengan telunjuk dan ibu jarinya, lalu dengan gerak pelan membawa wajahku ke depan untuk berhadapan dengan wajahnya. Seketika sosok pria tampan dan berwibawa yang aku tahu selama ini telah menjelma menjadi seorang pria berhati dingin, kasar, dan menakutkan.
Mataku yang masih dipenuhi bulir-bulir air mengerjap selagi menatap Louton.
"Kau sendiri yang membuatku melakukan ini," bisiknya. Tatapannya padaku kini melunak. "Berperilaku baiklah, maka aku juga akan memperlakukanmu dengan baik."
Aku menelan ludah. Setelah itu kusadari bola matanya bergulir ke area dadaku yang terbuka, dikarenakan beberapa kancing blus bagian atas terlepas sewaktu Louton mencengkeram kerah blus dan melemparku ke lantai.
Selama sesaat yang mengerikan, kupikir Louton akan berlanjut melakukan hal kotor padaku, tapi ia justru beranjak dari posisinya dan berjalan mengarah pada tempat tidur. Mengambil salah satu paper bag, lalu melemparnya padaku. Paper bag mendarat di depanku dengan suara nyaring.
"Ganti pakaianmu dengan itu," perintahnya, kemudian pergi. "Tenang saja. Kau akan kubebaskan setelah aku merasa cukup."
Ucapannya itu berhasil memunculkan rasa ingin tahuku dari balik timbunan rasa takut akan kejadian sebelumnya.
"Merasa cukup untuk apa?" tanyaku spontan dimana sedetik setelahnya aku langsung menundukkan pandangan. Takut jikalau Louton menyerangku lagi.
"Menghukummu."
Satu kata itu jelas mampu membuatku kembali mendongak.
"Tapi … tapi kemarin kau bilang kalau aku tidak melakukan kesalahan apa pun padamu," ujarku memastikan ulang.
"Aku tidak pernah secara spesifik mengatakan jika aku menghukummu atas kesalahan yang kau buat padaku."
"Lalu jika bukan padamu, pada siapa?"
"Silakan kau pikirkan sendiri,” jawabnya seraya menyentuh pemindai pintu.
Sigap aku berdiri. "Tunggu, Mr. Vague!" pekikku di saat Louton telah keluar melewati pintu yang sudah mulai tertutup. "Mr. Vague!"
Pintu telah tertutup rapat. Dengan bodohnya aku menggedor dengan sekuat tenaga sambil mencoba meletakkan telapak tanganku pada pemindai yang ada pada tembok. Sayangnya memang tidak terjadi apa-apa. Aku terus berusaha dengan mencoba mencari-cari sesuatu yang mungkin saja bisa membuat pintu ini terbuka, tapi percuma. Tidak ada apa pun. Ruangan ini beserta dengan pintunya memang dirancang untuk Louton seorang. Hanya ia satu-satunya orang yang memiliki akses.
"Sial!" umpatku sambil memukul pintu sekali lagi.
Sungguh semua ini membuatku gila.
“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou
Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj
Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga
Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa
"Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&
Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.
Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran