Share

3. You're So Mean

Di bawah pancuran air hangat, kegelisahanku berangsur mereda. Emosi di dalam diriku seakan ikut menguap, bercampur dengan uap hangat yang beterbangan di sekitarku. Rasanya tidak ingin berhenti. Kalau bisa, terus dalam keadaan seperti ini saja. Tidak perlu keluar dari kamar mandi. Tidak perlu kembali ke ruangan penyiksaan itu lagi. Dan tentunya, tidak perlu berhadapan dengan Louton lagi. 

"Menghukummu." 

Suara Louton tiba-tiba saja menggema di rongga telingaku. Merusak kedamaian yang tengah aku rasakan.

Louton bilang bahwa ia melakukan hal gila ini untuk menghukumku? Dan ia akan membebaskanku di saat ia merasa jika hukuman darinya telah cukup? Omong kosong. 

Baiklah. Aku tahu ia punya banyak uang—entah itu uang dari perusahaannya atau uang yang datang dari bisnis bar dan lounge miliknya—tapi bukan berarti ia bisa seenaknya menghukum seseorang dengan alasan yang tidak jelas. Terlebih aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Selalu kutegaskan itu. 

Sialan nasibku. Memang sudah seharusnya malam itu aku tidak datang ke bar yang ada di Shattuck Ave—dan jika aku tidak salah, bar itu adalah salah satu dari sekian banyak bar milik Louton. Memang sudah seharusnya aku berdiam diri di dalam asrama saja. Tidak perlu ikut merayakan hari terakhir ujian akhir di semester musim gugur ini. Sialan juga teman-temanku yang memaksaku untuk meminum sampanye. Memang tidak banyak, sebab aku juga tidak pernah meminum minuman semacam itu selama hidupku. Malam itulah pertama kalinya. Alasannya hanya satu: aku takut mabuk. Ibuku juga tidak suka jika aku pergi ke bar di malam hari, terlebih apabila aku berakhir dengan mabuk. 

"Ya ampun, Ibu."

Aku mengusap wajahku untuk terakhir kali di bawah shower.

Ibuku. Seperti apa paniknya ia ketika tahu aku menghilang? Seperti apa pula kecewanya ia ketika tahu bahwa aku menghilang di malam hari sewaktu berada di bar? Mengingat penculikan ini sudah berjalan tiga hari, sepertinya nama beserta wajahku kini telah terpampang di berbagai media sosial dengan tajuk berita: PROSERPINA, MAHASISWI UC BERKELEY MENGHILANG USAI BERPESTA DENGAN TEMAN-TEMAN DI BAR. Menyedihkan.

Shower kumatikan. Kuambil handuk dan melingkarkannya pada tubuhku. Miris melihat luka lebam yang menghiasi area bahu. Bagaikan semacam cendera mata dari seorang Louton Vague. 

Sambil menghela napas aku berjalan keluar dari shower box.

"What the f—" Sontak aku terlonjak saat kutemukan Louton sudah duduk di atas tempat tidur. "Kau tidak bisa tiba-tiba ada di sini sewaktu aku sedang mandi," tegurku semakin mengeratkan handuk.

"Ruangan ini milikku. Aku berhak keluar masuk ruangan ini sesuka hati tanpa izin siapa pun."

Darahku memanas, tapi aku mencoba menahan diri untuk tidak terlalu marah. 

"Tapi aku sedang mandi dan bagaimana kalau aku sedang berpakaian tepat di saat kau masuk?"

"Lanjutkan saja berpakaian. Lekuk tubuhmu itu tidak akan memberi pengaruh apa pun padaku."

“Kau” Kalimatku berhenti dengan sendirinya. Berganti dengan helaan napas. “Terserah apa katamu,” lanjutku menahan kesal. 

Sial. Orang ini sungguh meremehkan. Beruntung shower box yang disediakan didesain dengan kaca buram, sehingga Louton tidak benar-benar bisa melihat tubuhku yang tanpa pakaian.

Meski kesal, tetap saja aku canggung jika harus bertemu dengannya hanya dengan bermodalkan handuk, sebab pakaian gantiku masih ada di dalam paper bag dan itu tergeletak di sebelah Louton. Mau tak mau aku harus mengambilnya. Lagi pula, untuk apa sih ia datang ke sini lagi? Apa ia belum puas melemparku?

Aku melangkahkan kakiku yang masih agak basah. Louton masih duduk membelakangiku dimana kedua sikunya bertumpu pada tiap paha. Jemarinya terjalin. Wajahnya menatap ke depan yang hanya berupa tembok kosong berwarna abu-abu silver.

"Aku ingin mengambil pakaianku," kataku ketika melintas di depannya. Dengan cekatan menyambar paper bag, lalu kembali ke dalam shower box. Sayangnya di dalam sini tidak ada kunci, jadi aku memakai pakaian dengan perasaan waswas.

Setelah selesai berpakaian, kutemukan Louton masih setia pada posisinya. 

"Kelihatannya orang-orang begitu peduli padamu," ujarnya tiba-tiba. Nada suaranya lebih dingin dari suhu di dalam ruangan.

Aku masih sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.

"Kenapa kau bilang begitu?" tanyaku masih menjaga jarak dengannya. 

"Mereka mencarimu di mana-mana."

Rupanya ia sedang membicarakan teman-teman, ibu, atau mungkin para polisi yang tengah mencariku di luar sana. 

"Sudah pasti mereka akan mencariku, karena aku hilang," ujarku seraya meletakkan handuk di atas tempat tidur. "Yang teman-temanku tahu, malam itu aku pergi keluar bar sebentar hanya untuk menerima telepon, tapi nyatanya aku tidak kembali ke dalam. Dan tentunya mereka juga tahu kalau ternyata aku juga belum kembali ke asrama. Beruntung ujian akhir sudah selesai, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan masalah absen perkuliahanku selama tiga hari ini. Dan Ibuku … tentu ia akan mendapat kabar dari teman-temanku dan ia akan melakukan apa pun untuk menemukanku. Dengan bantuan Berkeley PD, lebih tepatnya."

Awalnya aku bangga dengan suaraku yang terdengar tegas—terutama ketika aku menyebut 'Berkeley Police Department', berharap itu membuatnya takut—tapi sewaktu Louton beranjak, aku kembali menciut.

"Sekeras apa pun usaha mereka, mereka tidak akan menemukanmu," katanya lebih terdengar tegas seraya berdiri. Sama sekali tidak tersirat ketakutan. 

"Kenapa kau begitu yakin?"

Yang ada di pikiranku saat ini adalah segera masuk ke dalam shower box begitu Louton menerjang untuk mencekikku. Namun, kedua tangannya justru dijejalkan ke dalam saku celana ketika ia berbalik. Aku pun mencoba memfokuskan arah mataku untuk tidak mengarah pada hal lain yang ada di dirinya.

"Karena setiap tindakan penting yang akan dilakukan harus direncanakan dengan baik, Rose, dan aku telah menyiapkan semua ini dengan matang.”

Mata birunya benar-benar menangkapku. 

“Kau sudah mempersiapkan segala sesuatunya hanya untuk menculikku?”

“Tidak. Bukan kau yang kupersiapkan, tapi ruangan ini.”

“Oh,” balasku memalingkan wajah. "Memangnya aku ada di mana?" tanyaku tetap waspada. "Kalaupun kau memberitahuku, aku juga tidak bisa memberi tahu siapa pun. Jadi ruangan rahasiamu ini akan tetap aman."

Louton menatapku dengan jenis tatapan yang seolah-olah tidak ada apa pun lagi di sini yang bisa ia lihat. Kutebak ia tengah menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang sebenarnya atau tidak.

"Kau ada di rumahku," jawabnya.

Aku ada di rumahnya? Luar biasa. Tanpa perlu repot-repot mencari tahu di mana rumah sang ahli waris Vogue Holding Group, aku yang merupakan orang biasa ini bisa dengan mudah ada di dalam rumahnya. Meskipun dengan cara yang tidak wajar.

"Oke, tapi bukan berarti tidak ada kemungkinan mereka akan menemukanku di sini," balasku yang sebenarnya tersirat sekali rasa keputusasaan. 

Louton menarik satu sudut bibirnya. Membentuk senyuman miring yang terlihat jauh lebih baik dibanding dengan raut wajah yang ia munculkan tatkala ia menyerangku. Walau aku tahu senyumnya itu bermaksud ingin meledekku yang berusaha terlihat percaya diri.

"Rasa percaya dirimu sangat menakjubkan, Rose," pujinya. Jujur saja itu cukup membuatku tersipu. Namun, dengan segera aku menepis pikiran itu. "Tapi percayalah, kau tidak akan keluar dari tempat ini kecuali atas izinku," ujarnya bangga sembari melangkah pelan.

Aku merasa jika gesturnya kali ini terlihat lebih santai. Ia seperti dirinya yang biasa tampil di depan media. Seorang Louton Vague yang aku tahu. 

Tangan kiriku memegangi lengan kanan. Baru terasa pegal akibat serangan sebelumnya. 

"Kapan itu tepatnya?"

"Sudah kubilang ketika aku merasa cukup untuk menghukummu."

Aku menghela napas. Emosiku terpancar melalui sorot mataku padanya.

"Kau sungguh jahat, Mr. Vague," kataku seraya membuang muka. Tidak peduli ia akan merespons seperti apa. Ia harus tahu bahwa ia memang jahat. Mungkin ia tidak sadar itu. Hingga harus orang lain yang mengatakannya.

"Oh kau tidak tahu bahwa apa yang kulakukan ini tidak ada apa-apanya."

"Kau telah menipu banyak orang dengan sikap baik yang selalu kau tunjukkan."

"Akan selalu ada sisi jahat di dalam diri setiap orang, Rose," balasnya yang untuk kali ini tidak mudah terpancing seperti yang sebelum-sebelumnya. "Hanya saja sebagian orang memilih untuk tidak menunjukkannya."

"Seperti kau."

"Tidak," tampiknya menggeleng. "Aku menunjukkannya. Padamu."

Sorot matanya seolah mengikat dan menarik mataku untuk tidak berpaling.

"Lalu aku harus apa? Berterima kasih karena telah menjadi orang yang kau pilih?" tanyaku bernada sarkastis seraya duduk di salah satu sisi tempat tidur terdekat. "Bahkan sampai sekarang aku masih tidak mengerti."

Louton mendekat. Dari sekian banyak anggota tubuhku, hanya bola mataku yang bergerak untuk melihat pergerakannya. Sisanya mendadak kaku. Terlebih sewaktu kusadari tangan Louton menghampiri wajahku dan menyentuh pipiku. Saat itu juga aku menahan napas. Rasa-rasanya belum siap untuk dilukai lagi olehnya.

"Kau tidak perlu mengerti, Rose," ujarnya bernada dalam. Mengusap pipiku dengan lembut. Menghadirkan rasa merinding yang lebih parah. "Kau hanya perlu menikmati."

Tenggorokanku tercekat. Tidak bisa melontarkan kalimat balasan apa pun. Louton seperti menguasai dan mengambil alih diriku hingga membuatku tidak bisa mengelak sentuhannya. 

Dan, tak lama kemudian wajahnya kembali mengeras. Dengan cepat menarik tangannya dari pipiku. Bersikap seolah ada yang salah dengan apa yang baru saja ia lakukan. Kemudian pergi tanpa berkata apa pun lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status