“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.
Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat.
"Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang."
"Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"
Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.
Lou
Aku diculik.Setidaknya itu yang aku tahu ketika terbangun sudah berada di sebuah ruangan berukuran kurang lebih dua belas meter persegi. Memang tidak jauh berbeda dengan ukuran ruang kamarku, tapi meminum dua teguk sampanye untungnya tidak terlalu membuatku mabuk hingga lupa bagaimana rupa dari kamar yang telah aku tempati selama hampir dua puluh tahun. Terlebih tidak ada apa-apa di dalam ruangan ini selain tempat tidur, meja, juga shower box."Halo?" panggilku pada siapa pun yang mungkin saja mendengar. Sayangnya, tidak ada jawaban.Sial. Aku tidak bisa bersikap biasa saja seperti ini. Aku sedang diculik. Aku tidak tahu apa yang akan penculik itu lakukan padaku jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Aku
"Sial. Aku lapar."Perutku keroncongan sejak beberapa jam setelah aku menghabiskan sandwich."Kapan ia akan datang?" keluhku sambil memeluk perut.Jujur saja aku tidak tahu sudah jam berapakah ini, sebab tidak ada sama sekali penanda waktu di sekitarku. Apakah aku harus menunggu satu, dua, tiga, atau beberapa jam lagi untuk Louton datang dan membawakanku makanan serta minuman, sesuai dengan perkataannya sebelumnya. Dan, kalaupun ia datang, aku harap ia tidak hanya membawa setangkup sandwich dan sebotol air mineral.Usai menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Louton, aku benar-benar me
Di bawah pancuran air hangat, kegelisahanku berangsur mereda. Emosi di dalam diriku seakan ikut menguap, bercampur dengan uap hangat yang beterbangan di sekitarku. Rasanya tidak ingin berhenti. Kalau bisa, terus dalam keadaan seperti ini saja. Tidak perlu keluar dari kamar mandi. Tidak perlu kembali ke ruangan penyiksaan itu lagi. Dan tentunya, tidak perlu berhadapan dengan Louton lagi."Menghukummu."Suara Louton tiba-tiba saja menggema di rongga telingaku. Merusak kedamaian yang tengah aku rasakan.Louton bilang bahwa ia melakukan hal gila ini untuk menghukumku? Dan ia akan membebaskanku di saat ia merasa jika hukuman darinya telah cukup? Omong kosong.Baiklah. Aku tahu ia punya banyak uang—entah itu uang dari perusahaannya atau uang ya
Sungguh aku tidak paham dengan kepribadiannya. Beberapa menit lalu Louton bersikap begitu jahat, lalu beberapa menit kemudian sikapnya berubah begitu lembut. Meski di akhirnya ia terkesan seperti baru saja tersadar dari hipnotis, tapi tetap saja aku merasa ada perubahan yang signifikan di dirinya. Dan bodohnya, sikap lembutnya itu dengan mudahnya membuatku terpaku. Benar-benar terpaku pada matanya yang memancarkan warna biru terang yang memukau.“Tidak bisa,” cetusku bangkit dari tempat tidur. “Aku tidak bisa seperti ini. Ia telah menculikku. Aku harus melawannya,” tegasku pada diri sendiri sambil mondar-mandir tanpa arah.Aku harus pergi dari tempat ini.Aku tidak boleh justru menikmati penculikan ini hanya karena orang yang menculikku adalah Louton Vague. Meskipun sosoknya begitu menawan, i
Aku sadar kalau tubuhku berayun. Samar-samar aku melihat cahaya terang, kemudian perlahan meredup. Kelopak mataku mengerut ketika menghadapi transisi yang begitu mencolok. Meski begitu, aku masih terlampau lemas untuk menggerakkan tubuhku sendiri."Aku minta kau bermalam di sini. Perempuan yang satu ini sungguh liar. Jangan biarkan dia kabur lagi. Aku tidak tahu harus kuapakan ia jika kembali kabur.""Baik, Mr. Vague. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi untuk Anda?"Pertanyaan itu tertangkap oleh telingaku sesaat setelah tubuhku diletakkan. Berdasarkan hasil dari indra perabaku, aku merasakan permukaan yang lembut, empuk, dan dingin. Sepertinya aku telah kembali ke dalam ruang penyekapan. Kembali berbaring di atas tempat tidur usai mengalami kejadian yang amat buruk.
Usai mengalami insiden melarikan diri yang gagal, entah kenapa aku justru merasa tidurku nyenyak—meski ketika bangun sekujur tubuh makin terasa ngilu dan kepalaku terasa pusing. Mungkin karena saking lelahnya, hingga seluruh sistem di tubuhku memilih untuk langsung mengnonaktifkan diri dan kembali aktif di hari berikutnya."Panas … kenapa terasa panas?"Tidak tahu apakah suhu ruangan ini memang sengaja dibuat lebih panas oleh Louton, tapi aku merasa demikian. Panas yang kurasakan berbeda dengan biasanya. Aku merasakan suhu tubuhku meningkat, tapi aku pun juga merasa kedinginan. Aku menggigil. Bahkan selimut yang disediakan tidak cukup menghalau rasa dingin yang ada."Sialan perutku …."Belum lagi perutku yang sudah meronta-ronta. Suara yan
“Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya. Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?” “Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.” Wajahku berpaling seray
Mataku berkedip cepat. "Apa aku harus menandatangani itu?" tanyaku meladeni. Lanjut mengunyah pancake. "Aku bersikeras agar kau melakukannya." "Apa kau akan menyakitiku kalau aku tetap tidak mau?" Bola mataku bergulir ke arahnya dengan hati-hati. Kulihat mata Louton menyipit. Tampak tidak senang dengan pertanyaanku. Rahangnya mulai mengencang. Tangannya mulai bersiap mengepal dengan gelisah. Sesaat aku sadar kalau sesi ramah-tamah Louton untuk hari ini telah selesai. "Iya. Aku akan menyakitimu. Lebih dari apa yang pernah kulakukan," jawabnya mampu menggetarkan segala sesuatu yang ada di diriku. Bahkan sayup-sayup aku seperti mendengar ada yang memohon agar aku tidak m