Dominic menggenggam tangan Anna yang sejak tadi masih terdiam. Gadis itu masih syok dengan kejadian yang baru saja dia lihat. Selain terkejut dengan melihat korban kecelakaan yang berlumuran darah, Anna juga merasa terkejut karena tidak menyangka jika korban yang banyak dibicarakan orang-orang tadi adalah ... ibunya. Wanita yang selama beberapa hari ini selalu dia cari ke mana-mana. "Sayang," panggil Dominic dengan lembut. Dia menarik bahu Anna yang duduk di sampingnya, lalu memeluk gadis itu. "Ibumu pasti akan baik-baik saja."Sekarang mereka sedang duduk di depan ruang operasi. Setelah mengenali sang ibu tadi, Dominic langsung membawa Anna ke rumah sakit tempat Carolina di bawa. Dominic juga meminta pihak rumah sakit untuk bertindak cepat, melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan ibu mertuanya. Walau seburuk apa pun Carolina di masa lalu, Dominic juga tidak mungkin membiarkan wanita tua itu begitu saja. Dia masih punya hati nurani. "Dom, aku tidak tau harus berbuat apa seka
Anna memegang gagang pintu dengan perasaan bimbang. Tadi perawat rumah sakit sudah datang dan memberitahu kepadanya jika Carolina sudah bisa dilihat. Hanya saja, mereka hanya bisa masuk sendiri dengan pakaian steril lengkap. "Sayang," panggil Dominic ketika melihat Anna yang tampak ragu untuk masuk. Entah apa yang membuat istrinya itu masih takut untuk bertemu dengan ibunya sendiri. Padahal Carolina sedang tidak sadarkan diri. "Aku akan menunggu di sini," ucap Dominic yang mencoba menyakinkan Anna bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sebelum masuk, Anna terlihat menghembuskan napasnya berkali-kali, dan tersenyum ke arah Dominic, memberi keyakinan kepada pria itu bahwa dia bisa melakukannya. Saat memegang pintu, dan membukanya, yang pertama kali dilihatnya ada sang ibu yang terbaring lemah. Entah mengapa Anna justru berdiri mematung, dengan angan yang terlempar jauh ke masa silam. ***"Dari mana kau, Anna?" Anna tersentak saat mendengar suara bentakan ibunya. Wanita itu sedang
Dominic mengerjapkan matanya saat mendengar suara deringan ponsel. Pasangan suami istri itu baru kembali ke hotel untuk beristirahat dua jam yang lalu. Sekarang siapa yang mengganggu Dominic? Mata pria itu menyipit karena sinar matahari yang sudah tinggi, dan dia segera meraih ponselnya di atas nakas dengan mendengkus kesal. Namun, kekesalannya langsung hilang begitu saja saat melihat siapa yang menghubunginya. "Halo.""Halo, Mr. Williams. Kami dari rumah sakit, ingin mengabarkan jika pasien atas nama Carolina kondisinya sangat buruk sekarang. Apa Anda bisa datang sebagai walinya?" Suara seorang wanita terdengar cukup cepat dari rumah sakit. "Kami akan ke sana.""Baik, Mr. Williams."Tut! Panggilan mereka terputus begitu saja. Dominic segera beralih pada Anna yang tidur begitu nyenyak. Dia jadi tidak tega untuk membangunkan istrinya itu. Anna baru bisa istirahat sejak semalam. "Hah, apa aku pergi sendiri saja?" tanya Dominic bimbang. Setelah memikirkan banyak hal, pria itu ak
Awan mendung mengiringi acara pemakaman Carolina. Setelah semua prosesi selesai, Dominic mengambil alih semuanya untuk memakamkan ibu mertuanya dengan layak. Dia juga sudah bertukar kabar dengan Elena di New York, setelah menceritakan perjuangan panjang mereka untuk menemukan Carolina. Awalnya, Elena memaksa untuk terbang ke London menemani Anna yang sedang berduka, tetapi Anna melarangnya. Dia tidak mau ada orang lain yang melihat betapa menyedihkan hidupnya. Bahkan di saat-saat terakhir Anna masih sempat meminta agar dia bisa bersama ibunya. Namun, sayangnya Tuhan berkehendak lain. Dominic merengkuh pinggang Anna dari belakang dengan erat. Tidak ada sanak saudara, membuat mereka akhirnya merasa sedih berkali-kali lipat, hingga membuat mereka saling memeluk satu sama lain. Akan tetapi, apa mau dikata. Sejak kecil, Anna memang tidak tahu siapa keluarga ibu dan ayahnya. Pantas saja mereka membenci Anna. Ternyata karena kehadirannya, baik Frank ataupun Carolina sama-sama dibuang
Anna terbangun saat mendengar suara berisik beberapa saat yang lalu dari luar kamar. Setelah cuci muka dan menggosok gigi, akhirnya Anna memutuskan untuk keluar kamar saja, dan dia baru sadar jika sekarang mereka sudah tiba di apartemen. "Mama," panggil Anna pada Elena saat membuka pintu, yang mana membuat wanita paruh baya yang sedang duduk itu langsung menoleh. "Mama, kapan sampai? Kok, tidak membangunkan aku, Dom?" Anna bertanya pada Dominic yang entah kenapa justru mendengkus kesal. "Ah, Mama tidak mau mengganggu waktu istirahatmu, Sayang." Elena segera menghampiri Anna, dan membawa gadis itu untuk duduk. Sedangkan Dominic hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar. Tidak mau mengganggu? Padahal tadi Elena tidak percaya saat Dominic bilang kalau Anna masih tidur, dan justru membuat keributan. Menyadari jika putranya sedang kesal, Hamilton mengusap punggung lebar milik Dominic dengan berbisik, "Sabar, wanita memang seperti itu. Mereka selalu benar."Menyadari tatapan putra s
Di Vermont, Daniella masih berusaha membujuk Austin untuk memberikan kunci rumah padanya. Dia ingin kembali ke rumah dan bekerja dengan normal di Sky Crystal lagi, tetapi Austin tetap pada pendiriannya. Yang berbeda hanya sikap Austin yang tidak sekasar seperti pertama kali mereka tidak di Vermont. "Aku mau pulang, brengsek!" maki Daniella lagi. Sudah hampir dua minggu, Daniella menghabiskan hari-hari dalam kurungan penjara yang tanpa sengaja Austin buat. "Aku tidak akan membebaskanmu, sebelum kau berhenti bersikap seperti ini padaku."Daniella mencibir perkataan Austin. Memangnya apa yang pria itu harapkan dari sikap Daniella, yang sudah dipaksa berulang kali untuk membantunya melampiaskan nafsu? Jangan bermimpi! Sampai kapan pun, Daniella tidak akan bersikap lunak lagi seperti dulu. "Kau berharap aku menurut dan menjadi budakmu?" Austin langsung menatap tajam ke arah Daniella setelah mendengar perkataan gadis itu. "Apa aku pernah bilang jika aku ingin kau menjadi budakku, Dan
Austin memandang kepergian Daniella dengan salah satu alis yang terangkat. Dia tidak mengerti kenapa gadis itu terlihat begitu kesal? "Dasar aneh!" gumam Austin. Dia tidak mengerti dengan arah pikiran Daniella. Padahal Austin sudah tidak melakukan kesalahan apa pun, atau memaksa Daniella untuk memasak. Tiba-tiba saja pria itu teringat dengan wajah Daniella saat melihatnya makan tadi. "Apa dia ingin makan, tapi malu mengatakannya?"Menyakini hal itu, Austin menggelengkan kepalanya dengan senyum geli. "Dasar wanita!"***Tok Tok Tok! Daniella menoleh saat mendengar suara pintu yang diketuk dari luar. Gadis itu diam saja karena sudah tahu siapa yang mengetuknya. Apa yang diinginkan oleh pria itu lagi? "Daniella, buka pintunya!" Suara Austin terdengar dari luar sana dengan keras. Namun, Daniella lebih memilih memejamkan mata saja. Dia belum mau berurusan dengan Austin, apalagi setelah kejadian tadi. Pria itu makan dengan enak di depannya tanpa ingin membagi sama sekali. "Daniel
Sinar matahari terasa begitu terik di Vermont. Mungkin karena musim semi yang akan berakhir, dan mulai memasuki musim panas. Dominic dan Anna tiba di Vermont pada siang hari. Pria berkulit cokelat dengan rambut ikal itu hanya memakai celana pendek, dengan kaus tanpa lengan karena merasa sangat kepanasan. Setelah hampir tiga puluh menit menunggu, akhirnya Austin muncul dengan mobil kesayangannya yang berwarna kuning. “Kalian sudah dari tadi?” tanya Austin yang baru turun dari dalam mobil. Dominic hanya mengangguk pelan. “Apa Vermont memang sepanas ini?” “Biasanya tidak, tapi matahari hari ini memang cukup terik. Lagi pula kita akan masuk ke peralihan musim panas, bukan?” Austin menatap Dominic dan Anna secara bergantian, dan dia cukup terkejut melihat wajah Anna yang cukup pucat. “Kau sedang sakit, An?” “Ah, tidak.” Anna menggeleng dengan wajah heran. “Apa aku terlihat seperti orang sakit?” “Hm, wajahmu cukup pucat.” Dominic langsung mendorong Austin untuk menjauh dari pintu, la