Aku duduk dengan canggung bersama Rose di salah satu meja. Semua orang di sekeliling kami berpakaian formal layaknya memiliki integritas tinggi. Tidak berbeda dengan apa yang menempel di tubuhku. Namun, dibandingkan hal itu, aku tertarik pada para tamu yang hadir di restoran yang mana duduk secara berpasang-pasangan. Didukung oleh ruangan yang didesain seolah menjadi latar tempat kencan.
Menu makanan dihidangkan tanpa kami pesan terlebih dahulu. Berbeda dengan Rose yang tampak santai-santai saja, justru otakku dipenuhi oleh tanda tanya besar. Sampai saat ini belum ada jawaban yang aku dapatkan dari Rose mengenai keberadaan kami. Hingga para pegawai yang menghidangkan makanan pergi, baru aku memiliki kesempatan untuk berbicara dengan tenang.
"Apa—"
"Wah, semua terlihat sangat menggiurkan! Aku tidak sabar untuk memakan semua hidangan ini!"
Aku menghentikan tangan yang akan bergerak mengambil sepotong daging, lalu berk
Embusan angin mengayunkan rambut sebahu seorang wanita di Union Street. Waktu seakan-akan terjeda, mempersilakan Hunter untuk menikmati parfum beraroma manisnya karamel dan hangatnya sebuah pertemuan. Inilah yang dilakukan Savana di tengah kota yang penuh dengan kesibukan, menuntun seorang wanita renta hingga mencapai seberang jalan. Dari pemandangan itu awal permulaan Hunter terpesona dengan sosok Savana. "Terima kasih banyak," ucap sang nenek. "Bukan apa-apa. Sampai jumpa lagi besok," ucap Savana, menundukkan kepala seraya tersenyum sebelum beranjak pergi. Jantung Hunter masih berdegup kencang, semakin menggila ketika melihat bagaimana cara Savana tersenyum. Memang wanita idaman dan tipenya; cantik, tulus, dan pekerja keras. Kenapa dia bisa tahu kalau Savana pekerja keras? Karena wanita itu adalah salah satu pelanggan tetap di tempat dia bekerja paruh waktu. Ada saatnya Savana merasa kacau di depan laptop, ada pula saatnya melangkah terburu-buru seolah tidak ada jeda di dalam hi
Bagaikan membuka gerbang kemenangan, celah pintu lemari semakin membentang lebar. Aku menghirup aroma yang menyejukkan ini. Rasanya membuatku tidak bisa menahan diri lagi. Suasana hatiku sangat bagus."Savana, aku tidak menyangka jika kau akan mengajakku pergi berkencan," nada suaraku rendah berucap seperti seorang pria yang berkarisma.Sehelai kemeja menemani langkahku berhadapan dengan cermin, "Baiklah. Aku akan menyetujuinya. Tapi jangan salahkan aku jika kau terpesona padaku," ucapku sedikit tersipu malu, kemudian menyapu rambutku seraya berkata, "Karena aku adalah Hunter, seorang lelaki tampan."Suasana hening sebentar sebelum aku tertawa geli. Aku sulit menahan bagaimana senangnya hatiku. Tidak ada yang tahu betapa aku sangat menantikan hari ini. Berjumpa dengan Savana!Aku mengenakan kemeja, lalu memadukannya dengan sweter berwarna abu-abu. Rambutku sudah tertata rapi. Bahkan khusus untuk hari ini aku sampai
Aku tidak beranjak dari posisiku. Lebih memilih untuk menyerahkan kantong kertas mini cantik pada Savana di depan pintu rumah saja.Melangkah jauh sampai ke dalam, bukan tindakan yang baik ketika kami baru saja mengenal, bukan? Meskipun bagiku kami tidak hanya satu kali bertemu, akan tetapi bagi Savana mungkin sebaliknya.Savana meraih kantong yang disodorkan, kemudian mengeluarkan benda yang terdapat di dalamnya. Ada gurat kelegaan yang tampak di wajah itu."Maafkan aku harus membuatmu datang sendiri untuk mengantarkan ponselku. Seharusnya aku yang menjemput, tapi suatu kejadian membuatku tidak bisa datang. Ayo, masuklah ke dalam dan biarkan aku menuangkan teh hangat untukmu.""Tidak perlu. Aku akan langsung perg
Aku mendapatkan sif siang hari ini. Sepanjang perjalanan menuju tempat bekerja, pikiranku tidak berhenti mencemaskan kejadian kemarin. Savana enggan menjawab pertanyaanku yang menginginkan agar kami semakin dekat.Padahal pertemuan pertama kami seharusnya berjalan baik, akan tetapi keinginanku telah membuat semuanya menjadi kacau. Apa yang dipikirkan Savana tentangku setelah kemarin? Mungkinkah aku dicap sebagai lelaki aneh yang ingin mendekati seorang gadis?Aku meremas rambutku dengan frustrasi, "Kau sangat bodoh, Hunter."Gerakan tanganku berhenti ketika melihat pemandangan baru di depan mata. Seorang anak kecil tengah menatapku dengan ekspresi datar. Terlebih dari pemandangan itu, aku juga melihat Savana. Mereka berdua saling bergandengan tangan.
Aku memperhatikan Sunny yang masih tidur pulas meski sudah berpindah tangan. Anak perempuan ini sangat lucu dan juga cantik seperti ibunya. Hanya melihat seperti ini saja sudah membuatku merasa senang."Sunny terlihat begitu nyenyak.""Tadi dia bermain banyak. Mungkin terlalu lelah dan butuh mengisi dayanya kembali."Aku menganggukkan kepala tanpa melepaskan pandangan dari Sunny. Sebelumnya aku sering menjaga keponakanku. Jadi, aku tahu persis bagaimana anak seusia Sunny ketika bermain.Lama kami berteduh hingga sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan kafe. Dari sana muncul satu sosok pria yang pernah aku temui. Pria itu datang menghampiri kami menggunakan payung berwarna hitam.
Savana yang menghubungiku saja sudah bisa menghangatkan hati. Apalagi saat aku melihat huruf demi huruf yang terpampang di pesan masuk. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku tersipu malu saat ini.[Savana: Terima kasih sudah menemaniku sampai Jacob datang. Oh, jaketmu ada padaku. Aku akan mengembalikannya saat kita bertemu nanti.]Dahi mengerut dalam saat aku mulai menyadari kalau jaketku masih ada bersama Savana. Gawat! Bagaimana jika Jacob tahu sang istri mengenakan jaket seorang pria?Aku segera membalas pesan itu dan bertanya, apakah semuanya baik-baik saja? Sangat bagus jika hubungan rumah tangga Savana retak, tetapi aku bukan pemeran antagonis yang menginginkan hal itu terjadi.Tidak lama kemudian pesan masuk tampil di layar. Sebaiknya aku mendapatkan kabar gembira karena kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidup karena telah membuat Savana bersedih.[Savana: Ya. Semuanya baik-baik saja di
Savana tampak sangat terkejut mendengar pernyataanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak ingin menebaknya karena hanya akan menggoyahkan kepercayaan diriku."Apa kau memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria? Atau adakah pria yang menempati hatimu saat ini?"Savana masih terdiam saat menghadapi keberanianku. Tidak dapat berkata-kata. Meskipun begitu aku tidak mundur lagi untuk mengatakan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."Tidak. Untuk apa kau bertanya?" tanyanya seolah masih tidak percaya.Aku berpikir sesaat sebelum keyakinan semakin tumbuh di hatiku, "Selama jawaban itu masih sama, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu. Entah kau suka atau tidak, aku ingin kau mempertimbangkan kesungguhanku."Tiba-tiba Savana bangkit dari duduknya dan membuatku terbengong, "Maaf, Hunter. A-aku harus pergi bekerja sekarang."
Dari kaca jendela yang menampakkan pelanggan kafe, aku melihat Savana tengah duduk dengan ekspresi muram. Aku belum pernah melihat dia yang seperti itu. Sepertinya akibat pernyataan yang aku ungkapkan kemarin. Apakah Savana begitu tidak ingin jika aku memiliki perasaan padanya?Aku bergegas masuk ke dalam kafe dan menghampiri Savana. Di saat itu pula tatapan mata kami bertemu. Perasaanku saat ini sulit dijelaskan. Tumpang tindih antara ingin melanjutkan perjuangan dan tidak ingin melanjutkan perjuangan. Alasannya adalah karena aku tidak ingin melihat pemandangan semacam ini."Lupakan saja.""Apa yang harus aku lupakan?" tanyanya bingung."Kau tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana perasaanku padamu. Lupakan saja jika hal itu membuatmu tidak nyaman."Satu hal lagi yang paling penting, aku tidak ingin membuat hubungan kami menjadi jauh. Sangat sulit bagiku jika Savana tidak lagi memunculkan diri. Aku t