“Aku menemukan Nona Renata,” seru Marvin.
Perkataannya seketika menghentikan langkah kaki Langit.
“K-kau menemukannya? Di mana? Di mana kau menemukannya? Katakan padaku, di mana kau menemukannya?”
Marvin kini dicecar pertanyaan atasannya membuatnya tidak tahu harus menjawab apa pada pria di hadapannya itu. Langit begitu antusias dengan apa yang dikatakan oleh Marvin, dia ingin segera bertemu Renata.
“Di Jerman,” jawab Marvin singkat.
Mendengar kekasihnya ditemukan, membuat perasaan Langit sedikit lega, pria itu tidak tahu harus berbuat apa, langkah kakinya bingung harus melangkah ke mana.
Marvin yang melihat hal itu, jelas bisa menilai jika atasannya itu tengah bahagia dengan informasi yang dia sampaikan barusan.
“Batalkan segala jadwalku, aku tidak ingin ada yang membuatku batal pergi ke Jerman, dan siapkan penerbangan untukku, aku akan pergi sendiri menjemputnya,” ucap Langit
“T-tapi, bagaimana dengan Nyonya Danas, dan jika anda pergi—“
Mendengar nama Danas disebut, membuatnya seketika frustasi karena rasa bahagia langsung lenyap.
“Argh. Menyebalkan. Biarkan saja dia.”
Marvin menggaruk kepalanya, dia tidak mengerti dengan pikiran atasannya itu. Meninggalkan wanita berstatus istri, untuk gadis yang pergi meninggalkannya. Dia bahkan beranggapan jika atasannya telah terkena guna-guna membuat pria itu begitu mencintai wanita itu, dan menelantarkan istrinya.
“Baik, aku akan memesan tiket untuk anda, Tuan.”
Langit menganggukan kepalanya. “Bagus-bagus,” gumamnya pelan sambil mondar mandir.
Raut wajah bahagia terlihat di sana.
“Tidak … tidak, aku harus pergi dengan wanita itu. Aku takut, jika ada yang seseorang yang bertanya tentangku, aku harus mengawasinya, agar tidak membocorkan rahasia.”
Mendengar perkataan pria bermata hazel itu, membuat Marvin sedikit mengukir senyum.
“Apa anda ingin hone—”
“Tidak.” Langit seketika memotong perkataan asisten tampannya itu. “Untuk apa honeymoon, aku tidak akan melakukannya dengan wanita menjijikan itu. Aku pergi ke sana mencari Renata, bukan untuk tidur dengan gadis itu,” tegas Langit.
Langit menatap Marvin dengan serius, pria itu sedang berdecak pinggang. “Pergi jemput dia, aku akan menunggu di bandara.”
“Baik.”
Sepanjang jalan, Marvin mengerutui bahkan sesekali mengumpat.
“Jika dibenci kenapa harus dinikahi coba, apalagi diperlakukan tidak seperti layaknya seorang istri. Gadis cantik, wanita mandiri, banyak yang menyukai Nyonya Danas, tapi—“
Perkataannya tercekat.
“Ya, mungkin aku akan seperti tuan, jika aku berada di posisinya,” gumamnya pelan. “Tapi, aku kasihan pada Nyonya.”
Sejenak dia berhenti mengomel. “Tapi, kenapa aku ikut pusing dengan masalah keluarga tuan Langit. Itu urusan dia, aku hanya menjalankan perintahnya.”
Pria itu terlihat bodoh, berbicara dan mengomel-ngomel sendiri.
“Benar, aku tidak perlu memikirkan apa yang harusnya tidak aku pikirkan,” gumamnya sambil mematikan mesin mobil.
Kini langkah kakinya, mencari Danas di penjuru rumah, namun tidak menemukan gadis itu di dalam rumah.
“Apa Tuan Langit telah kembali?” Sebuah suara membuatnya terkejut.
“T-tidak,” jawabnya sedikit tergagap. “Nyonya Danas di mana?”
“Dia di kebun belakang.”
Mendengar hal membuatnya melangkahkan kakinya ke kebun belakang rumah milik Langit. Terlihat Danas yang tengah tersenyum, memberi makan ikan-ikan di kolam.
Ada sedikit getaran di hatinya, ketika melihat senyuman Danas yang begitu teduh, hingga membuatnya meraba jantungnya.
Plak!
Seketika pipinya, ditamparnya pelan.
“Sadar Marvin, jangan jatuh cinta atau kau akan digantung oleh tuan Langit menyukai wanitanya.”
Pria itu menghela nafas panjang.
“Nyonya …” panggilnya.
Danas yang tersenyum seketika memasang wajah ketakutan, ketika melihat Marvin.
“A-apa dia telah kembali?”
“Tidak, Aku sendiri,” jawab Marvin membuat wajah Danas sedikit ada perubahan.
“Jadi kenapa kau datang sendiri?” tanya Danas yang penasaran tentang kedatangan pria itu.
“Tuan akan berangkat ke Jerman, dia ingin aku menjemputmu.”
“J-jerman?”
Marvin menganggukan kepalanya. “Pesawat akan berangkat pukul 2 siang, Nyonya masih bisa berkemas lebih dulu. Tidak perlu membawa pakaian, anda bisa membeli pakaian ganti saat di Jerman nanti.”
Danas hanya tersenyum kecut. Kepulangan Langit, selalu membuat tubuhnya merespon ketakutan pada pria itu. Bahkan ketika mendengar nama itu dipanggil, membuat bulu kuduknya merinding.
“Anda hanya cukup berganti pakaian.”
Danas memutar tubuhnya, membuat Marvin berhenti tiba-tiba dan menabrak gadis itu.
“M-maaf,” ucapnya sambil mundur ke belakang beberapa langkah.
“Bisakah kau menungguku, sebentar?! Aku janji, tidak akan lama,”
Marvin mengangguk pelan. “Tuan, kuharap kau tidak mendengarkan detak jantungku ini,” mohonnya. “Sial, jangan jatuh cinta pada istri atasanmu, Marvin,” umpatnya pada diri sendiri sambil menampar pelan pipinya. “Marvin sadarlah,” tamparnya lagi.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Danas.
“T-tidak, aku akan menunggu anda di mobil.”
Mobil kini mendekat ke arah sebuah jet pribadi.
Marvin lebih dulu turun, kemudian dia membuka pintu untuk Danas. “Silahkan Nyonya, tuan menunggumu,” kata Marvin sambil tersenyum.
Agak ragu, gadis itu melangkahkan kakinya untuk menaiki anak tangga.
“Silahkan Nyonya.”
Menghela nafas pelan, mempersiapkan dirinya dengan apa yang akan terjadi di dalam ketika bertemu Langit. Hanya ada ukiran senyum diberikan pada mereka yang bekerja untuk suaminya, setidaknya dia ingin memberikan kesan baik.
Ketika baru saja masuk, hal pertama dilihat olehnya mata hazel milik Langit yang tengah menatapnya dengan dingin. Melihat mimik wajah dingin itu, membuatnya hatinya sakit. Rasanya, tidak ada perasaan suka untuknya, hanya ada kebencian yang diberikan suaminya padanya.
Dia tidak meminta dicintai oleh pria itu, dia hanya ingin dihargai sebagai seorang istri. Istri mana yang akan tahan dengan raut wajah dingin yang diberikan oleh suaminya. Dia pun hanya seorang wanita yang memiliki perasaan ingin dihargai.
“Aku istrimu, bisakah kau tidak menatapku dengan tatapan seakan aku adalah musuhmu?” tanyanya dalam hati.
Gadis itu tidak berani mengatakan apa yang tengah dipikirkannya. Dia memilih untuk duduk berseberangan dengan Langit, menatap ke luar jendela, dilayani oleh seorang pramugari yang menawarkan minuman untuknya.
“Tidak, terima kasih,” ucapnya menolak.
Langit melirik ke arah seberang. Istrinya tengah menatap ke luar jendela, terlihat Danas yang tengah mengikat rambutnya, membuat leher jenjangnya terlihat. Dia bahkan tidak menyadari jika pria di seberangnya tengah menatapnya.
“Pasang sabuk pengamanmu, atau kau ingin mati di sini,” titah Langit melihat Danas yang tidak memakai sabuk pengaman.
Gadis itu menuruti perintah suaminya.
Ketika pesawat berada di atas ketinggian hanya ada kesunyian. Beberapa pramugari yang tengah bertugas, hanya melemparkan pandangannya ke arah pasangan suami istri itu.
“Apa mereka tengah bertengkar?” tanya salah seorang berbisik, membuat Marvin menatap ke arah mereka.
“Mendekatlah, kau tidak ingin mereka beranggapan jika kita sedang bertengkar bukan?”
Suara Langit membuat Danas meliriknya.
“Kau yang datang ke sini atau aku yang datang ke tempatmu?”
Danas hanya terdiam tidak menjawab. “Danas,” panggil Langit. Kali ini suaranya agak meninggi.
Danas hanya terdiam tidak menjawab. “Danas,” panggil Langit. Kali ini suaranya agak meninggi. Semua wanita ingin dipuja, dimanja, mengapa diriku mengalami nasib seperti ini. Apa aku salah, menginginkan seorang suami yang perhatian?! Semua wanita menginginkan hal yang sama. Tapi, aku harus membuang semua keinginan itu, bagi diriku berharap hal itu terwujud hanyalah sia-sia. Mata Danas berada satu garis dengan hazel mata Langit, kemudian beranjak mendekat ke arah suaminya. Dia tahu, jika pria itu sedang menjaga imej, namun hal itu membuat hatinya terasa sakit. Kepura-puraan yang dilakukan oleh Langit, mengiris hatinya paling dalam. Bukan ketulusan saat melakukan kemesraan, namun semuanya adalah Fake. Langit yang perhatian, adalah Palsu. Langit yang tersenyum dan hangat adalah palsu. Melihat langkah Danas yang pelan, membuat pria itu segera menarik tangan gadis itu dan membuat gadis itu kini duduk di dalam pangkuannya. “A-aku duduk di kursi saja.” Langit mempererat pelukannya. “Ja
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.” Jantung Danas berdegup dengan sangat kuat, gelas di tangannya digenggamnya dengan erat. Hatinya terasa sakit, seakan ada sebuah duri yang di tembakan langsung menuju dasar hatinya. Rahasia besar seperti ini, sangat menyakitkan baginya. Air mata tanpa terasa membasahi pipinya, dengan cepat dihapus olehnya. “Nyonya, anda tidak apa-apa?” tanya Marvin yang melihat istri tuannya menangis. “Ya, tidak apa-apa, lanjutkan.” Sejenak Marvin menatap gadis itu. “Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan untuk wanita yang begitu tegar hatinya. Harusnya, Engkau membuatnya menikah dengan pria yang bisa menghargai dirinya lebih dari dia menghargai dirinya sendiri,” batin Marvin merasa iba. Dia menceritakan seluruh apa yang dia ketahui sambil melihat respon Danas, dia tahu gadis itu sangat terluka dan terpukul mengetahui segalanya. Hanya ada senyuman paksa yang terbit di bibir Danas, tapi matanya tidak bisa berbohong jika dia terluka dengan seluruh penjelasan itu.
“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.” Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya. Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu. “Ah, ternyata kau, Dav.” Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya. “Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas. “Aw …” ringisnya. “A-ada apa? Kenapa kau meringis?” “T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar. “Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.” “Ya, aku baik-baik saja. A
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka
Danas terisak sejenak, dia menangis tanpa suara. Bagaimana rasanya menangis tanpa suara? Begitu menderita, hati masih menyimpan begitu banyak penderitaan di dalam hati, sedangkan tidak ingin ada yang tahu jika diri kita begitu menderita. Dirinya yang ada di dalam cermin, sangat jelas terlihat jika dia begitu rapuh. “Oh tidak, aku membuat make upnya rusak,” pekiknya sambil celingak-celinguk mencari tisu. Karena tidak menemukan tisu, Danas mencoba untuk menyeka air matanya menggunakan tangan. “Oh tidak, kau merusaknya,” pekik Mike yang melihat hal itu, kemudian buru-buru mendekat. “Kenapa? Apa kau berkeringat? Jangan menyekanya dengan tangan. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan tisu untukmu.” Pria itu bergegas keluar ruangan mengambil tisu. “Kapan selesai? Kenapa kau membuatku begitu lama.” Langit tengah duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Kini matanya tengah menatap ke arah Mike. “Sabar sedikit lagi. Kau akan mendapatkan hasil yang sempurna, tuan Langit. Aku janji, kau aka
Mobil Langit berhenti di depan sebuah gedung, dengan beberapa orang yang siap untuk menyambutnya. Langit menatap Danas, membuat tubuh gadis itu menegang. Seakan perlakuan pria itu padanya, membekas, dan membuat tubuhnya bereaksi ketika pria itu mengeluarkan suara berat miliknya. “Ingat, jangan lakukan sesuatu yang membuatku malu, atau kau tahu akibatnya,” ancam Langit. Danas mengangguk pelan. “Bagus, jadilah anak baik, atau kau akan tau akibatnya,” bisik Langit, lagi-lagi membuat Danas merinding dengan kalimat terakhir yang diucapkan Langit. Seseorang telah membuka pintu mobil, membuat Langit turun lebih dulu. Pria itu, seketika berdiri di dekat pintu mobil, sambil mengulurkan tangannya. Ada keraguan ketika Danas mencoba untuk meraih tangan kekar itu, bahkan Langit tersenyum padanya, membuatnya sedikit takut. Dia jelas tahu jika pria itu terpaksa tersenyum, untuk menutup segalanya, dan tidak ingin mendapatkan gosip tentang hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Langit memberik
Mata Danas membulat, ketika ada sentuhan lembut dilehernya. Pria yang tengah memeluknya mempererat pelukannya, membuatnya tidak bisa bergerak. Hanya beberapa saat saja, hal itu terjadi kemudian Langit mencoba menjauhkan diri dari gadis itu dengan mendorong tubuh Danas, kemudian menariknya kembali agar masuk ke dalam pelukannya. “Apa kau sedang menggodaku?” tanya Langit. “T-tidak, aku tidak menggodamu.” “Tapi kenapa kau—“ Melihat Danas yang tengah tertunduk karena takut, membuat Langit mendengkus pelan. Ada ego yang membuatnya tidak menerima jika dirinya yang tergoda namun lagi-lagi dirinya tidak ingin mengakui hal itu. Ada rasa candu yang tengah mengebu di dasar hatinya, aroma tubuh Danas seakan tengah memikatnya untuk mencicipi tubuh ini. “Sial, kenapa dia menggodaku. Aroma tubuhnya begitu membuatku nyaman,” umpatnya. Suasana ruangan masih gelap, dengan alunan piano yang masih berlanjut, dansa pun masih belum selesai. Beberapa orang telah ikut bergabung di lantai dansa, sedang
“Apa yang kalian bicarakan?” Danas melihat ke arah pria yang tengah berada di sampingnya. Ada sedikit ketakutan di mata Danas ketika Langit bertanya padanya. “Apa kau tiba-tiba bisu, setelah tertawa begitu puas saat bersama gadis itu?” “Alexa Amareta—namanya.” “Jadi namanya Alexa.” Langit mengangguk pelan. “Dia hanya menceritakan hal lucu, itu saja.” Langit menatap gadis yang bersamanya itu, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Danas. Tatapan penuh menyelidiki. “Dia bertanya, kapan kita bertemu dan jatuh cinta tapi aku tidak menjawabnya.” “Sudah kuduga, dia pasti mendekatimu untuk bertanya hal seperti itu. Jangan bertemu dengannya lagi, dia memiliki niat buruk untuk mencari tahu tentang hubungan kita.” Danas menunduk sejenak, kemudian menoleh ke luar jendela. Perkataan Langit, menyadarkannya satu hal, jika hubungan mereka tidak layak untuk dipublikasikan pada banyak orang. Menjadi istri seorang Langit, adalah sebuah masalah untuknya, dia pun tahu itu. Di luar