Share

3. MALAM PERTAMA

Malam ini cuaca sedikit mendung. Tak ada satu pun bintang yang muncul. Awan hitam itu begitu pekat menggulung di angkasa. Berjalan pelan dan berarak tanpa sedikit pun perduli, bahwa kehadiran mereka telah menjadi penghalang bagi bulan dan bintang untuk saling melepas rindu.

Sudah hampir setengah jam berlalu, Raline masih asik bergumul dengan lamunannya. Menatap langit melalui jendela kamarnya.

Satu hal yang menjadi kebiasaan Raline sejak kecil, yaitu termenung sendirian menatap ke arah langit dalam waktu yang bisa di bilang cukup lama. Berjuta beban pikirannya seolah berkurang saat dia melakukan hal itu. Tapi sayangnya, malam ini Raline tak merasakan apapun. Bahkan setelah kepalanya hampir pegal karena terus menerus menatap ke arah langit.

Luka batin di dalam dirinya masih saja menggelayut dan berdenyut.

Raline beranjak dari sisi jendela kamarnya, dia menghela napas berat lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar.

Sebuah kamar kecil yang sangat sederhana. Tak banyak barang di dalamnya. Hanya berisi satu buah meja belajar usang tempat Raline menyimpan koleksi buku bacaanya. Satu buah lemari pakaian berukuran sedang serta satu kasur lantai busa yang cukup hanya untuk satu orang saja. Bisa sih berdua, tapi tidurnya harus saling berhimpitan.

Raline baru saja selesai mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur dan membersihkan wajahnya dari riasan make up, ketika seseorang memasuki kamarnya dari arah luar. Seorang laki-laki yang mengenakan celana pendek dan kaos tipis. Dia tersenyum pada Raline. Meski, senyumnya tak mendapat sambutan baik.

Laki-laki itu berjalan ke arah Raline yang saat itu sedang bersiap untuk tidur.

"Makan dulu, Lin. Nih aku ambilin makanan dari dapur. Seharian inikan kamu belum makan. Aku suapin ya?" ucap Basti dengan sepiring nasi beserta lauk pauk di tangannya. Kini, laki-laki itu mulai menyendokkan sesuap nasi untuk Raline.

Raline tidak bereaksi.

"Kamukan lagi hamil, harus banyak-banyak makan sayur, ayo makan dulu," kata Basti lagi masih dengan senyum yang mengembang di wajah tampannya. Dengan tulus, Basti hendak menyuapkan satu sendok nasi itu ke mulut Raline, namun sesuatu yang tanpa pernah dia sangka-sangka pun terjadi.

PRANG!

Dengan kasar Raline menepis sendok itu agar menjauh dari mulutnya. Tak sampai di situ, Raline juga menyenggol kuat piring yang di pegang oleh Basti hingga benda pecah belah itu jatuh dan hancur di lantai. Bunyi berisik itu sontak menarik perhatian Rani dan Ibnu yang masih berada di ruang keluarga.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu itu pun terdengar dari luar di iringi pertanyaan khawatir dari mulut Rani. "Lin, ada apa? Suara apa tadi? Kalian baik-baik sajakan?"

Basti buru-buru membuka pintu.

"Nggak apa-apa Bu. Basti nggak sengaja, tadi pecahin piringnya, maaf ya Bu," ucap Basti menjelaskan, meski bukan yang sebenarnya.

Rani melongok ke dalam kamar itu. Dia melihat Raline kini tertidur di kasur dengan menutup semua tubuhnya dengan selimut.

"Ya sudah, biar Ibu bantu bereskan,"

"Nggak usah, Bu. Biar Basti aja yang beresin. Ibu istirahat aja," ucap Basti yang jadi tak enak hati pada Ibu mertuanya yang memang sangat baik itu.

"Kalau begitu, nanti kamu ambil saja makanannya lagi. Di dapurkan masih banyak. Ibu tahu dari pagi kamu belum makan Basti," ucap Rani sambil tersenyum. Entah apa yang dia rasakan pada sosok Basti justru berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan anak-anaknya. Sebagai seorang Ibu, Rani bisa melihat adanya ketulusan dari sikap Basti yang memang dasarnya pendiam dan tidak banyak bicara. Menurut Rani, Basti itu laki-laki yang sopan dan baik. Meski, dia sendiri tidak menampik satu kesalahan besar yang Basti lakukan terhadap Raline anaknya. Tapi, jika boleh jujur, Rani tidak bisa membenci Basti. Apalagi bersikap kasar pada laki-laki itu. Rani sendiri tidak mengerti kenapa, walau terkadang sifatnya ini kerap di salah artikan oleh Raline dan Kiara yang menganggapnya sebagai Ibu yang materialistis. Tapi biarlah, mau mereka berpendapat apapun, Rani tidak perduli, yang jelas, dia yakin bersama Basti, Raline pasti bisa bahagia.

Setelah kepergian Rani, Basti menutup pintu kamarnya dan berdiri sejenak di belakang pintu. Dia menatap ke arah lantai kamar yang kini berantakan dan kotor. Basti menghela nafas berat, sebelum akhirnya dia berjongkok dan mulai membersihkan pecahan-pecahan kaca itu. Sesekali dia menoleh ke arah kasur, di mana Raline kini tertidur dengan posisi miring membelakanginya. Tubuh istrinya itu tertutup rapat oleh selimut.

Basti menggeleng pelan dan kembali tersenyum hambar.

Sebelumnya, dia sudah menduga bahwa malam pertamanya dengan Raline pasti akan berakhir dengan sesuatu yang menyedihkan.

Mungkin Raline masih membutuhkan waktu untuk benar-benar bisa menerima dirinya.

Basti hanya perlu bersabar.

***

Pagi harinya, Basti terbangun saat sinar matahari sudah menerobos masuk melalui jendela kamarnya. Keningnya mengernyit karena silau. Dia menoleh ke arah kasur di mana tempat itu kini telah kosong.

Basti bangkit dan menggulung tikar yang dia gunakan untuk alas tidurnya di lantai.

Awalnya, tidur hanya dengan beralaskan sebuah tikar cukup membuat seluruh tubuh Basti merasakan nyeri dan ngilu. Namun setelah hampir satu bulan belakangan ini, dia tinggal menumpang di rumah Raline, Basti sudah cukup terbiasa dengan kondisinya sekarang. Dan tubuhnya pun sudah bisa beradaptasi dengan keadaan lantai yang dingin dan keras. Serta tikar yang seringkali membuat kulitnya sedikit gatal-gatal.

"Raline sudah berangkat, Bu?" tanya Basti begitu dia keluar dari kamar dan mendapati Rani dan Kiara sedang bebenah di dapur.

"Iya, Raline bilang dia ada jadwal interview kerja hari ini, dia berangkat bareng Bapak," jawan Rani sambil tersenyum. "Sarapan dulu Bas, itu Ibu sisakan untuk kamu ayam gorengnya di meja makan," ucap Rani lagi.

"Iya, Bu. Makasih," ucap Basti seraya beranjak dari dapur menuju meja makan kecil di ruangan sebelahnya. Saat dia membuka tudung saji rotan di atas meja, dia hanya melihat nasi, sambal dan kerupuk.

Mana ayam gorengnya? Pikir Basti heran. Padahal jelas-jelas dia tadi mendengar Ibu mertuanya mengatakan ada ayam goreng di meja makan.

"Nyari ayam goreng ya? Nih, udah masuk ke perut gue. Malahan udah keluar lagi tadi," bisik Kiara saat dirinya melewati Basti dari arah belakang.

Basti menutup kembali tudung saji itu. Dia menarik nafas panjang. Sabar Bas... Ujarnya dalam hati.

"Tenang aja Mas Basti yang tampan dan kaya raya, tuh gue sisain sambel terasi sama kerupuk udang buat lo sarapan. Kurang baik apa coba gue? Lagian, lo kan anak orang kaya, lo tinggal telepon aja tuh restoran mahal terus delivery deh, bereskan?" sambung Kiara lagi. Dia menoleh ke arah dapur, takut-takut sang Ibu tiba-tiba nongol.

Basti hanya diam menanggapi ocehan adik iparnya itu yang jika bicara selalu nyelekit di hati.

"Cari kerja sana. Mba Raline aja udah berangkat dari shubuh buat cari kerjaan, ini kok kepala rumah tangga malah asik-asik molor aja di kamar. Lo nggak malu apa? Udah hidup numpang, bisa ikut makan enak di sini setiap hari, gratis pula. Huhhh, Bokap gue tuh cape cari duit, pergi pagi pulang malem, masa iya cuma buat biayain menantu nggak tau diri kayak lo!"

Basti yang saat itu hendak masuk kembali ke dalam kamarnya, sempat terdiam di ambang pintu. Kalimat pedas itu jelas menikam perasaannya.

Dia sangat tersinggung. Tapi, dia harus bisa menahan caci maki itu, karena dia tahu Kiara hanya seorang wanita. Basti tidak mau lepas kendali. Dia harus tetap mengontrol emosinya. Dan semua itu dia lakukan karena dia masih menghormati ibu mertuanya dan Raline sebagai istrinya. Satu-satunya wanita yang sangat dia cintai.

"Kamu nggak usah khawatir, Ra, aku pasti bakal cari kerja kok." ucap Basti kemudian. Dia berusaha untuk tetap menyunggingkan senyumannya ke arah Kiara. Meski sangat berat.

"Bagus deh kalau gitu! Lunasin tuh, semua biaya yang udah Ibu dan Bapak keluarin buat resepsi pernikahan lo sama Mba Raline, dan satu lagi, tabungan Mba Raline untuk kuliah juga jadi terpakai untuk biaya pernikahan kalian, lo nggak tahukan gimana hancurnya perasaan Mba Raline, saat dia harus menerima kenyataan kalau rencananya untuk kuliah gagal. Dan semua itu gara-gara ulah lo! Dasar manusia robot! Nggak punya hati! Lo udah ngancurin hidup dan masa depan kakak gue, jadi jangan harap lo bisa hidup tenang di rumah ini, selama masih ada gue di sini? Ngerti lo!"

Kiara pergi dan masuk ke dalam kamarnya begitu dia selesai dengan kalimat panjang nan sarkasnya itu.

Sementara Basti, kini hanya berdiri termangu di depan pintu kamarnya. Perasaan bersalahnya pada Raline kian menjadi-jadi.

Dia benar-benar tidak tahu perihal uang tabungan kuliah Raline yang harus terpakai untuk biaya pernikahan. Lagipula, sejak awal, Basti sudah mengatakan bahwa pernikahan mereka cukup di adakan secara sederhana saja, tapi ke dua orang tua Raline sendiri yang menginginkan pernikahan itu dibuat meriah.

Lantas, darimana Basti bisa mendapatkan uang-uang itu? Sementara dia saja kesulitan mencari pekerjaan selama ini.

Seandainya pun Basti sampai di terima bekerja di sebuah perusahaan, hal itu tak akan berlangsung lama. Tidak sampai satu minggu, Basti pasti akan menerima panggilan untuk pemecatan secara tidak hormat dan dengan alasan yang terkadang tidak masuk di akal.

Dan hal itu terjadi bukan hanya satu kali. Tapi sudah berkali-kali.

Tepatnya, sejak satu bulan yang lalu dia di usir dari rumahnya sendiri, oleh seorang wanita yang bernama Helen Anastasya Dirgantara.

Yang tak lain dan tak bukan, adalah Ibu Kandungnya sendiri.

***

Lagi dan lagi, untuk yang ke sekian kali, lamaran pekerjaan Raline di tolak oleh perusahaan-perusahaan pencari kerja dengan beribu alasan.

"Maaf Mba, kriteria pekerja yang kami cari tidak sesuai dengan diri Mba. Zaman sekarang mencari pekerjaan hanya mengandalkan lulusan SMA saja susah Mba. Perusahaan kami itu mencari karyawati yang masih fresh graduate dan masih single. Silahkan Mba cari pekerjaan di tempat lain saja Mba," ucap seorang karyawan yang bertugas menginterview para pelamar baru hari ini. Dia mengembalikan berkas milik Raline yang telah dia masukkan kembali ke dalam sebuah amplop coklat.

Raline tersenyum pahit seraya menerima berkas lamarannya yang di tolak.

Ini sudah perusahaan ke lima yang dia datangi. Tapi, tak ada satu pun yang mau menerimanya.

Huft...

Raline menarik nafas berat dan menjatuhkan tubuhnya di atas bangku sebuah halte bus. Berjalan kaki menggunakan heels yang cukup tinggi ternyata sangat melelahkan. Raline merasa kaki-kakinya kini kram dan kesemutan. Belum lagi cuaca terik yang membakar ibukota, membuat dahaganya kian menjadi-jadi.

Raline masih duduk di halte dan mulai menenggak sebotol air mineral dingin yang baru saja dibelinya dari warung rokok di pinggir jalan.

Raline melonggarkan kakinya dari sepatunya yang terasa mencekik sebab sepatunya itu sudah sangat sempit dan tidak nyaman lagi di gunakan. Harusnya sepatu itu sudah pensiun dan tidak layak pakai, hanya saja, Raline tidak memiliki cukup uang untuk membeli sepatu baru. Jadilah dia membiarkan jari-jari kakinya kini lecet dan perih.

Seandainya dia tidak menikah dengan Bastian, mungkin dia bisa melanjutkan kuliah. Mungkin dia tidak akan seperti ini sekarang dan mungkin, dia tidak akan kehilangan pekerjaannya yang dulu.

Raline tahu, semua masalah dalam hidupnya yang dia alami secara bertubi-tubi saat ini, semua tak lepas dari campur tangan Helen Anastasya Dirgantara.

Wanita kejam yang kini menjadi Ibu mertuanya.

Wanita kejam yang sangat-sangat tak berperasaan.

***

Buat yang suka mohon dukungannya untuk cerita ini, berikan komentar kalian dan tanda bintang limanya ya...

Salam herofah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status