Keesokan harinya, Basti memutuskan untuk pergi ke luar kota. Setelah semalam, dirinya dan Raline sudah membuat kesepakatan bersama.
Meski setelahnya Basti menyesali kesepakatan itu.
Basti tidak memiliki pilihan lain. Jika itu satu-satunya jalan keluar yang terbaik bagi Raline, Basti tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah tujuan Basti adalah membahagiakan Raline?
Jika dengan menjauh dari hadapan Raline bisa membuat Raline bahagia, maka Basti akan melakukannya. Walau dia sendiri belum yakin dengan apa yang akan dia lakukan di Makassar nanti, karena sebelumnya Basti memang belum pernah ke sana. Dan alasan yang membuat Basti memilih Makassar sebagai tujuan persinggahannya, karena di sana dia memiliki kerabat yang bisa dia jadikan tumpuan hidup, sebelum dia benar-benar mendapat pekerjaan.
Basti, kini sudah berdiri di depan sebuah pintu rumah sederhana milik seorang pensiunan pegawai negeri. Ini adalah rumah salah seorang pengasuh Basti sewaktu dirinya masih kecil. Basti biasa memanggilnya dengan panggilan aunty Kisyan. Dia orang hindustan yang menikah dengan seorang pegawai negeri asal Indonesia dan kini menetap di Makassar.
Kisyan sudah dianggap seperti Ibu Angkat oleh Basti. Hanya saja, sejak Kisyan pindah ke Makassar, mereka memang sudah tak pernah bertemu lagi.
Basti sudah memencet bel lima kali, tapi pintu itu belum juga di buka. Hingga akhirnya dia memilih untuk mengirim sebuah pesan singkat kepada si pemilik rumah.
"MasyaAllah, Bastian? My Son..." ucap seorang wanita setengah baya yang baru saja keluar dari rumah begitu dia mendapati pesan masuk dari Basti. Kini, ke dua orang itu terlihat berpelukan. Kisyan bahkan sempat menangis, tapi air matanya langsung di seka oleh Basti.
"Maaf, tadi Aunty sedang memasak di dapur, jadi nggak mendengar suara bel berbunyi. Ayo masuk, Nak,"
Basti mengikuti langkah Kisyan dan mulai memasuki rumah minimalis itu. Kondisi rumah sangat rapi dengan semua perabotan yang tertata apik.
"Om Basti?" teriakan seorang bocah perempuan dari arah dapur mengalihkan perhatian Basti.
"Hai Ganesha? Wah, kamu sudah besar sekarang?" pekik Basti yang meraih bocah berusia tujuh tahun itu ke dalam gendongannya. Dia memutar tubuh mungil Ganesha di udara hingga bocah itu berteriak kegirangan.
"Iya, dong Om. Ganeshakan udah masuk SD tahun ini," Ganesha tercengir lebar.
"Belajar yang rajin ya biar jadi kayak Papa, pengusaha plus pegawai negeri," nasehat Basti pada Ganesha. Dia mengelus puncak kepala Ganesha dengan sayang. Baginya, Ganesha sudah dia anggap seperti adik kandungnya sendiri.
"Ah, nggak mau! Kalau udah besar, Ganesha mau jadi artis terkenal. Ganesha mau ikut Om Basti tinggal di Jakarta,"
"Hus! Kalau ngomong sembarangan! Jadi artis itu nggak enak, Nesha. Mau kemana-mana susah, ribet, banyak yang minta foto," sambung Kisyan mengomentari. Wanita itu kembali menyibukkan diri di dapur.
"Biarin. Kata Bunda, dulu Tante Helen artis terkenal? Ganesha juga mau jadi kayak Tante Helen, Ganeshakan cantik, pasti nanti yang nge-fans sama Ganesha banyak, termasuk Om Basti," bocah itu tetap bersihkeras dengan cita-citanya.
Basti tertawa pelan melihat tingkah Ganesha. Bocah perempuan itu semakin terlihat menggemaskan sekarang. Bicaranya pun semakin pintar.
"Ya udah, nanti Om Basti ajak Ganesha ke Jakarta, kapan-kapan,"
Ganesha tersenyum senang. Dia kembali sibuk dengan boneka-boneka barbienya.
Basti berjalan menghampiri Kisyan di dapur. Dia melongok pada makanan yang sedang di buat oleh mantan pengasuhnya itu. Opor ayam.
"Karena tahu kamu mau ke sini, makanya Aunty masak opor ayam kesukaan kamu, Nak."
"Duh, Basti jadi lapar, Aunty,"
"Sabar, sebentar lagi matang, ayamnya biar empuk dulu,"
Basti manggut-manggut. Dia berjalan ke arah lemari es dan mengambil sebotol minuman dingin.
Meski Kisyan dan Basti tidak memiliki hubungan persaudaraan sedarah, tapi Basti maupun Kisyan sudah saling menerima seperti layaknya keluarga sendiri. Tak ada kecanggungan apapun di antara mereka. Bahkan Basti menganggap rumah Kisyan sebagai rumahnya sendiri. Seperti halnya Helen, Ibunya yang juga sudah menganggap Kisyan seperti adik kandungnya sendiri. Hubungan mereka masih terjaga dengan baik sampai saat ini. Sebab, dulu Kisyan bekerja lumayan lama di rumah Basti. Bahkan sejak Basti belum lahir, Kisyan sudah bekerja di sana. Jadi, bisa dibilang seluruh masalah keluarga Basti, Kisyan mengetahuinya.
"Nih, udah jadi opor ayamnya, silahkan dinikmati," Kisyan menghampiri Basti di meja makan dengan semangkuk opor panas, tak lupa dia pun menyendokkan nasi untuk bayi besarnya itu.
Tanpa bersuara, Basti menyantap hidangan itu dengan lahap.
Senyum di wajah Kisyan terus terbentang melihat cara Basti makan. Kelihatan sekali kalau pemuda itu sangat kelaparan.
"Bas, Aunty dengar, sudah hampir satu bulan belakangan ini kamu tidak tinggal dengan ibumu lagi? Ada apa Bas?" tanya Kisyan memulai percakapan. Mereka kini duduk berhadapan di meja makan.
Basti tidak menjawab. Mendadak selera makannya hilang. Lelaki itu mengelap sudut mulutnya dengan tissue dan meraih segelas air bening di meja, lalu meminumnya.
"Kalau kamu ada masalah, ceritakan pada Aunty. Aunty inikan Ibumu juga. Aunty tahu, kamu sedang bertengkar dengan ibumukan sekarang?" ucap Kisyan lagi, bola mata wanita itu tampak berkaca-kaca. Entah kenapa, Kisyan mendadak sedih ketika ingatannya harus kembali tertuju pada kisah yang diceritakan Helen tentang masalah yang sedang membelit Basti saat ini.
Basti sudah selesai dengan santapannya. Dia tersenyum ke arah Kisyan yang terus memperhatikannya sejak tadi. Dia meraih punggung tangan Kisyan di atas meja dan mengusapnya perlahan. Pandangan mereka kini saling beradu. Basti merasa nyaman berada di dekat Kisyan. Tatapan hangat wanita itu seolah membuat hati Basti merasa lebih tenang.
"Apa kamu benar-benar mencintai wanita bernama Raline itu, Bas?" suara lembut Kisyan kembali terdengar. Setelah beberapa pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban pasti dari Basti. Kisyan sudah sangat paham sifat Basti di luar kepala. Basti itu memang di kenal pendiam, penyendiri dan tidak mudah bersosialisasi. Basti lebih banyak memendam apa-apa yang dia rasakan daripada mencurahkannya kepada orang lain. Termasuk kepada Ibunya sendiri.
Kesibukan Helen yang lebih sering menghabiskan waktunya mengejar karir jelas sangat mempengaruhi perkembangan mental Basti sebagai seorang anak yang dibesarkan tanpa seorang ayah.
Sesungguhnya, Basti hanya kesepian. Dia hanya butuh kasih sayang dan perhatian. Itu saja.
"Iya Aunty. Basti sangat mencintai Raline. Dia satu-satunya wanita yang menjadi alasan Basti tersenyum semasa Basti SMA dulu. Aunty tahu, apa alasan Basti pada akhirnya bisa lulus ujian dengan nilai bagus setelah dua tahun berturut-turut Basti tidak naik kelas di SMA?" akhirnya Basti bersuara.
"Karena Ralinekah?" Kisyan berusaha menerka.
Basti tersenyum lebar dan mengangguk. Menampilkan gigi-gigi putihnya yang rapi. Sebuah senyuman yang begitu indah dipandang mata.
Laki-laki setampan Basti, pasti banyak sekali wanita di luar sana yang tergila-gila padanya.
Kisyan mulai berasumsi.
"Selama ini dalam hidup Basti, hanya ada Raline. Tak ada yang lain. Basti hanya mencintai Raline, Aunty," ucap Basti tulus. Meski terdengar nada keputusasaan dalam kalimat itu, Kisyan bisa merasakannya.
Kisyan benar-benar tidak menyangka, jika kenyataannya Basti kini menjelma menjadi sosok laki-laki yang tulus dalam mencintai seseorang. Mungkin faktor kesepian dan keterdiamannya itu yang membuat Basti tak banyak bergaul dengan orang kebanyakan. Namun hal itu justru memunculkan sisi kelelakiannya sebagai seorang pria sejati. Bukan seorang pria brengsek yang bisanya hanya mempermainkan hati wanita.
Kisyan sungguh terkagum-kagum pada sosok Basti. Jagoan kecilnya yang dulu seringkali dia timang-timang dan dia ninak bobokan dalam pelukannya, kini sudah menjelma menjadi seorang laki-laki gagah bak pangeran di negeri dongeng. Sempurna.
"Kalau begitu kenyataannya, Aunty sependapat dengan Ibumu. Jika kamu memang tulus mencintai Raline, mustahilkan kamu memperkosa Raline?" Kisyan pikir, pembicaraan ini harus segera di selesaikan. Sebelum Basti berubah pikiran dan memilih untuk kembali diam. Itulah sebabnya, Kisyan langsung memilih topik tentang kejadian pemerkosaan itu. Seperti apa yang telah diceritakan Helen kepadanya.
Berita tentang pemerkosaan itu membuat Kisyan sempat shock selama seharian penuh. Kisyan yakin itu tidak benar. Basti tidak mungkin melakukan hal sekotor itu. Semua itu pasti fitnah. Pikir Kisyan sebelumnya.
Bahkan Kisyan sempat satu pemikiran dengan Helen yang curiga pada Raline telah berbuat licik dengan menjebak Basti. Namun, pikiran Kisyan tidak sedangkal dan secetek Helen yang selalu menilai sesuatunya melalui materi. Kisyan lebih paham sifat Basti daripada Helen sendiri selaku ibu kandung laki-laki setengah bule itu. Apalagi sekarang Basti sudah mengakui tentang perasaannya terhadap Raline. Dan hal itu cukup menjadi bukti kuat bagi Kisyan, bahwa bukan Basti pelaku pemerkosaan terhadap Raline.
"Basti sendiri masih bingung dengan kejadian itu, Aunty. Semua hal yang terjadi malam itu benar-benar masih abu-abu dalam benak Basti," ucap Basti apa adanya. Kali ini, dia tidak mau menyembunyikan hal apapun lagi. Mungkin dengan begini, hatinya bisa sedikit lebih lega. Basti tahu bahwa dirinya butuh teman untuk di ajak bicara.
"Kalau begitu, ceritakan pelan-pelan pada Aunty, bagaimana kronologi kejadian malam itu?"
Hingga setelahnya, Basti pun mulai menceritakan segalanya. Insiden pemerkosaan terhadap Raline yang terjadi kurang lebih tiga bulan yang lalu.
*
Basti menghempaskan tubuhnya di atas ranjang tempat tidur mewah di dalam sebuah kamar hotel berbintang lima. Senyum terus mengembang di wajahnya. Saat itu, dia sengaja menyewa dua kamar tidur yang letaknya bersebelahan. Satu untuknya dan satu lagi untuk seorang wanita spesial. Pujaan hatinya yang malam ini akan berulang tahun yang ke 24.
Bayu Dharmawangsa. Anak baru asal Bandung yang meraih beasiswa di sekolah mereka. Sosok Bayu yang tampan, genius, ramah dan pandai bergaul jelas menarik perhatian banyak kaum hawa di sekolah mereka. Namun sayangnya, Bayu itu berasal dari kalangan keluarga tidak mampu, hingga dia beberapa kali mendapat bullyan dari siswa-siswa laki-laki yang dengki padanya akibat merasa kalah pamor di sekolah. Dan Raline lah satu-satunya cewek di sekolah yang berani membela Bayu, karena menurutnya, Bayu dan dia sama. Mereka sama-sama siswa peraih beasiswa di SMA TADIKA yang merupakan SMA favorit kelas internasional, dimana siswa dan siswinya memang rata-rata berasal dari keluarga terpandang.
Jadilah, Bayu saingan utama Basti dalam merebut hati Raline saat itu. Dan itulah sebabnya, Basti yang dikenal berandal dan seringkali bolos sekolah jadi tertantang untuk belajar lebih giat supaya dirinya tidak tinggal kelas lagi dan tidak terpisah dari Raline.
Setelah mereka lulus, Bayu di terima kuliah di luar negeri. Sementara Raline harus memendam kecewa karena dia tidak seberuntung Bayu. Hingga akhirnya, dia pun memilih untuk bekerja di Jakarta. Sebab, Raline belum memiliki uang untuk biaya kuliah.
Dan sejak saat itu, kedekatan Basti dan Raline terus terjaga dengan Baik.
Hingga malam itu tiba, di mana Basti berniat menyatakan cintanya pada Raline.
Hal yang terakhir Basti ingat malam itu adalah, dirinya sudah rapi dengan setelan jas hitamnya. Basti menunggu kedatangan Raline cukup lama di rofftop. Padahal terakhir mereka berbalas pesan sudah tiga jam yang lalu. Saat itu Raline mengatakan bahwa dirinya sedang dalam perjalanan menuju hotel. Harusnya, satu jam sudah cukup untuk waktu tempuh yang Raline lalui dalam perjalanan menuju hotel.
Basti yang mulai gelisah memutuskan untuk menelefon Raline. Tapi sayang, hingga panggilan yang ke 10 Raline tak kunjung menjawab panggilannya.
Basti mulai dirundung cemas. Pasalnya hingga hampir tengah malam, Raline tak kunjung datang dan memberi kabar juga. Ketika Basti hendak meninggalkan rofftop untuk mengetahui keadaan Raline dan bermaksud mengecek keberadaan Raline di kediamannya, Basti menerima pesan masuk dari Raline yang mengatakan bahwa kini Raline sedang menunggunya di kamar hotel yang Basti pesan untuk mereka. Raline bilang dalam pesan itu, dia sudah menunggu Basti di sana sejak dua jam yang lalu.
Basti berdecak kesal. Padahal dia sudah mengkonfirmasi pada petugas hotel jika ada tamu yang mencarinya bernama Raline langsung di antar ke atas rofftop. Bahkan Basti sudah membayar mahal pada salah satu bellboy yang dia suruh menunggu kedatangan Raline dan mengantar Raline ke atas. Basti benar-benar kecewa pada pelayanan hotel itu. Hingga dia pun marah-marah di bagian recepsionis.
Lalu setelahnya, dia kembali mengingat si bellboy itu datang dan terus memohon maaf pada Basti atas ketidaknyamanan yang terjadi menimpanya malam itu. Merasa kecewa sekaligus kesal, Basti pun beranjak naik melalui lift menuju kamar hotel yang sebelumnya telah dia pesan untuk Raline.
Nyatanya, kamar itu kosong. Tak ada siapapun di sana.
Basti bertambahf naik pitam. Lelucon apa ini? Pikirnya malam itu. Raline justru malah mempermainkannya malam ini. Basti yang sudah terlanjur kesal akhirnya memilih untuk kembali ke dalam kamar hotelnya dan dia pun tertidur di dalam kamar itu. Sendirian.
Dia ingat, dia sendirian masuk ke dalam kamar hotel itu.
Lantas, yang membuat Basti kembali bertanya-tanya, saat keesokan paginya dia terbangun, nyatanya Raline tengah tertidur bersama dengan dirinya di dalam kamar yang sama.
Dan saat itu keadaan mereka sama-sama dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun menempel di tubuh mereka. Hanya selimut putih tebal yang menutup tubuh bugil mereka yang tertidur dalam posisi saling berpelukan.
Basti terkejut setengah mati. Bahkan keterkejutan itu tidak berhenti sampai di situ. Basti kembali dibuat terperangah hebat, saat dia mendapati bercak darah di seprai dan selimut tebal yang mereka gunakan.
Di tengah kekalutannya, Basti terus menerus mencoba untuk mengingat apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
Hingga pada saatnya, Raline pun ikut terbangun.
Bastian DirgantaraSetelah keluar dari terik matahari yang membakar diri, aku tergelincir jatuh dari tempatku bernaung sebelum ini.Tempat di mana pertama kalinya kita bertemu.Saat itu, waktu seolah berhenti di sana.Aku masih berjalan pada jalur yang sama. Aku masih memandang pada titik yang sama.Langit di tepi pantai ini.Saat aku melihatnya lebih dalam, Langit itu melebur dan berubah menjadi kaca. Tapi setelahnya langit itu membeku dan berubah menjadi sebuah cermin.Langit itu membentuk bayangan wajahmu.Raline Septia Wulandari...Hanya wajahmu, tak ada yang lain.Aku memang berpura-pura telah melupakanmu selama ini, semua itu aku lakukan demi Stella, demi Aksel.Tapi sekarang, aku kembali sendirian. Tanpa mereka. Aksel m
"Bu, ayo dong Bu, cepetan! Ibu lama banget nih dandannya! Kita udah kelaperan tau, Bu..." panggil Delisha yang begitu bersemangat saat dia tahu sang Kakak Devano, mengajaknya ke resort yang dulu pernah jadi milik mereka. Katanya sih mau di undang makan malam sama orang kaya gitu. Terus ikutan nimbrung acara bakar ayam di tepi pantai. Pasti seru banget deh!"Aduh... Ibunya Devano udah kayak Abg aja deh, dandan pake lama daritadi, nanti kita keburu kehabisan makanannya, Bu," kali ini Devano yang protes. Pasalnya, dia sudah mati pegal daritadi harus gendong rindu yang nggak mau di taruh sama sekali."Iya, sabar... Nggak enakkan kalo dateng ke acara resmi Ibu keliatan kucel," Raline mempercepat kegiatan make upnya. Merapikan posisi pakaiannya sekali lagi, barulah setelah itu dia keluar dari dalam kamar.Devano sempat terpana melihat penampilan sang Ibu yang tidak seperti biasanya. Devano memang tidak memungkiri lagi, baginya, Raline adalah wanita tercantik di dunia.
Devano pulang ke rumah dengan wajah sumringah. Nyeri di sekujur tubuhnya seolah tak lagi dia rasa karena saat ini dia pulang dengan membawa berita gembira."Assalamualaikum, Bu, Ibu... Devano pulang, Bu..." teriaknya seraya berlari kecil ke dalam rumahnya yang terbilang sangat sederhana."Asik, Mas Dev bawa makanan," seru Delisha salah satu adik Devano. Delisha dengan sigap merogoh ke dalam kantong plastik yang di bawa sang Kakak. Dia terlihat sangat gembira."Ibu mana, Dek?" tanya Devano pada Delisha saat tak di dapatinya sang Ibu. Sementara ke dua adiknya yang lain, Rania yang baru berumur empat tahun dan Rindu yang berumur dua tahun, terlihat sedang tertidur pulas di kamar."Tadi, Pak De Kahfi ke sini jemput Ibu, katanya sih mau ajak Ibu ke rumah sakit, perginya buru-buru banget, terus Ibu titip Rania sama Rindu ke Delisha. Untung Rindu nggak rewel. Delisha cape daritadi, jagain mereka, Mas lama banget pulangnya, terus itu muka kenapa coba, biru-biru b
"Jangan bawa saya ke kantor polisi, Om. Kasihan Ibu di rumah, Om..." tangis bocah itu terdengar miris. Mengiris hati Basti."Sekarang, kamu tunggu dulu di mobil, Om. Om urus dulu masalahmu dengan orang-orang ini di dalam ya?"Basti mengajak bocah itu memasuki mobilnya di mana Aksel dan Keyra tengah menunggunya di dalam. Dan setelah itu, Basti beranjak kembali menuju resort tadi."Iyyuuuwwhh bauuu! Papah apa-apaan sih? Sampah dibawa masuk ke mobil! Idih!" Keyra berteriak dengan ekspresi jijiknya yang kelewat lebay. Dia menggerutu sendiri dan memilih keluar dari dalam mobil. Aksel pun jadi ikutan keluar. Masalahnya mereka sedang di pinggir jalan raya."Keyra, nggak boleh bicara seperti itu! Ayo masuk lagi, bahaya ini pinggir jalan," ajak Aksel yang mencoba menarik tangan anaknya untuk kembali masuk ke dalam mobil.Keyra menepis kasar tangan sang Bunda. Dia cemberut dan
Delapan tahun berlalu.Semua berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan.Keyra tumbuh menjadi anak yang cantik, manis, pintar, enerjik dan sangat menggemaskan.Aksel menjelma menjadi sosok ibu yang baik dan sangat feminim. Dan hal itu jelas membuat Basti semakin tergila-gila padanya."Kenapa sih, liburan sekolah tahun ini kita cuma ke Jogya? Biasanya juga keluar negeri," gerutu Keyra di jok belakang. Bibir mungilnya terus cemberut di sepanjang perjalanan. Dia memilin kepang kudanya seraya memeluk boneka teddy bear coklat kesayangannya, yang dia beri nama, Devano, sama seperti nama aktor tampan asal malaysia, sahabat Tantenya Anggun, yang sangat dia idolakan."Ke luar negeri kemana lagi sih? Semua penjuru dunia udah kita datenginkan? Sekali-sekali kita liburan di dalam negerikan nggak apa-apa, cantik... Sekalian Papah bisa membantu meringankan pekerjaan Om Bayu,"
Hari berganti. Musim berubah. Waktu berputar pada porosnya. Detik demi detik berlalu. Menyisakan asa pilu yang menggerogoti diri pun mengikis nurani. Penyesalan itu pun datang kian bertubi-tubi.Laki-laki itu tetap diam tanpa kata. Tetap dengan tatapannya yang kosong dan menerawang jauh ke depan.Tubuhnya terlihat lebih kurus, wajahnya tirus dan tidak terawat, hingga di tumbuhi janggut-janggut tebal yang tumbuh tak beraturan di seputaran dagunya. Sinar bola mata coklat maroon itu meredup tak bercahaya bahkan selalu terlapisi oleh cairan bening yang berkaca-kaca. Rambutnya yang awut-awutan dan sudah memutih, terlihat seperti sarang burung yang kotor.Laki-laki itu terdiam dalam duduknya yang tepekur di lantai, di dalam sebuah panti rehabilitasi khusus lansia pengidap gangguan jiwa. Dia terlihat mengukir sebuah nama di lantai itu menggunakan jari telunjuknya.BASTIAN, anakku...Satu titik air matanya jatuh tanpa mampu lagi dia tahan.*