Satu bulan kemudian...
Kisah Raline
Satu bulan belakangan cukup menjadi waktu yang panjang bagi Raline melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Saat dirinya harus terpaksa berlelah diri mencari pekerjaan dalam keadaan hamil muda.
Bahkan tanpa adanya peran suami di sisinya.
Namun, semua ini terjadi atas kehendak Raline sendiri. Meski terkadang, ada saatnya dia merasakan kerinduan menusuk relung hatinya yang terdalam.
Basti telah benar-benar mengabulkan permintaan Raline untuk menghilang dari pandangannya. Laki-laki itu pergi bahkan tanpa dia berpamitan pada Raline.
"Lin, Raline?" teriak Rani dari luar rumah. Wanita setengah baya itu terlihat berlari tergesa-gesa ke dalam rumah setelah dia menerima kiriman barang dari layanan pengiriman barang. Sebuah benda yang tersimpan rapi di dalam amplop coklat yang dililit lakban.
"Ini ada kiriman untuk kamu. Coba lihat dulu, kayaknya itu uang, Lin," ucap Rani lagi. Sepertinya dia sangat penasaran.
Raline membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya.
Dan benar saja tebakan Rani, bahwa di dalam amplop itu berisi sejumlah uang yang lumayan banyak. Serta beberapa lembar kertas.
Raline mengambil kertas-kertas itu dan melipatnya sebelum Rani sempat melihat. Raline menaruh sejumlah uang itu di atas meja dan berlalu dari hadapan ibunya. Wanita itu masuk ke dalam kamarnya.
Dia membuka lembaran kertas yang berisi tulisan tangan seseorang, yang dia yakini, itu adalah tulisan Basti.
Teruntuk Raline...
Hai Lin, apa kabar?
Semoga kamu dan bayi kita sehat dan selalu berada dalam lindungan-Nya.
Sesuai dengan kesepakatan kita malam itu, setelah satu bulan kepergianku, aku akan mengurus segala hal yang menyangkut perceraian kita.
Dan aku akan terus mengirimimu uang setiap bulan seperti janjiku sebelumnya, bahwa aku akan membiayai kuliahmu. Aku akan tetap bertanggung jawab untuk menafkahimu. Aku akan mengganti seluruh uang Bapak dan Ibu yang telah mereka keluarkan untuk biaya pernikahan kita. Dan aku akan tetap menafkahi anak kita jika dia lahir nanti.
Aku tak akan lari dari tanggung jawabku sebagai seorang Ayah.
Sekarang, aku sudah mendapat pekerjaan yang penghasilannya cukup besar dan itu semua aku dapatkan dari hasil jerih payahku sendiri.
Aku titip salam untuk Bapak dan Ibu, juga Kiara.
Sampaikan maafku pada mereka.
Dan untuk yang terakhir kalinya, aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mencintaimu...
Jaga dirimu baik-baik. Jaga kandunganmu. Jangan bekerja terlalu berat.
Maafkan aku, Lin...
Maaf atas segala ketidakberdayaanku selama ini. Maaf atas semua kesedihan dan air matamu yang terbuang sia-sia karena ulahku.
Maaf atas penderitaan yang telah aku berikan sebab ulahku.
Maafkan aku, Lin.
Maafkan, aku...
Selamat tinggal...
Basti.
Tanpa sadar, air mata menetes dari kelopak mata Raline.
Entah apa yang kini dia rasakan dalam hatinya. Bukankah harusnya dia senang? Bukankah memang ini yang dia mau? Tapi, mengapa rasanya sangat menyakitkan?
Raline sendiri sudah tak mampu menghitung lagi, entah sudah berapa banyak waktunya yang terbuang hanya untuk memikirkan Basti. Berharap suatu hari nanti cintanya akan terbalas dengan indah. Entah sudah berapa banyak waktunya yang terbuang hanya untuk menunggu laki-laki itu menyatakan perasaannya. Sepertinya sudah terlalu lama hingga Raline mati rasa. Dan di tengah penantian itu nyatanya hanya luka yang mampu dia toreh di sana. Di hati Raline.
Kini, Raline masih di sini. Berusaha merawat luka yang Basti tinggalkan sendirian. Tanpa ada yang tahu, terkadang diam-diam Raline masih merindukan sosok itu. Bahkan air matanya masih suka menetes tanpa sebab yang pasti, setiap kali pikirannya kembali di penuhi oleh kenangan-kenangan indah semasa mereka SMA dulu. Saat satu-persatu kisah manis itu kembali bermunculan dalam ingatan. Dulu, semua terasa indah bagi Raline. Dulu, Basti adalah satu-satunya laki-laki yang mampu melukis senyuman di wajahnya. Hingga setelahnya laki-laki itu sendiri yang menghancurkan kepercayaannya. Meluluhlantahkan perasaan yang Raline miliki untuknya.
Seandainya kamu tahu Basti, bahwa aku lelah. Aku lelah seperti ini. Lelah dengan perasaanku sendiri. Nyatanya, membohongi diri sendiri pun perasaan yang tertanam di dalam hati itu sungguh menyiksa. Aku juga ingin merela tanpa membenci. Sama seperti dirimu yang kini bisa pergi, bahkan setelah melukai.
Melukai, hatiku.
Menghancurkan impianku.
Masa depanku.
Raline melipat kertas itu dan menyimpannya di laci meja belajarnya.
Kini, dia bisa memulai titik awal kehidupannya yang baru.
Tanpa perlu takut terbayang oleh masa lalu.
***
Kisah Basti
Basti tersenyum saat dirinya sedang menatap wajah Raline yang tersimpan rapi di dalam memori ponselnya.
Di sudut mana lagi aku bisa menemukan senyuman semanis ini?
Senyuman yang hanya bisa aku nikmati dalam sebuah gambar yang tak bergerak, serta pada tatapan mata yang tak saling pandang. Nyatanya, mulai detik ini, aku hanya mampu menjumpaimu dalam gawai yang kupegang.
Seandainya waktu bisa diputar ulang, ingin rasanya Basti kembali pada masa di mana semuanya belum menjadi serumit ini. Ingin rasanya Basti berada pada satu ketetapan masa di mana dirinya dan Raline bisa terus melalui hari-hari indah bersama. Tepatnya, masa-masa SMA mereka dulu.
Di saat mereka masih bisa terus bertatap muka dan mencurahkan segala apa yang di rasa melalui suara. Masih bisa tertawa lepas bersama. Saling menggenggam jemari satu sama lain. Dan saling menguatkan di saat sedih.
Sungguh, Basti rindu saat-saat itu.
"Basti! Basti! Woy Basti!!!" teriak Aksel dari luar kamar ganti. "Haduhh, lama banget sih nih orang!"
"Eh! Ngapain lo masuk-masuk?" teriak Basti yang langsung menutupi tubuhnya dengan handuk. Dia baru saja hendak mengganti kostumnya untuk melanjutkan sesi foto dan jadi terkejut saat melihat Aksel yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruang ganti.
"Lo nya aja yang budeg! Gue udah teriak-teriak dari luar nggak denger-denger! Lagi liatin apa sih lo serius banget mantengin Handphone? Nonton bokep lo ya?" omel Aksel yang kesal dengan tingkah Basti.
"Enak aja lo kalo ngomong! Udah sana keluar, gue mau ganti baju nih!" perintah Basti dengan tampang juteknya. Dia mengibas-ibaskan tangannya mengisyaratkan agar Aksel cepat-cepat hengkang dari hadapannya. Bisa bahaya kalau Aksel sampai melihat apa yang tidak seharusnya dia lihat.
"Yaelah, lo pikir gue nafsu sama punya lo! Sorry ya, gue nggak tertarik sama yang lonjong-lonjong!" pekik Aksel dengan gaya khas kelelakiannya. Dia melempar senyum miring dan melirik genit ke arah pangkal paha Basti yang terhalang handuk.
"Oh, oke!" Basti yang merasa tertantang justru melepas handuknya dengan sengaja. Bahkan tanpa rasa malu. Di hadapan Aksel.
Dan reaksi wanita tomboy itu benar-benar diluar dugaan yang Basti pikirkan sebelumnya.
Dengan santai Aksel hanya memandang tanpa ekspresi berarti ke arah Basti. Dia mengamati tiap jengkal tubuh Basti yang kini hampir polos dihadapannya. Sebab laki-laki itu hanya mengenakan celana dalam bermerk crocodile yang menutupi area sensitifnya.
"Udah? Segitu doang?" ucap Aksel datar. Dia melipat ke dua tangannya di depan dada.
Basti melongo dan terdiam beberapa saat. Matanya menyipit menatap aneh ke arah Aksel. Hingga setelahnya dia hanya menggelengkan kepala seraya tertawa hambar.
Basti mulai mengenakan pakaiannya. Dia terlihat sedikit kebingungan, walau dari ekspresinya masih terlihat cuek. Sebab, dia sudah tahu sejak awal, mengenai selentingan kabar miring tentang Aksel. Tapi, sebagai seorang laki-laki normal, Basti jelas membutuhkan pembuktian. Nyatanya, wanita ini memang benar-benar aneh. Sepertinya, dia memang serius memiliki kelainan. Pikir Basti, heran.
Selama satu bulan belakangan, setelah Basti menyanggupi persyaratan yang di ajukan Aksel untuk menandatangani kontrak sebuah film di mana Basti akan berperan menjadi tokoh utama, Basti dan Aksel menjadi semakin dekat satu sama lain. Bahkan terkadang mereka hampir menghabiskan waktu seharian penuh hanya berdua.
Sebagai seorang Casting director, Aksel jelas bertanggung jawab penuh bagi keberhasilan akting Basti. Jadilah Aksel bekerja keras mendidik Basti, menjadi seorang guru privat, memberi pengarahan mengenai apa-apa yang perlu di pelajari bagi seorang aktor pemula.
Awalnya, Basti sempat ragu, tapi saat Aksel mengiming-iminginya dengan sejumlah uang yang nilainya sangat fantastis, jelas Basti langsung tertarik. Biar bagaimanapun, Basti tidak mau munafik, dia memang membutuhkan banyak uang untuk mengganti seluruh biaya pernikahannya dengan Raline, membantu kesulitan keuangan Ibu dan Bapak mertuanya, serta membayar biaya kuliah Raline dan biaya check up kehamilan Raline.
Mungkin dengan begitu, Basti bisa mengurangi beban perasaan bersalahnya terhadap Raline.
Meski, ada satu hal yang masih terasa berat baginya saat ini, yaitu kenyataan bahwa dirinya dan Raline akan segera bercerai. Sesuai kesepakatan yang telah mereka buat tepat satu hari sebelum keberangkatannya ke makassar.
Kini, Basti hanya bisa berharap untuk kebahagiaan Raline.
Itu saja.
"Ye.. Nih orang malah bengong lagi! Gue timpuk juga lo pake sendal! Itu fotographernya udah nungguin!" kali ini tidak hanya berteriak, namun Aksel malah menendang kaki Basti, hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan.
Basti pun mempercepat aktifitasnya dan beranjak ke ruang make up untuk memperbaiki riasannya.
Sungguh, dia tidak pernah bermimpi sebelumnya, dia akan bergelut di dunia hiburan tanah air.
Bahkan jauh di lubuk hatinya yang terdalam Basti tidak pernah menginginkan hal ini.
Proses syuting yang tidak mengenal waktu. Sesi pemotretan. Menjadi bintang tamu di sebuah acara televisi, pun menjadi bintang sebuah iklan. Jadwal Basti kini benar-benar padat.
Bahkan hanya dalam waktu satu bulan, Basti kini sudah mampu mencicil sebuah mobil.
Dan tentunya, semua itu membutuhkan perjuangan yang tidak mudah.
***
Kisah Bayu
Detik berganti menit. Menit berganti jam, dan Jam berganti hari.
Waktu yang terasa panjang dan melelahkan bagi seorang Bayu Dharmawangsa, saat dirinya harus disibukkan dengan masalah skripsi, mencari uang dan hal-hal lain yang terkadang membuatnya merasa ingin menyudahi ini semua.
Perjalanan panjang yang begitu pahit dan perjuangan yang tak mengenal kata lelah, yang telah dia tempuh demi satu tujuan, yaitu merubah kehidupan ke arah yang lebih baik di masa depan. Hidup susah sejak kecil membuat Bayu cukup merasa frustasi. Meski, semua beban itu sanggup dia simpan sendirian tanpa pernah dia tunjukan dihadapan orang lain. Pun termasuk Bapak dan Ibunya sendiri. Karena Bayu hanya tidak ingin menunjukkan sisi kelemahannya pada siapapun.
Obsesi dan ambisinya justru mampu mengalahkan segala bentuk kelemahan dan kekurangan yang dia miliki.
Bayu merasa terlalu sempurna untuk sekedar di sakiti. Bayu terlalu sempurna untuk di remehkan. Dia akan tunjukan pada dunia, bahwa setelah kepulangannya ke Indonesia nanti, Bayu bukanlah seorang gembel seperti dulu lagi. Bayu akan menjelma menjadi seseorang yang layak untuk di kagumi oleh banyak orang. Patut di acungi jempol karena semua kelebihan yang dia miliki. Bayu akan memastikan, dia tak akan pernah kalah saing oleh siapapun lagi, seperti yang seringkali terjadi dahulu.
Saat dia jatuh cinta, namun cintanya bertepuk sebelah tangan hanya karena wanita yang dia cintai, justru lebih mementingkan materi. Bayu tak pernah bisa melupakan kejadian itu, bahkan sampai detik ini.
Bayu masih mengingat jelas nama wanita itu.
Wanita yang sudah meluluhlantahkan hatinya hingga hancur berserak. Wanita yang sudah mengoyak harga dirinya hanya karena harta.
Wanita murahan!
Wanita rendah!
Lihat saja nanti, sekembalinya Bayu ke Indonesia, Bayu akan membuat wanita itu bertekuk lutut dihadapannya.
Bayu akan membuat perhitungan pada wanita itu, bahwa tak ada yang bisa mempermainkan hati seorang Bayu Dharmawangsa.
Tak akan!
Bayu membuka sebuah foto di ponselnya. Foto seorang wanita yang sejak delapan tahun belakangan ini terus mengganggu konsentrasi belajarnya.
Jika dibilang rindu, jelas, Bayu sangat merindukan sosok wanita itu. Tapi, hatinya yang terlanjur hancur dan kecewa justru membuat Bayu lebih memprioritaskan harga dirinya daripada perasaannya sendiri.
"Kamu masih ingat padaku kan Lin? Aku Bayu, laki-laki yang dulu sudah kamu tolak cintanya hanya karena seorang laki-laki yang lebih kaya. Besok, aku kembali ke Indonesia, Lin. Aku akan menemuimu. Aku akan memastikan, kali ini, aku tak akan kalah lagi..."
Bayu masih terus berbicara sendiri sambil terus memandangi foto wanita di ponselnya. Tatapan penuh cinta tapi sarat dengan kebencian.
Sampai detik ini, belum ada satu pun wanita sehebat dirimu, yang berhasil mengacaukan hatiku sampai ke akar-akarnya.
Raline Septia Wulandari!
Perjalanan dari London menuju Indonesia cukup melelahkan.Seorang laki-laki berperawakan tinggi menjulang dengan kostum santai ala ABG kekinian terlihat berjalan keluar dari arah pintu kedatangan luar negeri. Dia menarik kopernya perlahan ke arah luarBandara Soekarno Hatta.Empat tahun ternyata cukup membuatnya merasa asing dengan tanah airnya sendiri. Kehidupannya yang serba bebas di London cukup menjadikannya pribadi yang berbeda.Dia bukan laki-laki sepolos dulu yang bahkan tidak tahu rasa dan caranya berciuman.Dia bukan laki-laki selugu dulu yang kesehariannya hanya dia habiskan untuk belajar dan berkutat mencari uang di jalanan.Dia bukan laki-laki sebodoh dulu yang cuma bisa menangis saat hatinya tersakiti karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan.Kini, dia adalah seorang laki-laki dengan segala kepribadian yang sempurna. Bermodalkan gelar master yang dia peroleh saat ini, dia percaya bahwa hidupnya akan berubah seratus delapa
Malam ini, Rani dan Ibnu sungguh di buat terkejut dengan kepulangan Basti ke rumah setelah hampir satu bulan lebih laki-laki itu berpamitan untuk mencari pekerjaan ke luar kota.Kedatangan Basti di sambut baik oleh ke dua Ibu dan Bapak mertuanya. Malam itu, Basti membawa banyak barang belanjaan sebagai buah tangan untuk seluruh keluarga Raline. Meski, kedatangannya kali ini hanya untuk mengantar sebuah berita buruk.Surat perceraiannya dengan Raline sudah di tangan, namun belum dia tanda tangani. Entah kenapa, rasanya berat sekali bagi Basti untuk melepaskan Raline. Dia tidak perduli jika dia harus di anggap sebagai seorang laki-laki yang telah ingkar janji, tapi Basti terus berpikir dan mencari cara untuk memecahkan masalah ini tanpa harus ada kata cerai. Hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk pulang.Sebelum Basti benar-benar menandatangani surat itu, ada baiknya dia kembali memastikan apa Raline masih tetap pada keputusannya untuk bercerai, atau mungkin ada se
"Aku ke sini cuma mau mengantar surat perceraian kita, Lin..." ucap Basti memecah keheningan yang tercipta di antara dirinya dan Raline sejak lima belas menit yang lalu, sekembalinya sang istri dari kamar mandi.Suasana kian terasa semakin canggung, persisnya setelah insiden tadi. Sebuah insiden yang hampir saja membuat Basti kehilangan kendali dan lepas kontrol, karena saking takjubnya melihat pemandangan indah yang terpampang jelas didepan mata kepalanya sendiri. Sebuah ketidaksengajaan yang memanjakan mata dan menyegarkan pikiran."Tapi aku belum menandatangani berkas itu. Dan alasan aku datang ke sini malam ini, aku cuma mau memastikan lagi, apa iya kita ini memang harus bercerai Lin? Apa nggak ada jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah kita selain bercerai?" lanjut Basti lagi. Dia mulai mengutarakan niat utamanya kenapa dia kembali mendatangi rumah Raline. Sungguh
Raline tahu saat kejadian pemerkosaan itu dirinya tidak benar-benar kehilangan kesadaran. Dia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski samar. Dia masih bisa melihat meski hanya dalam bayang-bayang. Terlebih dia bisa merasakan, saat sesuatu tengah merobek liang senggamanya secara paksa. Menyiksanya tanpa ampun dengan hentakan-hentakan kasar dan penuh keberingasan. Tanpa mereka perduli dengan rintih kesakitan yang terus di teriakan oleh Raline. Suaranya yang sangat pelan jelas tak mampu menyaingi bunyi berisik di dalam ruangan bercahaya redup itu. Dan pada akhirnya, hanya air matalah yang menemani. Seiring berjalannya waktu yang saat itu terasa sangat panjang bagi Raline. Sampai pada saatnya, Raline merasa tubuhnya kehilangan tenaga dan semakin melemah. Hingga setelahnya, Raline benar-benar kehilangan kesadaran dan tak tahu lagi apa yang
"Tato ular..." ucap Raline pelan. Kening Basti mengkerut, apa maksudnya? Tato ular apa? Pikirnya membatin. Basti benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi malam ini. Dan ketidakmengertiannya terus berlanjut saat tiba-tiba Raline bangkit dari pojok kasur dan beranjak mendekat ke arah Basti. "Buka baju kamu, Bas!" perintah Raline dengan nada suara tegas dan serius. Tatapannya lurus ke arah Basti. "Kamu itu kenapa sih Lin? Aku nggak memaksa kamu melakukannya. Kalau kamu memang nggak mau ya udah nggak usah tarik ulur kayak gini!" ucap Basti yang mulai dilanda perasaan kesal. Dia merasa dipermainkan oleh Raline. "CEPET BUKA BAJU KAMU!" teriak Raline lagi. "OKE-OKE, FINE! Tapi kamu jangan teriak-teriak begitu. Nggak enak kalo di dengar orang dari luar," Basti mendengus jengkel. Dia membuka kausnya dan mengedikkan bahu. "Apalagi sekarang?" tanyanya dengan nad
Pagi ini, Bayu bangun lebih awal. Dia tidak ingin terlalu larut dalam pikirannya tentang ketidakadilan yang selama ini dia peroleh. Kini Bayu sudah mulai menerima Helen sebagai Ibu Kandungnya. Pun menyanggupi permintaan Helen untuk mengambil alih seluruh tanggung jawab perusahaan sang Papi, Jonas Michael Dirgantara, untuk di tangani langsung oleh Bayu. Mulai hari ini, Bayu dan Mira sudah tinggal menetap di kediaman Helen. Helen dan Mira sangat terkesima saat melihat penampilan Bayu pagi ini. Laki-laki itu terlihat begitu tampan dengan balutan jas hitam kantornya. Dia berjalan ke arah Mira dan Helen yang sedang sarapan di meja makan. "Morning, beautiful ladies," sapa Bayu dengan senyuman termanis yang dia miliki. Dia mengecup pipi Helen dan Mira sebelum dia duduk untuk bergabung di meja makan. Helen sangat senang dengan perub
"Mih? Mamih? Hellowww..." panggil Bayu yang mengibas-ngibaskan sebelah tangannya di depan wajah Helen. Tak lama Helen pun tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum pada Bayu. "Kok Mamih malah ngelamun, pikirin apa sih Mih?" tanya Bayu lembut. Dia sudah pindah posisi di samping Helen. Bayu menggenggam lembut jemari Helen dan mengusapnya pelan. Seolah memberi support pada Helen untuk tidak terus larut dalam kesedihan. "Jujur, Mamih kangen banget sama Basti, kakakmu, Bayu... Mami merasa sudah sangat jahat selama ini karena Mamih selalu menggagalkan usaha Basti setiap kali dia mendapat pekerjaan. Mamih cuma nggak mau Basti harus lelah bekerja demi menafkahi wanita itu. Tapi, setelahnya Mamih sadar dengan kekeliruan Mamih, itu sebabnya Mamih meminta bantuan sutradara kenalan dekat Mamih untuk mengajak Basti ikut dalam project film baru garapannya. Dan untungnya dia setuju, Kakakmu justru mendapat peran utama dalam filmnya. Dia bilang, Basti
Malam ini, senyum terus terukir di wajah Basti yang rupawan. Kerinduannya terhadap sang istri sebentar lagi akan terbayar. Basti akan menemui Raline sesampainya dia di Jakarta, setelah hampir dua minggu dia pergi ke luar kota untuk keperluan syuting. Tapi sebelum dia pergi menemui Raline, Basti berencana untuk mengunjungi rumah sakit terlebih dahulu untuk mengambil hasil tes DNA kandungan Raline. Rasanya Basti sudah sangat tidak sabar ingin bertemu dengan sang istri dan menumpahkan semua kerinduannya malam ini pada Raline. Ya, hanya mereka berdua. "Gue sekalian aja ikut lo ke rumah sakit ya, Bas? Biar nanti kita langsung ke salon. Rambut gue udah panjang nih," ucap Aksel ketika mereka baru saja keluar dari Bandara. Basti terdiam sesaat. Dia tampak berpikir. "Lo bilang tadi lo capek? Mendingan lo pulang aja dulu ke rumah, gue sendiri aja ke