"Ini, Bu rumahnya," beritahu Hans pada sang majikan. "Saya masuk duluan ya, Bu?" ucap lelaki itu lagi.
Setelah mendapat komando, Hans keluar dari dalam mobil dinas yang dikendarainya. Sebuah mobil dinas milik seorang wanita paruh baya berparas cantik yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI. Hans melangkah masuk ke dalam rumah yang dia maksudkan tadi.
Seorang wanita berseragam dinas harian bermotif batik dengan sebuah jilbab maroon yang terlilit rapi di dalam kerah bajunya terlihat melongok dari dalam mobil dinasnya. Dia memperhatikan Hans yang kini sedang mengetuk-ngetuk pintu rumah dihadapan mereka sambil mengucapkan salam.
Seorang laki-laki berjas hitam dengan potongan rambut cepak terlihat keluar dari dalam mobil lain di belakang mobil Dinas Toyota land cruiser hitam yang tadi di kendarai oleh Hans. Dia membukakan pintu untuk wanita tadi.
"Sudah sampai, Bu," ucapnya seraya menundukan kepala.
Wanita itu keluar dari dalam mobil dinasnya. Tatapannya kembali pada sebuah rumah dihadapannya sekarang. Dia membuka kacamata hitam glossynya. Terlihat dari balik kacamata itu, ke dua bola mata wanita cantik itu kini tampak berkaca-kaca.
Jadi, ini rumah yang dihuni anakku selama ini?
Bisik wanita itu dalam hati.
Hatinya terenyuh mendapati fakta bahwa hidup buah hatinya yang hilang selama ini ternyata benar-benar menderita. Bahkan tempat tinggalnya saja jauh dari kata layak.
"Mari Bu, silahkan masuk! Pak Hans sudah bicara dengan wanita penghuni rumah ini. Mereka menunggu Ibu di dalam," ucap sang ajudan berseragam hitam tadi.
Helen mulai melangkahkan kakinya menuju rumah itu. Dia merasa kakinya kian gemetar. Di dalam rumah itu, Helen hanya menemukan seorang wanita tua renta yang sepertinya sudah sakit-sakitan dengan Hans yang duduk di sofa bersama wanita tua itu.
Hans mempersilahkan Helen duduk saat melihat Helen masuk ke dalam rumah itu.
Helen pun duduk tepat di samping wanita tua itu.
Wanita tua itu terlihat ketakutan. Dia menangis sesesunggukan dengan wajah yang terus menunduk. Dia sama sekali tidak berani menatap Helen. Dia sadar dirinya sudah bersalah. Sangat-sangat bersalah.
"Maaf, Bu Helen. Maafkan saya. Ampun, Bu. Jangan jebloskan saya ke penjara, Bu. Saya mohon, ampuni saya. Saya mengaku bersalah, ampuni saya, Bu..." wanita itu bersujud di kaki Helen. Tangisnya semakin merebak. Dia memegangi pergelangan kaki Helen dengan sangat erat. Ketakutannya kali kini kian berlipat ganda.
Pada akhirnya, Mira harus mengakui kesalahan terbesarnya selama ini. Kesalahan karena telah membawa lari secara diam-diam seorang bayi yang jelas-jelas bukan anaknya.
"Bangun, Bu Mira. Jangan seperti ini. Saya sudah tau, bukan ibu pelaku penculikan terhadap anak saya. Mereka sudah menceritakan semuanya," Helen memandu Mira untuk bangkit dari bawah kakinya. Bahu wanita itu masih terus berguncang karena tangisnya. Kini, dia sudah kembali duduk di sebelah Helen.
"Selama ini, saya sudah hampir putus asa mencari Bayu dan saya sangat bersyukur sekarang, di tangan Ibu Mira dan almarhum Bapak Dadan, Bayu tumbuh menjadi anak yang sangat membanggakan. Justru saya sangat berterima kasih pada Ibu dan Bapak karena sudah mengurus Bayu dengan baik selama ini," terang Helen lagi.
Untuk sejenak, tatapan ke dua wanita itu bertemu.
"Saya ingin bertemu dengan Bayu, Bu," Helen kembali bersuara. Satu tetes air matanya terjatuh. Dia sudah menantikan hal ini sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Saat-saat di mana dia bisa bertatap muka langsung dengan anak bungsunya yang hilang setelah di culik oleh security rumahnya sendiri.
"Bayu sekarang masih di luar negeri, Bu. Dia mendapat beasiswa di..." Mira berusaha mengingat nama tempat Bayu menempuh pendidikannya di luar negeri. Sayangnya, lidah ndesonya dan dirinya yang bodoh tidak bisa mengeja nama tempat itu.
"Oxford University of London," lanjut Helen meluruskan. Helen sungguh terharu begitu tahu, bahwa semua bukti-bukti yang berhasil dia kumpulkan mengenai Bayu benar adanya. Sungguh hal yang sangat membanggakan bagi seorang Ibu, saat tahu anaknya kini telah menjadi seorang yang berpendidikan tinggi. Bahkan dalam keadaan hidup Bayu yang terlihat sangat memprihatinkan. Helen benar-benar dibuat takjub. Rasanya dia sudah sangat tidak sabar ingin memeluk Bayu, buah hatinya yang hilang.
"Iya, mungkin itu, Bu. Maklum lidah orang miskin nggak bisa ngucap kata-kata begituan, Bu," ucap Mira polos. Wajah keriputnya terlihat merona. Dia malu dengan kebodohannya sendiri.
Helen tersenyum tulus. "Terima kasih, Bu Mira. Saya sangat terharu, Bu Mira bisa mendidik Bayu sedemikian rupa, bahkan dalam keadaan yang tidak berkecukupan," Helen terlihat mengelus-elus bahu Mira. Dia sendiri tidak tahu bagaimana dia harus berterima kasih pada sosok Mira.
"Bayu itu anak yang baik, Bu Helen. Selama ini, tidak pernah sekalipun dia mengeluh dengan keadaan kami. Justru malah dia yang selalu memotivasi kami untuk selalu semangat menjalani hidup. Dia sangat sabar dan penyayang. Penuh perhatian dan murah senyum," lanjut Mira seraya membayangkan sosok Bayu di dalam ingatannya. Sudah empat tahun Mira tidak bertemu dengan Bayu selama anak itu menjalani studynya di luar negeri. Bahkan Mira pun tak bisa bertanya kabar dan hanya sabar menunggu kiriman surat dari Bayu yang di kirim melalui pos.
Lagi dan lagi air mata Helen tumpah tanpa mampu terbendung. Dia menerima tissue pemberian Hans untuk menyeka air matanya yang terus mengalir.
"Mungkin, jika Bayu hidup bersama saya, belum tentu dia bisa menjadi seorang anak yang hebat seperti sekarang. Buktinya, Kakak Bayu yang selama ini saya didik, justru kini menjadi anak yang pembangkang, Bu. Saya akui, saya memang tidak becus mendidik anak saya sendiri. Itulah sebabnya saya sangat berterima kasih pada Ibu karena telah mendidik Bayu menjadi anak yang baik dan berbakti,"
Beberapa detik setelahnya, Mira terlihat membawa sebuah kotak yang baru saja dia ambil dari dalam lemari pakaiannya di kamar. Lalu, dia memberikan kotak itu kepada Helen.
"Ini, pakaian Bayu sewaktu saya menemukan Bayu yang hampir sekarat di tepi sungai, Bu. Dan ini, ada sebuah gelang kecil yang berinisial B.D, itulah sebabnya, saya dan Kang Dadan memberi nama bayi itu, Bayu Dharmawangsa," jelas Mira lagi.
Mira pun menceritakan kronologi kejadian 25 tahun silam, saat dirinya dan suaminya pertama kali menemukan Bayu.
Mira saat itu hendak menemani Dadan, suaminya, yang memang memiliki hobi memancing. Mereka memilih sungai di dekat daerah tempat tinggal mereka di Bandung utara. Hingga setelahnya, mereka mendengar suara tangis Bayi di sekitar sungai itu. Merekalah orang pertama yang menemukan bayi di tepi sungai yang terombang-ambing di atas sebuah kotak kayu. Untungnya, Dadan cepat menarik kotak itu memakai alat pancingnya, sebelum kotak itu hanyut lebih jauh. Dan saat itulah mereka menemukan Bayu kecil dengan tubuh membiru dan bintik-bintik merah di sekujur tubuhnya.
"Saya dan Kang Dadan justru sangat senang waktu itu, Bu. Karena kami kebetulan sudah lama menikah tapi tidak juga dikaruniai anak. Dan lagi, Bayu kecil itu sangat lucu. Saya langsung jatuh cinta pada Bayi itu, Bu. Padahal waktu itu, berita mengenai hilangnya anak ibu, serta foto-foto Bayu sewaktu masih bayi beredar luas di media dan tv. Saya tahu, kalau bayi yang saya temukan itu adalah anak Ibu Helen yang dulu masih menjadi seorang bintang film, tapi saya justru malah menyembunyikan Bayu dan memilih untuk merawat Bayu padahal saya tahu, hidup dengan saya Bayu pasti menderita. Saya sudah sangat egois dengan mementingkan kepuasaan diri saya sendiri tanpa berpikir tentang masa depan Bayu. Hidup Bayu sangat menderita selama dengan saya, apalagi saat suami saya meninggal, Bu. Semuanya menjadi lebih sulit bagi kami. Tapi Bayu tetap menyemangati saya. Dia selalu menemani saya tidur setiap malam di malam-malam pertama sehabis Kang Dadan meninggal. Dia itu benar-benar sosok malaikat dalam hidup saya, Bu,"
Mira larut dalam tangis.
Sementara Helen masih setia mendengarkan baik-baik kisah Mira.
"Saya harap, setelah ini, Ibu nggak benar-benar memisahkan saya dari Bayu. Tapi, itupun kalau Bayu masih mau menerima saya, Bu. Saya sadar telah melakukan kesalahan besar dengan menyembunyikan identitas keluarga aslinya selama ini, kalau Bayu tahu semua ini, mungkin dia akan sangat membenci saya," tutur Mira lagi dengan segala keputusasaannya.
"Tidak, Bu Mira. Seperti yang Ibu katakan tadi, Bayu itu anak yang baik, dia pasti akan tetap menerima Ibu. Dan saya mau, mulai sekarang, Ibu ikut dengan saya. Kita tinggal di Jakarta dan kita sama-sama menunggu kepulangan Bayu," lanjut Helen mencoba meyakinkan. Meskipun dia tahu Mira telah bersalah, tapi Helen tidak ingin memperpanjang masalah. Baginya mendapati anaknya Bayu dalam keadaan baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup.
"Tapi Bu, sayakan sudah jahat pada Ibu Helen dan Bayu, kenapa Ibu masih baik pada saya?" tanya Mira yang jadi merasa bertambah bersalah dan tidak enak hati.
"Anggap saja ini ungkapan rasa terima kasih saya pada Ibu karena sudah mengurus Bayu dengan baik selama ini. Oh ya, kapan Bayu pulang?" tanya Helen.
"Mungkin, sekitar dua minggu lagi, Bu," jawab Mira.
Mereka pun tersenyum bersamaan.
Malam ini, keluarga Kisyan kembali kedatangan tamu. Rumah sederhana itu terlihat ramai oleh tamu-tamu mereka."Ini, nih Mah, yang namanya Aksel. Dia ini anak Pak Johanes, rekan usaha Papa di Jakarta dan ini Kakaknya Aksel, namanya Marcel. Dia ini stylish jebolan The John's Salon. Jago make over dan sudah terkenal namanya di kalangan artis-artis ternama sekarang, Mamah mau di make over nggak sama Marcel, biar tambah cantik?" jelas Narendra, suami Kisyan. Dia melirik genit ke arah Kisyan yang langsung mencubit perutnya.Kisyan berkenalan dengan Aksel dan Marcel."Aksel ini masih kuliah atau sudah bekerja juga?" tanya Kisyan setelah dia mempersilahkan para tamu-tamunya itu untuk duduk."Aku sekarang, bekerja sebagai kru film Tante. Sebagai Casting Director," jawab Aksel dengan suara bassnya."Wah, Om Aksel sering ketemu
Satu bulan kemudian...Kisah RalineSatu bulan belakangan cukup menjadi waktu yang panjang bagi Raline melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Saat dirinya harus terpaksa berlelah diri mencari pekerjaan dalam keadaan hamil muda.Bahkan tanpa adanya peran suami di sisinya.Namun, semua ini terjadi atas kehendak Raline sendiri. Meski terkadang, ada saatnya dia merasakan kerinduan menusuk relung hatinya yang terdalam.Basti telah benar-benar mengabulkan permintaan Raline untuk menghilang dari pandangannya. Laki-laki itu pergi bahkan tanpa dia berpamitan pada Raline."Lin, Raline?" teriak Rani dari luar rumah. Wanita sete
Perjalanan dari London menuju Indonesia cukup melelahkan.Seorang laki-laki berperawakan tinggi menjulang dengan kostum santai ala ABG kekinian terlihat berjalan keluar dari arah pintu kedatangan luar negeri. Dia menarik kopernya perlahan ke arah luarBandara Soekarno Hatta.Empat tahun ternyata cukup membuatnya merasa asing dengan tanah airnya sendiri. Kehidupannya yang serba bebas di London cukup menjadikannya pribadi yang berbeda.Dia bukan laki-laki sepolos dulu yang bahkan tidak tahu rasa dan caranya berciuman.Dia bukan laki-laki selugu dulu yang kesehariannya hanya dia habiskan untuk belajar dan berkutat mencari uang di jalanan.Dia bukan laki-laki sebodoh dulu yang cuma bisa menangis saat hatinya tersakiti karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan.Kini, dia adalah seorang laki-laki dengan segala kepribadian yang sempurna. Bermodalkan gelar master yang dia peroleh saat ini, dia percaya bahwa hidupnya akan berubah seratus delapa
Malam ini, Rani dan Ibnu sungguh di buat terkejut dengan kepulangan Basti ke rumah setelah hampir satu bulan lebih laki-laki itu berpamitan untuk mencari pekerjaan ke luar kota.Kedatangan Basti di sambut baik oleh ke dua Ibu dan Bapak mertuanya. Malam itu, Basti membawa banyak barang belanjaan sebagai buah tangan untuk seluruh keluarga Raline. Meski, kedatangannya kali ini hanya untuk mengantar sebuah berita buruk.Surat perceraiannya dengan Raline sudah di tangan, namun belum dia tanda tangani. Entah kenapa, rasanya berat sekali bagi Basti untuk melepaskan Raline. Dia tidak perduli jika dia harus di anggap sebagai seorang laki-laki yang telah ingkar janji, tapi Basti terus berpikir dan mencari cara untuk memecahkan masalah ini tanpa harus ada kata cerai. Hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk pulang.Sebelum Basti benar-benar menandatangani surat itu, ada baiknya dia kembali memastikan apa Raline masih tetap pada keputusannya untuk bercerai, atau mungkin ada se
"Aku ke sini cuma mau mengantar surat perceraian kita, Lin..." ucap Basti memecah keheningan yang tercipta di antara dirinya dan Raline sejak lima belas menit yang lalu, sekembalinya sang istri dari kamar mandi.Suasana kian terasa semakin canggung, persisnya setelah insiden tadi. Sebuah insiden yang hampir saja membuat Basti kehilangan kendali dan lepas kontrol, karena saking takjubnya melihat pemandangan indah yang terpampang jelas didepan mata kepalanya sendiri. Sebuah ketidaksengajaan yang memanjakan mata dan menyegarkan pikiran."Tapi aku belum menandatangani berkas itu. Dan alasan aku datang ke sini malam ini, aku cuma mau memastikan lagi, apa iya kita ini memang harus bercerai Lin? Apa nggak ada jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah kita selain bercerai?" lanjut Basti lagi. Dia mulai mengutarakan niat utamanya kenapa dia kembali mendatangi rumah Raline. Sungguh
Raline tahu saat kejadian pemerkosaan itu dirinya tidak benar-benar kehilangan kesadaran. Dia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski samar. Dia masih bisa melihat meski hanya dalam bayang-bayang. Terlebih dia bisa merasakan, saat sesuatu tengah merobek liang senggamanya secara paksa. Menyiksanya tanpa ampun dengan hentakan-hentakan kasar dan penuh keberingasan. Tanpa mereka perduli dengan rintih kesakitan yang terus di teriakan oleh Raline. Suaranya yang sangat pelan jelas tak mampu menyaingi bunyi berisik di dalam ruangan bercahaya redup itu. Dan pada akhirnya, hanya air matalah yang menemani. Seiring berjalannya waktu yang saat itu terasa sangat panjang bagi Raline. Sampai pada saatnya, Raline merasa tubuhnya kehilangan tenaga dan semakin melemah. Hingga setelahnya, Raline benar-benar kehilangan kesadaran dan tak tahu lagi apa yang
"Tato ular..." ucap Raline pelan. Kening Basti mengkerut, apa maksudnya? Tato ular apa? Pikirnya membatin. Basti benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi malam ini. Dan ketidakmengertiannya terus berlanjut saat tiba-tiba Raline bangkit dari pojok kasur dan beranjak mendekat ke arah Basti. "Buka baju kamu, Bas!" perintah Raline dengan nada suara tegas dan serius. Tatapannya lurus ke arah Basti. "Kamu itu kenapa sih Lin? Aku nggak memaksa kamu melakukannya. Kalau kamu memang nggak mau ya udah nggak usah tarik ulur kayak gini!" ucap Basti yang mulai dilanda perasaan kesal. Dia merasa dipermainkan oleh Raline. "CEPET BUKA BAJU KAMU!" teriak Raline lagi. "OKE-OKE, FINE! Tapi kamu jangan teriak-teriak begitu. Nggak enak kalo di dengar orang dari luar," Basti mendengus jengkel. Dia membuka kausnya dan mengedikkan bahu. "Apalagi sekarang?" tanyanya dengan nad
Pagi ini, Bayu bangun lebih awal. Dia tidak ingin terlalu larut dalam pikirannya tentang ketidakadilan yang selama ini dia peroleh. Kini Bayu sudah mulai menerima Helen sebagai Ibu Kandungnya. Pun menyanggupi permintaan Helen untuk mengambil alih seluruh tanggung jawab perusahaan sang Papi, Jonas Michael Dirgantara, untuk di tangani langsung oleh Bayu. Mulai hari ini, Bayu dan Mira sudah tinggal menetap di kediaman Helen. Helen dan Mira sangat terkesima saat melihat penampilan Bayu pagi ini. Laki-laki itu terlihat begitu tampan dengan balutan jas hitam kantornya. Dia berjalan ke arah Mira dan Helen yang sedang sarapan di meja makan. "Morning, beautiful ladies," sapa Bayu dengan senyuman termanis yang dia miliki. Dia mengecup pipi Helen dan Mira sebelum dia duduk untuk bergabung di meja makan. Helen sangat senang dengan perub