Share

Bab 10 Restoran

Dan sekarang Aiden sudah berada di sebuah restoran. Matanya terus saja tertuju ke tempat duduk yang berada di sudut. Memperhatikan apa yang mereka lakukan. Pembicaraan mereka sangat kompak sekali. Bahkan dalam jarak yang bisa terbilang jauh, Aiden masih dapat mendengar canda tawa dari mereka. Itu berhasil membuat emosi yang ada dalam Aiden kian membara.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Aiden punya kesempatan. Langsung saja dia mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah kamar mandi. Perempuan itu tak lain adalah Stephanie.

Sebenarnya Aiden ingin sekali menghampiri pria yang menjadi lawan bicara Stephanie. Memberinya pelajaran dengan beberapa pukulan— tapi akhirnya Aiden memutuskan untuk tidak melakukannya. Bukan dirinya takut, tapi ia lebih malas berurusan dengan pria itu. Ditambah lagi dengan kondisi restoran yang sangat ramai. Aiden tidak mau mengambil risiko dimana dirinya menjadi trending topik dengan judul “Seorang Chayton memukul pria di hadapan banyak orang”

Sungguh tidak lucu.

Aiden tidak lagi memikirkan tentang siapa yang boleh masuk ke kamar mandi itu— tidak untuk saat ini. Pintu itu langsung Aiden tutup. Dia berjalan cepat sebelum Stephanie masuk ke salah satu bilik. Meraih tangannya, menarik, lalu mendorongnya ke dinding.

“Apa kau tidak ingat dengan peraturanku?”

Terkejut! Tentu saja. Bagaimana mungkin Stephanie masih bisa bersikap normal disaat ada yang mendorongnya tiba-tiba ke dinding. Untuk beberapa saat sebelum dia mendengar suara Aiden, Stephanie mengira kalau dia sedang diculik.

“Apa yang kau katakan?” Akhirnya setelah beberapa saat, Stephanie mengeluarkan suaranya. Menatap wajah Aiden yang sudah sangat mengeras. Dari suara yang Stephanie keluarkan sudah mewakili kalau dirinya sangat kesal akan apa yang Aiden lakukan.

Siapa yang tidak kesal jika ada orang yang masuk ke wilayah yang bukan seharusnya ia injak .... Dan anehnya orang itu langsung menodong dengan sebuah pertanyaan.

“Kenapa kau bertemu dengan pria itu lagi?” Aiden langsung masuk ke inti pembicaraan. Dia tidak punya kesabaran yang lebih lama untuk membuat Stephanie mengerti dengan sendirinya.

Pria itu? Dengan cepat Stephanie memutar otaknya .... Jadi alasan dari kemarahan Aiden adalah hanya karena Joshua.

“Apa kau tidak merasa takut dengan ancamanku?”

Tentu saja Stephanie takut. Dia tahu kalau apa yang keluar dari mulut Aiden tidak akan pernah main-main. Tapi untuk kali ini Stephanie tidak punya maksud apa-apa dengan Joshua. Bertemunya Stephanie dengan pria itu hanya ingin menjelaskan tentang semuanya. Tentang bagaimana terjadinya perjodohan ini. Itu saja. Tidak lebih.

“Kau berlebihan, Aiden!” Dari semua banyak opsi jawaban, Stephanie malah mengeluarkan kalimat itu. Apa Stephanie salah? Pasalnya dia bisa melihat kalau wajah Aiden semakin menyeramkan. Bahkan deru napasnya terdengar seperti orang yang dikejar oleh banteng. Well, kalau dipikir kalimat yang Stephanie pilih ada benarnya, bukan?

“Berlebihan kau bilang?” tanya Aiden. Benar dugaan Stephanie. Jawaban yang Stephanie berikan sukses membuat emosi Aiden semakin mendidih. “Jelaskan dimana sisi berlebih hanya karena aku melarangmu?!”

“Joshua adalah sahabatku, Aiden. Kami lebih lama berhubungan daripada kau. Jadi mengertilah—”

“Bagaimana bisa aku mengerti disaat calon istri-ku berdekatan dengan pria lain? Dimana di kepalaku masih terdengar bagaimana lancarnya gelak tawamu saat berbicara dengannya. Katakan bagaimana caranya agar aku bisa mengerti?”

Perkataan yang Aiden keluarkan berhasil membuat Stephanie terdiam. Disaat Stephanie mengulang kembali apa yang Aiden katakan di kepalanya, disitu pula jantungnya mulai berdebar. Untuk saat ini Stephanie masih bingung menjelaskan kenapa bisa jantungnya berdebar. Ini terlalu rumit untuknya.

Apa tujuan dari Aiden yang marah sekarang karena dia cemburu? Tidak! Stephanie tidak boleh berharap lebih.

Stephanie pada akhirnya mencoba untuk mengambil jawaban yang lebih masuk akal. Dan jawabannya adalah karena Aiden dan Joshua tidak punya hubungan yang baik. Iya, Stephanie semakin merasa yakin akan hal ini dikarenakan gelagat emosi Aiden.

“Dengarkan baik-baik, Stephanie.” Stephanie tersentak saat Aiden memegang bahunya sambil bicara. Mendekatkan wajahnya hingga terpaan napas Aiden menyapu bersih wajah yang ditutupi oleh make up tipis itu. “Jalan pikiran semua pria itu sama. Jangan pernah berpikir kalau mereka tidak mengambil keuntungan dari dirimu—”

“Termasuk kau juga?”

Hey! Apa yang kau lakukan, Stephanie? Kenapa kau malah memotong pembicaraan Aiden? 

Bodohnya lagi Stephanie memotong dengan perkataan yang berhasil membuat kepala Aiden mendidih— tidak mendidih, melainkan gosong!

Ucapan Stephanie sukses membuat Aiden menjambak rambutnya. Tak habis pikir dengan manusia yang ada di hadapannya.

“Pergi sebelum aku melampiaskan emosiku kepadamu!” Suara Aiden terdengar seperti paksaan di telinga Stephanie. Membuatnya menelan saliva dalam. “Jangan membantah, Stephanie!” Sontak saja Stephanie langsung bergerak menjauh. Menuruti Aiden setidaknya itu lebih baik sekarang. Tapi sebelum ia sampai ke ujung pintu, dia mendengar sebuah suara yang cukup keras.

“Astaga, Aiden!” pekik Stephanie sambil menutup bibirnya. Apa yang ia lihat sekarang berhasil membuat jantung Stephanie seperti berhenti berdetak. Bayangkan saja, Aiden memukul tembok dimana posisinya berada tadi dengan tangannya. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali.

Karena tak ingin melihat pemandangan itu untuk kesekian kalinya, Stephanie langsung mendekat dan lalu menahan tangan Aiden. Matanya memanas kala melihat buku jari Aiden sudah mengeluarkan darah segar.

“Apa yang kau lakukan?” cicit Stephanie lemah. Perasaannya mendadak sakit. Disaat ia ingin mendongak untuk mengeluarkan sumpah serapah atas apa yang Aiden lakukan, suara Aiden terdengar lebih dulu.

“Kenapa kau kembali?”

“Kalau aku tidak kembali, bisa-bisa tembok ini hancur!”

Aiden tersenyum miring. “Kau lebih mengkhawatirkan tembok daripada kondisiku,” sahut Aiden sambil menarik tangannya dari jangkauan Stephanie. Tapi sayang, Stephanie menahannya dengan kuat.

“Kurasa tanpa aku menjawabnya, kau sudah tahu siapa yang ku khawatirkan!” Stephanie menimpali. Apa Aiden tidak bisa melihat kalau hal pertama yang Stephanie lakukan adalah mendekatinya? Itu sudah menjawab semuanya, kalau Stephanie khawatir.

Stephanie mendekatkan tangan Aiden ke wajahnya. Dari jarak yang dekat Stephanie kembali meringis. Walaupun bukan dia, tapi Stephanie bisa merasakannya. Bahkan reaksinya lebih dominan daripada Aiden yang malah terlihat santai.

“Pasti sakit,” gumam Stephanie. Dia mendongak. “Aku akan meminta kotak P3K.”

“Aku ikut,” sahut Aiden yang lalu menggandeng tangan Stephanie untuk berjalan dengannya. Tentang emosi .... Aiden rasa sekarang dia jauh lebih baik. Melampiaskannya kepada tembok memanglah pilihan yang tepat walau berakhir dengan kondisi yang mengenaskan.

“Aiden—”

“Aku punya kotak P3K di mobil,” jawab Aiden yang seolah tahu apa yang Stephanie ingin katakan dikarenakan mereka yang melewati bagian kasir. Aiden tidak ingin lagi berada lebih lama di restoran ini, apalagi ketika melihat Joshua yang ada di dalam. Itu bisa membuat emosinya kembali tersulut.

Stephanie tidak bisa mengatakan apapun selain menurut. Bahkan dia tidak mengucapkan kata pamit kepada Joshua. Pria itu mungkin dari tadi sudah menunggunya. Untuk saat ini, ia harus bersama Aiden. Stephanie tidak ingin kejadian itu ter-ulang kembali.

Semoga Joshua tidak mencarinya ...

“Ssshhh.”

Lagi dan lagi, mobil sport mewah milik Aiden terus diisi oleh ringisan kesakitan disaat Stephanie mengobati tangan Aiden dengan obat merah. Bukan ... Bukan Aiden, melainkan Stephanie lah pelakunya. Malah pria dengan tangan yang terluka itu sudah memejamkan matanya dengan tenang.

Aiden terlihat sangat menikmati obat merah yang ditumpahkan ke lukanya, rasanya perih tapi nikmat.

Bukan berlebihan, tapi memang Stephanie sangat benci dengan yang namanya luka, terutama darah. Ini saja ia sudah melawan rasa takutnya untuk mengambil ahli sebagai dokter gadungan. Karena kalau membiarkan lebih lama, takutnya luka itu infeksi.

“Kenapa kau memukul tembok itu?” tanya Stephanie frustrasi.

Pertanyaan itu berhasil membawa Aiden membuka matanya. Mengarahkan fokusnya kepada Stephanie yang sedang mengobati lukanya. “Setidaknya itu lebih baik daripada melampiaskannya ke dirimu.”

Kalimat itu berhasil membuat Stephanie merinding. Kalau dia yang ada di posisi itu, bukan Aiden yang akan terluka, melainkan dirinya. Mengerikan!

“Kau terlihat mengerikan saat emosi.” Setelah perkataan Aiden tadi, pembicaraan mereka terhenti. Dan Stephanie kembali membukanya disaat ia sudah melapisi luka itu dengan perban.

“Itu kau tahu, tapi kau malah membuat emosiku terpancing.”

“Dia sahabatku, Aiden. Bukan pria lain—”

“Seorang sahabat bisa menjadi penjahat,” potong Aiden.

“Maksudmu?” Stephanie bertanya dikarenakan suara Aiden yang pelan, membuatnya hanya mendengar samar-samar.

“Lupakan.” Aiden menarik tangannya dan memperhatikannya dengan tatapan menilai. “Kau sangat buruk dalam membalut luka.”

Lihat! Ini yang Stephanie kesal kepada Aiden. Apakah kalian akan diam saja disaat orang lain menghina kalian? Tentu tidak! Itulah yang Stephanie lakukan tadi. Perkataan Aiden lebih pedas daripada spicy chicken yang pernah Stephanie makan.

Harusnya Aiden berterima kasih kepada Stephanie, bukannya menghina akan apa yang Stephanie kerjakan.

Gara-gara hinaan Aiden membuat Stephanie tidak jadi berpikir atau bertanya lebih lanjut akan kalimat ambigu yang Aiden ucapkan sebelum dia menghina Stephanie.

“Aku tidak mau ribut denganmu lagi!” Suara itu berhasil membuat Aiden menarik pandangan ke Stephanie yang sudah merapikan kotak P3K. “Sekarang aku mau turun dan bertemu dengan Joshua—”

“Aku ikut,” potong Aiden, “emosiku belum kembali normal. Sepertinya menghajar rahangnya berhasil membuat diriku puas.”

Stephanie terlihat berpikir. Dan setelah beberapa saat akhirnya dia menghela napasnya panjang. Tidak ada yang bisa Stephanie lakukan selain menuruti billionaire menyebalkan.

“Good girl,” puji Aiden ketika melihat Stephanie yang tidak jadi bergerak untuk turun. “Kalau begini kau memang terlihat seperti wanita anggun. Berbeda dengan apa yang kulihat tadi, kau seperti wanita pembangkang dan kesan anggun sangat jauh dari dirimu.”

Stephanie tidak bisa menjawab disaat Aiden masih setia mengelus kepalanya. Elusan itu berhasil membuat semua organ tubuh Stephanie membeku. Benar-benar aneh!

“Dengan kejadian ini kuharap kau tahu kalau apa yang kukatakan tidak main-main,” jelas Aiden. “Cukup menurut denganku maka aku akan bersiap baik kepadamu— Mulai sekarang belajarlah untuk menuruti calon suamimu ini.”

Dalam hati, Stephanie berusaha mengajak tubuhnya berkompromi .... Setelah cukup tenang, akhirnya perlahan-lahan dirinya mulai kembali normal. Dia baru tersadar kalau Aiden sekarang sedang mencoba untuk membawa mobil yang ia kendarai keluar dari tempat parkiran.

“Kita mau kemana?”

“Menghabiskan waktu,” sahut Aiden yang menatap Stephanie sekilas.

“Kemana?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status