Share

Bab 11 Menghabiskan Waktu

“Ck. Ternyata kau sangat bawel.” Sindiran yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie semakin bertambah kesal.

Baiklah, dia tidak akan lagi bersuara untuk seterusnya. Langsung saja Stephanie mencari tempat ternyaman. Memundurkan kursi, lalu menutup matanya— tidur dengan pulas.

Setelah Aiden memarkirkan mobil sportnya di tempat yang memang khusus dipersembahkan untuk dirinya, akhirnya dia memberikan seluruh fokusnya kepada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan wajah yang menghadap ke arahnya.

Biasanya bentuk wajah terjelek adalah saat dimana kita tertidur, tapi berbeda dengan Stephanie. Dia malah terlihat sangat cantik, sama seperti ketika dia bangun. Bibir yang sedikit tebal itu terlihat tertutup sempurna, bulu matanya yang panjang menambah nilai. Kali ini Aiden membenarkan satu hal, kalau keturunan Chayton memang tidak pernah gagal dalam memproduksi seorang perempuan.

“Kalau kau masih mau menutup matamu, maka jangan salahkan jika bibir ini menempel di bibirmu.”

Bisikan yang tepat di telinga Stephanie membuatnya langsung membuka mata. Lantas mendorong tubuh Aiden dengan sekuat tenaga, sampai Aiden menyentuh bagian pintu mobil yang ada di sampingnya.

“Kau bukan hanya menyebalkan dan menyeramkan, tapi kau juga mesum, Aiden!” pekik Stephanie kuat.

Bukannya marah, Aiden malah terkekeh kecil. Sebenarnya itu hanya gertakan saja karena ia tahu kalau Stephanie memang sudah terbangun sejak mobil mereka berhenti bergerak. Tapi sekarang, entah kenapa gertakan itu berubah menjadi lebih besar— di kepalanya sudah terbayang bagaimana rasa dari bibir seksi milik Stephanie.

“Kau mendapatkan satu lagi fakta tentangku, Sweetie.

Sweetie?” Stephanie mengulang panggilan yang diberikan kepadanya. Sweetie adalah panggilan yang orang tuanya berikan kepada Stephanie. Tetapi kenapa Aiden memanggilnya seperti itu? Seingatnya orang tuanya tidak pernah memanggilnya dengan sebutan khusus itu saat bersama dengan Aiden.

“Memangnya kenapa? Apa hanya orang tuamu yang bisa memanggil itu?”

“Kenapa kau bisa mengetahui panggilan itu?”

“Well, itu bukanlah hal yang sulit untuk seorang Chayton.”

Lagi, Stephanie kembali disadarkan dengan fakta itu. Aiden penuh kuasa. Dia bisa melakukan segala macam cara supaya tahu akan suatu hal. Hal ini membuat Stephanie sedikit takut ... Perasaan tidak enak mulai menggerogoti tubuhnya dikarenakan dia ingat dengan kejadian tadi, dimana Aiden bisa tahu lokasi Stephanie.

Itu berarti bisa saja Aiden mengorek lebih dalam tentang Stephanie.

“Ayo, jangan melamun. Kita masih punya banyak kegiatan yang lebih dari sekadar melamun.”

Suara itu berhasil membawa Stephanie kembali ke dunia nyata. Aiden terlihat sedang melepas seat belt, menandakan kalau dia akan turun dari mobil.

“Aku di mobil saja,” kata Stephanie yang berhasil diberikan helaan napas panjang oleh Aiden.

“Baiklah kalau begitu. Silakan menikmati tidurmu di mobil tanpa pendingin. Mungkin sepuluh menit dari sekarang kau bisa meninggal dikarenakan kepanasan.”

Ancaman yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie kembali membuka matanya. DIa lagi-lagi mencebik kesal kala melihat Aiden yang sudah berjalan menjauh dari mobil. Bahkan pria itu tidak ada keinginan untuk membujuk atau bahkan melihat ke arahnya.

***

“Kenapa, Sweetie? Ini belum sepuluh menit tapi kau sudah turun.”

Pertanyaan yang lebih terdengar seperti ejekan itu membuat Stephanie mendelik tidak suka. Tentu saja Stephanie akan turun karena ancaman itu. Meninggal untuk sekarang bukanlah hal yang baik bagi Stephanie.

“Kita mau kemana?”

Stephanie kembali bertanya setelah mereka berjalan beberapa saat. Aiden yang berjalan di sampingnya hanya diam saja, dan itu berhasil membuat Stephanie sangat kesal. Sinar matahari yang sangat terik ini juga berhasil menambah emosinya— campur aduk menjadi satu.

“Jangan—”

“Jangan ajak aku untuk berkelahi atau membuatku kesal, Aiden.” Stephanie memotong. “Aku sudah lelah. Belum lagi heels ini membuat kakiku terasa sakit.”

Aiden berhenti tiba-tiba yang juga diikuti oleh Stephanie. Dia menghadap ke arah Stephanie. Melihat bulir-bulir keringat mulai jatuh mengenai kulit putih mulus dari Stephanie.

“Sejak kapan aku membuatmu kesal?” tanya Aiden. Sebelum Stephanie menjawab, tangan Aiden lebih dulu mendarat di tangannya. “Ayo. Sedikit lagi. Kau bersabarlah,” serunya yang lalu menarik tangan Stephanie untuk berjalan.

Dan betapa terkejutnya Stephanie ketika mereka sudah sampai di sebuah lapangan yang sangat luas— tidak, ini bukan lapangan biasa melainkan lapangan untuk tempat helikopter. Stephanie bisa menyimpulkan itu dikarenakan sudah ada helikopter di jarak 10 meter dari posisinya, dan alat transportasi itu berhasil membuat rambut Stephanie melayang akibat dari main rotor dan drive shaft.

“Welcome to Chayton’s Airport, Mr. Chayton.”

Seorang pria dengan seragam pilot datang, diikuti dengan beberapa orang dari belakang. Belum selesai Stephanie memuji helikopter dan lapangan, ia sudah dikejutkan dengan mereka. Sungguh, ini adalah kali pertama Stephanie bisa merasakan hal ini.

Benar memang, sekaya-kayanya keluarganya akan tetap kalah jika disandingkan dengan Chayton.

“Perkenalkan, dia adalah tunanganku Stephanie Casey.”

Suara Aiden berubah menjadi tegas, tidak seperti biasanya. Dari sini Stephanie semakin menganggumi apa yang ada di dalam diri Aiden. Benar-benar definisi dari seorang billionaire .... Sialnya tiba-tiba di kepala Stephanie terlintas bagaimana sifat Aiden— pada akhirnya segala pujian yang Stephanie keluarkan lenyap seketika.

“Bagaimana, Sweetie, apa aku berhasil membuatmu kagum?”

Disaat mereka sudah duduk di bagian cockpit, suara Aiden terdengar. Stephanie yang sudah memakai peralatan tempur yang dijadikan sebagai peraturan untuk menaiki helikopter, akhirnya menoleh ke Aiden.

“Kagum ... dan juga takut,” kata Stephanie jujur.

Dan betapa kagetnya Stephanie ketika bisa mendengar gelak tawa Aiden yang sangat lepas dan berhasil membuat jantungnya berdetak dengan riang di dalam sana. Ini bukan buatan— Stephanie tahu itu. Bahkan tawa itu berhasil membuat mata Aiden lenyap.

Ini adalah kali pertama Stephanie mendengar Aiden tertawa dan jantungnya berhasil berdebar oleh itu. Stephanie kira Aiden tidak tahu bagaimana caranya tertawa, pasalnya diseluruh berita yang menyiarkan tentang Aiden, disebutkan kalau Aiden adalah pria dingin. Jangankan tertawa, membalas senyum saja tidak pernah.

“Kenapa kau takut, heh?” Setelah cukup tenang akhirnya Aiden bertanya. “Apa kau masih ragu denganku karena rem mendadak?”

Sejujurnya tidak untuk saat ini setelah melihat bagaimana ahlinya Aiden menyetir mobil untuk menuju ke Chayton’s Airport, sebuah bandara yang memang khusus dipersembahkan untuk keluarga Chayton, tidak untuk umum. Tapi kalau untuk mengendarai helikopter ... Stephanie ragu.

Iya, Aiden yang mengendarai helikopter ini. Bahkan ia menolak mentah-mentah tawaran dari sang pilot.

“Aiden, aku tahu kalau kau jago dalam segala hal ... tapi untuk ini, kumohon serahkan kepada yang ahli.”

“Itu kau tahu.” Aiden menyahut dengan tangan yang sibuk menyentuh tombol-tombol. Dan semakin bertambah takutlah Stephanie ketika ia bisa menyadari mereka sudah bergerak dari posisi semula. “Jangan pernah meragukanku, Sweetie. Nikmati saja perjalanan ini. Aku tidak mungkin membuat calon istriku terluka.”

Perkataan Aiden seperti sebuah mantra yang berhasil membuat ketakutan Stephanie lenyap perlahan-lahan, digantikan oleh perasaan takjub ketika helikopter ini sudah melayang di udara. Menyuguhkan pemandangan yang sangat indah sekali. Bangunan-bangunan tinggi dan pepohonan terlihat sangat kecil tapi juga punya nilai keindahannya tersendiri.

Di sana, Aiden tersenyum ketika melihat Stephanie yang sudah mulai asyik akan pemandangan. Sampai-sampai dia melupakan Aiden.

“Bagaimana? Sekarang kau percaya?”

“Iya.” Sesudah gumaman yang dapat didengar Aiden itu dikeluarkan, Stephanie langsung menutup mulutnya. Bisa-bisanya dia menjawab jujur akan pertanyaan Aiden. Tidak, Stephanie tidak boleh membuat Aiden semakin berbesar kepala .... Sayangnya hatinya berkata lain.

Hati kecil Stephanie menginginkan Stephanie untuk berkata yang sejujurnya. Meninggalkan semua rasa kesal yang Stephanie alami sejak tadi.

“Katakan kau mau kemana sekarang?”

Pertanyaan Aiden menarik Stephanie kembali ke dunia nyata. Membuatnya menatap sang pria itu dari samping. Dan Stephanie tidak bosan-bosannya mengagumi pria itu dalam hati. Aiden seperti titisan dewa Yunani dengan rahangnya yang sangat tegas, tak lupa dengan alisnya yang juga menunjukkan bagaimana tegasnya seorang Aiden.

Setelah Stephanie berpikir beberapa saat akhirnya dia menjawab. “Aku tidak tahu kemana.”

“Baiklah, kita akan pulang saja ke mansion. Mommy Rose mencarimu dari tadi.”

“Mencariku?” tanya Stephanie yang terdengar kaget.

“Mommy ingin sekali aku membawamu ke mansion untuk mengenalkan dirimu kepada seluruh penghuni mansion. Tapi aku berubah pikiran saat melihatmu bersama dengan pria itu ... dan berakhir membawamu berkeliling ... juga untuk meredakan rasa emosi dan kesal yang ada di dalam diriku.”

Jadi selama ini Aiden masih menyimpan rasa emosi dan kesalnya, tapi dia tidak menunjukkannya, melainkan menyimpannya dalam hati. Berbeda dengan apa yang Stephanie lakukan. Dia malah mendiami Aiden dengan alibi tidur, dan bahkan sempat menolak ajakan Aiden untuk turun.

“Lalu sekarang kau sudah tenang?” Sebelum Stephanie ke inti, dia ingin mengetahui apa yang Aiden rasakan sekarang.

“Sepertinya.”

Perempuan itu mengangguk paham. “Kalau kau belum tenang, lebih baik teruskan saja perjalanan ini. Setelah itu kita bisa ke mansion.”

“Memangnya kau ingin sekali pergi ke mansion?”

“Tentu.” Jawaban Stephanie terdengar tegas. Hal yang salah bagi Stephanie kalau dia tidak mengabulkan permintaan ibu mertuanya. Sama seperti perempuan pada umumnya, Stephanie ingin meninggalkan kesan yang baik kepada calon keluarganya.

“Baiklah. Kita pergi sekarang.”

Keputusan yang Aiden buat kembali membawa Stephanie bersuara. “Tapi emosimu belum stabil—”

“Itu tidak masalah. Aku harus menuruti kemauan calon istriku, bukan?” Aiden memotong dengan menatap Stephanie sekilas. Sebelum dia kembali menatap depan, Aiden menaikkan alisnya satu.

Bagaimana bisa Stephanie tidak jatuh hati perlahan-lahan kepada pria menyebalkan di sampingnya? Kalau begini, tinggal menunggu beberapa hari maka Stephanie akan jatuh hati kepada Aiden.

“Kalaupun emosiku naik, palingan aku akan melampiaskannya ke dinding untuk kesekian kalinya.”

“Jangan bertingkah bodoh!” kata Stephanie kesal. “Ada apa denganmu? Apa dengan memukul tembok bisa membuatmu puas? Kalau iya tapi kau juga akan merasakan sakit. Cobalah untuk melatih emosimu, Aiden.”

“Jangan minta aku untuk melatih emosiku, Sweetie.” Aiden kembali membantah. Dan bantahan itu berhasil membuat Stephanie jengah. “Sangat mudah untuk tidak membuat emosiku naik— cukup dengan menuruti peraturan yang sudah kukatakan di awal. Kau paham, Sweetie?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status