“Kenapa kau meneleponku, Sweetie?”
Satu kalimat itu langsung terdengar disaat telepon Stephanie dijawab oleh Aiden yang berada di seberang. Stephanie yang tadi masih mengaplikasikan cairan ke bibirnya sontak berhenti kala mendengar suara berat Aiden yang sangat seksi— walaupun Aiden tidak berada di hadapan Stephanie tapi dia menyadari kalau kekuatan Aiden melingkupinya.
“Aku ... ingin keluar.”
Sesudah teringat akan tujuannya, Stephanie langsung bersuara. Tidak hanya meminta izin kepada orang tuanya, tapi Stephanie juga harus mengingat Aiden yang akan menjadi tunangannya ... Kalau saja Aiden tidak memberikan mata-mata untuk mengawasinya maka Stephanie tidak perlu repot melakukan ini. Stephanie hanya takut kalau tiba-tiba Aiden datang dengan kemarahannya dan membuat kerusakan— itu terlalu mengerikan.
“Keluar? Kemana?”
Suara Aiden terdengar kaget di sana hingga membuat Stephanie merasa cukup cemas. Walaupun demikian dia masih menjawab. “Makan siang bersama Clara, adikmu.”
“Aku sampai lupa kalau Clara sudah memberitahuku sebelumnya.”
“Jadi kau sudah tahu?” tanya Stephanie memekik kaget.
“Tentu .... Wah, ternyata kau mulai belajar mematuhi perintahku.” Aiden menyahut sambil berniat memancing Stephanie agar kesal. “Pergilah, aku memberimu izin asalkan hanya kalian saja yang ada di sana.”
“Dengar, Aiden, aku tidak akan semudah itu untuk menuruti perkataanmu!” Stephanie berdusta. Tapi apa yang dia lakukan punya tujuan. Dia tidak ingin dianggap sebagai perempuan yang penakut— walau kenyataannya begitu. Stephanie mendadak menjadi penakut saat berhadapan dengan Aiden.
“Ya, Sweetie, terserahmu saja—”
Dan suara Aiden langsung saja terputus begitu saja karena Stephanie yang sudah memutuskan sambungan telepon begitu saja. Hari ini tidak akan ada rasa kesal yang disebabkan oleh Aiden. Stephanie harus mengisi hari-hari sebelum dia resmi menjadi tunangan Aiden dengan penuh kegembiraan.
“Ada apa?”
Sesudah Clara duduk di seberang Stephanie akhirnya dia mengeluarkan pertanyaan dikarenakan wajah Clara yang memerah emosi. Restoran yang mereka pilih— lebih tepatnya Clara, sangat ramai dikarenakan memang jam makan siang. Stephanie menduga kalau Aiden tahu dimana mereka makan siang maka Aiden akan langsung menolak didetik itu juga langsung. Mengingat pada waktu makan malam pertama mereka dimana Aiden yang memesan satu restoran hanya untuk dirinya.
“Aku kesal, Kakak Ipar!” Clara mengadu ke Stephanie sambil merosotkan bahunya. “Kenapa laki-laki zaman sekarang sangat banyak peraturan, ha? Itu membuatku sangat kesal. Padahal dia hanyalah temanku, bukan pacar atau bahkan suami.”
Stephanie menelan salivanya dalam, sedikit kaget dengan suara Clara yang meninggi. Ia pikir kalau perempuan dari keluarga Chayton akan sangat menjaga sikap di tempat umum. Lagi-lagi Stephanie haus sadar kalau perempuan di hadapannya berbeda. Clara dengan sifat tomboynya, sudah pasti sikapnya juga tidak jauh berbeda dengan penampilannya sekarang yang hanya menggunakan celana jeans dengan kaus polos.
“Kau benar ... pria sangat menyebalkan,” sahut Stephanie yang tiba-tiba mengingat bagaimana perilaku Aiden.
“Apa Kakak Aiden juga seperti itu?”
“Tentu!” Sontak saja Stephanie menjawab dengan tegas. “Dia itu menyeramkan, banyak omong, banyak peraturan, dan juga suka membuatku kesal!”
Tepukan tangan yang Clara berikan membuat Stephanie melongo. Apa itu? Clara malah terlihat sangat senang dan sedikit malu-malu. Tentu itu membuat Stephanie bingung sekaligus terkejut.
“Benarkah? Tapi kalau berkaitan dengan Kakak Aiden, aku merasa itu adalah hal yang sangat manis.” Clara memuji dengan senyumannya yang tidak pernah pudar. “Pasti Kakak memperlakukanmu seperti seorang ratu ... Kak Aiden memang seperti itu. Kalau dia bawel dan banyak aturan maka sisi lebihnya adalah dia akan selalu menjaga dan mengawasimu dari mara bahaya.”
Apa yang Clara katakan membawa Stephanie berpikir .... Yang dikatakan Clara katakan memang benar. Aiden bawel bukan karena tanpa alasan, tapi karena untuk menjaganya. Dia memberikan mata-mata untuk mengawasi Stephanie juga punya tujuan yang sama. Mengingat Chayton adalah keluarga terkenal dan disegani, tentu juga memiliki banyak musuh— entah dari lingkup bisnis, politik, ataupun pemerintahan.
Itu juga bisa menjadi alasan mengapa Clara yang sampai sekarang dirahasiakan. Karena ada banyak mara bahaya yang mengintai Clara ... Dan sebentar lagi bukan hanya Clara, tetapi juga Stephanie.
“Sudahlah, Kakak Ipar!” Suara Clara membawa Stephanie kembali tertarik ke dalam kehidupan dunia nyata. Dia mengerjap untuk mengambil nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul.
“Kita tidak perlu membuat makan siang ini diisi oleh kaum pria.” Stephanie mengangguk setuju dengan pernyataan yang Clara berikan. Dia menerima daftar menu makanan dari Clara. “Lebih baik kita pesan makanan sepuasnya. Aku sudah lapar!”
“Ya, kita harus makan banyak!” seru Stephanie sambil menelan salivanya kala melihat gambar dari menu yang tersedia sangat mengunggah selera. Membuat cacing-cacing yang masih tidur mendadak bangun dan meronta untuk diberi makan.
“Astaga, Kakak Ipar!” Clara memekik kaget dengan pandangan menuju ke arah pintu. Stephanie yang sedang asyik melihat daftar menu reflek menengadah lalu menuju ke arah apa yang Clara lihat.
“Itu Amanda!”
Stephanie langsung mematung disaat perempuan dengan dress merah maroon itu sedang mengedarkan pandangan sesaat dia sudah melewati pintu masuk. Dimana para orang-orang yang sibuk relfek berhenti dan menoleh ke arah Amanda. Tak jarang dari mereka menggerakkan ponselnya untuk membidik seorang model terkenal itu.
Cantik! Itulah yang Stephanie katakan disaat melihat Amanda. Sungguh, berhubungan dengan Aiden membuatnya kerap kali bertemu dengan perempuan-perempuan cantik yang membuat kepercayaan diri Stephanie diuji.
Dan betapa kagetnya mereka kala melihat Amanda yang menyampirkan senyuman ke mereka lalu berjalan mendekat. Tidak, Stephanie tidak mungkin salah lagi karena hanya mereka saja yang berada di sudut ruangan.
Astaga, Stephanie bertemu dengan mantan pacar dari tunangannya!
“Clara, akhirnya kita bertemu di sini!” Suara Amanda bagaikan petir yang menyambar mereka sampai sadar. Dia memeluk Clara yang pada akhirnya dibalas oleh Clara.
“I— iya.” Clara menjawab dengan dirinya yang masih syok. Ternyata keterkejutannya tidak sampai disitu. Amanda memilih duduk di tempat mereka, membuat Clara menjadi tidak enak. Atmosfer di ruangan itu juga berubah drastis.
“Dia siapa, Clara? Apakah dia temanmu?” tanya Amanda dengan alis yang menyatu.
Sebelum Clara menjawab, Stephanie sudah menjulurkan tangannya ke arah Amanda dengan senyuman di bibirnya. “Perkenalkan, aku Stephanie.”
Stephanie disambut baik oleh Amanda. Jabatannya dibalas. “Amanda. Senang bertemu denganmu!”
“Hehehehe.”
Kekehan garing dari Clara keluar— bermaksud ingin memecah situasi akward yang saat ini melanda. Dia menatap Stephanie dengan tatapan penuh tanya : ‘Apa yang harus dilakukan?’ Tapi sayang Stephanie malah menggeleng yang membuat Clara tidak tahu harus berbuat apa.
“Maafkan aku yang menghilang dari dunia entertainment.” Amanda bersuara dengan menatap Clara. Seolah-olah menganggap hanya mereka berdua saja tanpa Stephanie. “Aku bermaksud ingin istirahat, Clara. Juga aku memutuskan untuk istirahat dari media sosial— Apa kau tahu tujuanku dari Kakakmu? Ehmmm .... Sepertinya dia berbohong dengan mengatakan kalau aku dan dia sudah tidak punya hubungan apa-apa.”
What?!
Stephanie tidak mungkin salah dengar. Pendengarannya masih baik mengingat dia yang baru saja check up bulanan dengan doter keluarga Casey. Dari sini Stephanie mendadak dibuat bingung dengan pernyataan Amanda yang malah jauh berbanding terbalik dengan Aiden.
Clara menggaruk tegkunya yang tidak gatal. “Sebenarnya aku tidak tahu apa yang terjadi karena aku tidak tinggal di mansion .... Sayangnya kakak tidak menjelaskan apapun. Jadi ini kali pertama aku mendengar alasan dari kepergianmu.”
Kalau apa yang Clara katakan sesusai dengan waktu itu, sebab Clara yang hanya menyebutkan nama Amanda— tidak dengan penjelasan lengkap yang membuat Stephanie pada akhirnya bertanya kepada Aiden.
“Jadi kalian masih punya hubungan?” Entah kenapa bibir Stephanie malah bergerak dan menanyakan hal itu. Perlu digaris bawahi, bahwa ini tidak sengaja!
“Tentu!” jawab Amanda sambil mengangguk. “Kami hanya istirahat ... dan kata putus tidak pernah aku katakan dan tidak pernah kudengar dari Aiden.
“Apa sudah selesai, Sweetie?”
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga