Beberapa kali Aiden melirik sampingnya melalui ujung mata dan dia hanya mendapati Stephanie yang duduk terdiam di kursinya sambil mengarah ke arah kaca yang ada di samping. Tidak biasanya Stephanie seperti ini. Walaupun hanya terhitung beberapa kali Aiden membawa Stephanie, dia sudah tahu kalau kebiasaan Stephanie yang tidak bisa diam. Kalau tidak ada topik pembicaraan maka pasti akan ada senandung yang Stephanie keluarkan.
Aiden tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Yang jelas Stephanie mendadak menjadi pendiam disaat mobil ini sudah berjalan.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Akhirnya setelah berperang dengan dirinya, Aiden mengeluarkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Stephanie menoleh ke arahnya.
“Tidak.”
Stephanie menjawab pelan dan setelah itu ia kembali ke posisi semula, menghadap ke arah kaca. Dia mengabaikan Aiden yang terlihat menggeram pelan. Kalau saja dia tidak bertanya akan apa yang Clara katakan maka Stephanie tidak akan menjadi seperti ini. Lagi-lagi rasa penasarannya yang terlalu tinggi membuatnya ingin tahu segala hal.
Tapi ... jika Stephanie tidak bertanya dia tidak akan tahu semuanya. Apa yang Stephanie lakukan ini benar. Dia tidak salah.
“Katakan sekarang apa masalahnya, Stephanie, sebelum aku bertanya kepada Clara dan menghukumnya!”
Stephanie menyerah setelah mendengar ancaman itu. Mobil yang Aiden kemudikan berhenti di tempat yang Stephanie tidak tahu. Sesaat sesudah mobil itu berhenti dan Stephanie ingin bersuara— suara Aiden terdengar duluan.
“Turun. Aku tidak mau berbicara di mobil,” kata Aiden yang lalu turun duluan.
Perasaan tidak enak mulai menjalar disaat Stephanie turun dari mobil. Dia sungguh tidak tahu dimana tempat ini. Yang jelas sekarang mereka berada di antara tingginya pohon-pohon yang bahkan daunnya bisa membuat cahaya matahari tidak bisa menembus.
“Sekarang katakan kepadaku apa masalahmu.” Setelah Stephanie mengikuti Aiden yang duduk di kap mobil akhirnya Aiden memberikan aba-aba agar Stephanie bisa berbicara.
Mengabaikan teriakan dari hatinya yang melarang, Stephanie berbicara, “Siapa itu Amanda?”
Hanya 3 kata tapi bisa membuat raut wajah Aiden berubah drastis menjadi sangat kaku. Biasanya Stephanie bisa mengartikan apa yang Aiden rasakan dari tatapannya, tapi kali ini tidak. Dia seperti memiliki sebuah perisai yang sulit ditembus.
“Kau ingin tahu siapa dia?”
Akhirnya setelah keheningan melanda untuk waktu yang tidak dapat disebutkan, Aiden kembali bersuara. Bukannya menatap Stephanie sambil berbicara, Aiden malah memilih menghadap ke depan. Pria berbadan besar itu membuat Stephanie merasakan ketakutan, tidak sanggup untuk mendengar apa yang Aiden katakan.
“Kalau itu membuatku sakit, lebih baik tidak, Aiden.”
Aiden tersenyum tipis mendengar itu. Akhirnya dia mengarahkan wajahnya ke Stephanie. “Kau sangat lembut—”
“Aku tidak lembut—”
“Kau lembut, Stephanie,” potong Aiden. “Kau bahkan masih bisa menggunakan nada penuh kelembutan disaat kau marah dan kesal. Jadi sudah tak asing jika kau juga punya perasaan yang lembut seperti brownies.”
Stephanie terdiam. Tidak tahu harus menimpali apa yang Aiden katakan .... Jujur saja Stephanie sudah berusaha membuat branding dirinya menjadi perempuan yang kuat sejak di bangku perkuliahan, tapi entah kenapa sangat sulit sekali. Stephanie mudah merasakan apa yang orang lain rasakan, selalu bersikap lembut kepada siapapun, dan juga sulit menolak ajakan dari seseorang. Berkali-kali Shirley dan Nancy menasihati untuk tidak mudah luluh— naas tidak membuahkan hasil yang baik.
“Aku tidak tahu apakah penjelasanku bisa membuatmu terluka.” Aiden kembali bersuara. Perlahan-lahan tatapannya berubah menjadi sangat teduh. “Jadi haruskah aku menjawab pertanyaanmu?”
Mendengar pertanyaan balik yang Aiden berikan membuat Stephanie kembali ragu. Sekarang pilihan ada di tangannya. Jika dia menolak maka Stephanie tidak akan tahu siapa itu Amanda, tapi jika ia menerima maka hatinya ….
“Tentu.” Satu alis tebal Aiden naik ke atas mendengar jawaban yang Stephanie berikan. Tatapan Stephanie penuh keyakinan— siap mendengar apapun dari Aiden. Sementara hatinya sedang sibuk menjawab segala macam pertanyaan yang timbul— tentang apa yang dia rasakan kepada Aiden.
“Dia adalah mantan pacarku.” Kalimat pendek itu berhasil membuat Stephanie kembali tertegun. Walaupun dia sudah tahu hal ini dari Clara, tapi Stephanie masih saja terkejut. Bagaimana nanti saat dia mendengar kelanjutan dari Aiden?
“Seorang perempuan yang punya tempat spesial di hatiku. Yang menemaniku hingga sampai di titik kesuksesan sekarang ….”
“Lalu dimana dia sekarang?” Sudah cukup, Stephanie tidak bisa mendengar lebih dikarenakan hatinya yang mendadak perih. Rasa sesak mungkin akan membuat Stephanie pingsan disaat dia mendengar kalimat indah dari Aiden …. Oleh sebab itu dia hanya ingin langsung ke inti, karena Stephanie tahu kalau Aiden mencintainya.
Apakah sampai sekarang?
Aiden tersenyum miring sambil menatap ke depan. “Pergi.” Jawaban simple tapi terkesan punya luka yang sangat dalam dan berhasil membuat hati Stephanie meringis. “Dia meninggalkanku tanpa pesan ….” Aiden menjeda kalimatnya. Dia seperti kesusahan untuk melanjutkannya lagi.
“Apa Joshua ada kaitannya dengan ini?” Pemikiran ini terlintas saja di benak Stephanie dan langsung ia keluarkan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.
“Kalau iya, apa yang akan kau lakukan?” Ini bukan jawaban menurut Stephanie, melainkan sebuah pertanyaan. “Kau akan mengatakan kalau aku harus berbicara dengannya baik-baik? Atau aku—”
“Bukan begitu, Aiden. Aku hanya bertanya—”
“Lagipula apa pentingnya jika aku menjawab? Sudahlah, Stephanie, jangan sebut pria itu lagi. Aku sangat benci mendengarnya!”
Katakan …. Apakah Stephanie harus menganggap kalau pemikiran yang tiba-tiba terlintas itu adalah kebenaran? Atau bagaimana?
“Lupakan apa yang Clara katakan. Aku akan bertanya apa saja yang ia katakan kepadamu nanti.”
“Jangan,” jawab Stephanie cepat. “Kau tidak boleh bertanya atau bahkan berkelahi dengan adikmu, Aiden. Ini murni kesalahanku saja yang memang terlalu ingin tahu.”
“Lalu keinginan tahu-an mu itu membuatmu tenang?”
Stephanie menggeleng. Dia malah semakin pusing sekarang …. Pria yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya ternyata punya seorang perempuan sebelumnya.
“Apa kau masih mencintainya?” Stephanie janji kalau ini adalah pertanyaan terakhirnya. Setelah ini dia akan diam sampai di kepalanya timbul lagi pertanyaan yang akan ditanyakan langsung ke Aiden untuk hari berikutnya.
Aiden yang sudah berdiri di depan Stephanie yang masih duduk di kap mobil itu tersenyum. “Lihat, kau ini sangat ingin tahu sekali tapi hatimu tidak sanggup untuk mendengarnya. Jangan buat dirimu terluka—”
“Itu berarti kau masih mencintainya.”
“Aku belum menjawab, Stephanie,” bantah Aiden.
“Maka beri aku jawaban, Aiden!” sahut Stephanie. “Kalau kau masih mencintainya maka kejar dia dan batalkan pertunangan ini. Aku tidak ingin menjadi perusak di sebuah hubungan. Jangan membuat aku jadi punya peran antagonis di sini.”
Helaan napas panjang terdengar dari Aiden. “Sebelum kau mengatakan itu aku pasti akan melakukannya. Tapi lihat, aku sekarang ada di sini … bersamamu.” Aiden menjawab dengan tenang. Dia tersenyum tipis. “Aku tahu kau cukup pintar untuk mengerti perkataanku.”
Benar apa yang Aiden katakan. Tapi apakah dengan omongan yang Aiden lemparkan tadi bisa membuatnya tenang? Saat bertemu dengan Aiden, pria itu terlihat sangat misterius. Untuk menunjukkan apa yang ia rasakan saja melalui mimik wajahnya jarang Stephanie lihat. Lalu dengan kata-kata apakah Stephanie langsung percaya?
Aiden mengangkat tangannya ke Stephanie. “Jadi sekarang kita sudah bisa pulang, Putri Casey?” tanya Aiden dengan dahi yang mengerut. “Kalau belum kita bisa bersenang-senang lagi. Aku rasa aku harus membuatmu terkesima lagi denganku.”
“Jangan buat aku menjadi kesal kepadamu lagi, Aiden!”
“Kalau orang yang sedang kesal itu maka nadanya akan membentak, bukan lembut seperti tadi,” ejek Aiden yang lalu menarik Stephanie untuk turun.
“Aku mengantarmu pulang saja. Takutnya Sean akan membawa bodyguardnya untuk memberiku pelajaran karena memulangkanmu larut malam,” seru Aiden sebelum menutup pintu mobil Stephanie.
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga