Hari pertunangan Aiden dan Stephanie semakin dekat, dimana kedua keluarga itu mempersiapkannya dengan penuh kebahagiaan. Terutama kedua manusia yang mempunyai peran penting dalam pertunangan itu, tapi kali ini ada pengecualian— Stephanie duduk termenung di atas kasur. Setelah melakukan fitting untuk gaun pertunangan dia langsung masuk ke dalam kamar. Tidak ada senyuman sama sekali yang menunjukkan kalau dia memang tidak merasakan apa yang dirasakan oleh seluruh manusia di Casey’s Mansion.
Ingatannya terus berada beberapa hari yang lalu ... disaat Aiden menjelaskan siapa itu Amanda. Setelah Stephanie diantar pulang oleh Aiden, dia langsung bergegas mencari biodata Amanda melalui internet. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui kalau Amanda adalah kakak tingkatnya saat di universitas tapi mereka memang tidak saling mengenal dikarenakan disaat Amanda lulus barulah Stephanie masuk. Menurut berita yang beredar, Amanda sangat aktif di dunia modelling. Tapi yang aneh adalah nama Amanda tidak pernah lagi kelihatan di peragaan busana terkenal setelah dia melakukan fashion show di Dubai.
Tidak sampai disitu, Stephanie kembali lagi dibebani oleh lelaki yang menguasai pikirannya— Aiden Chayton .... Sampai sekarang Aiden tidak pernah menghubunginya. Dia seperti ditelan oleh bumi. Tentu ini membuat Stephanie semakin resah. Tiap malam Stephanie selalu berpikir yang tidak-tidak ... dimana di kepalanya terlintas kalau Aiden yang pergi untuk mencari Stephanie— Stephanie harus membuang jauh pikiran ini dikarenakan bisa membuat kekuatan negatif mulai menguasai tubuhnya.
***
Dan sekarang Stephanie sedang celingak-celinguk untuk melihat keadaan sekitar— memastikan kalau semuanya aman dan tidak ada yang mengikutinya. Saat ini dirinya sedang berada di sebuah kafe terkenal yang tak jauh dari kota. Sebuah kafe bernuansa cokelat itu terlihat sangat sepi dikarenakan hari ini adalah jam kerja. Setelah ia merasa kalau semuanya sudah aman terkendali barulah dirinya masuk ke dalam kafe tersebut.
“Baru kali ini kau terlambat setengah jam, Stephanie.”
Suara khas pria menyambut kedatangan Stephanie yang baru saja duduk di seberang. Stephanie menghela napasnya panjang agar jantungnya kembali netral seperti semula.
“Maafkan aku. Aku punya urusan yang sangat sibuk, Joshua.”
Perkataan Stephanie membawa Joshua menganggukkan kepalanya. Setelah pramusaji datang dan mereka memesan minuman, barulah terdengar lagi suara Joshua. “Apa urusanmu itu adalah memperhatikan mata-mata dari Aiden?”
Stephanie terkesiap dikarenakan Joshua yang bisa menebaknya dengan tepat. “Sepertinya kau tahu betul tentang Aiden,” kata Stephanie sambil merosotkan bahunya. “Apakah kalian dulunya berteman?”
Dan Stephanie kaget saat melihat anggukan yang Joshua berikan. Hanya dengan anggukan itu bisa membuat berbagai spekulasi timbul dalam benaknya.
“Dulu, tapi sekarang tidak.”
“Kenapa?” Stephanie kembali bertanya. Dalam hati dia sudah mencoba untuk meramalkan doa supaya Joshua mau memberitahunya. “Aku boleh tahu, bukan?”
Joshua membuang napasnya panjang sembari menyandarkan tubuhnya ke krusi. Menatap Stephanie dengan penuh kehangatan sama seperti dulu. Joshua tidak pernah berubah di mata Stephanie.
Sebuah suara terdengar lebih dulu disaat Joshua ingin menjawab. Dan suara itu berasal dari ponsel Stephanie yang berada di atas meja. Sontak saja Stephanie menjadi kesal sendiri kepada ponselnya karena telah mengganggu pembicaraan mereka. Tanpa melihat siapa yang memanggil, dia langsung menjawab dan mendekatkan ke telinga.
“Kau tahu bukan kalau mata-mataku tersebar sama ke pelosok dunia.”
Satu kalimat tanpa jeda itu berhasil membuat jantung Stephanie mendadak berhenti untuk beberapa detik. Dan Stephanie langsung mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mengecek, tapi nihil. Tidak ada orang yang mencurigakan di dalam kafe ini.
“Tidak perlu mengecek, Sweetie.” Suara Aiden yang lagi terdengar membuat Stephanie kembali fokus ke panggilan. “Sekarang kau keluar dan masuk ke mobil yang sudah ada di depan sebelum aku datang dan merusak semua yang ada di dalam sana.”
Habislah kau, Stephanie ....
“Hey, ada apa? Kenapa kau terburu-buru?” tanya Joshua disaat Stephanie yang sudah memasukkan ponsel ke tasnya dan meminum minuman itu sekali teguk.
“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Aku lupa kalau aku punya urusan. Sampai nanti, Jos!” Setelah mengucapkan kalimat itu penuh terburu-buru Stephanie lantas melangkah cepat ke luar. Semakin cepat dia keluar maka ancaman Aiden tidak akan menjadi kenyataan.
***
“Alex, kau mau membawaku kemana?”
Setelah beberapa menit mobil yang Stephanie naiki mengendara membelah jalanan, akhirnya Stephanie bersuara. Menatap Alex yang sedang menyetir di depan. Stephanie sudah tahu pria itu dikarenakan ia sempat menangkap Alex melalui pandangan mata di bandara milik Chayton.
“Saya akan membawa Nyonya ke Tuan.”
Seketika Stephanie meringis pelan sambil merutuki dirinya yang sangat bodoh dalam melangkah. Bisa-bisanya Stephanie menyuruh Joshua untuk bertemu di tempat umum ... Tapi, setelah dipikir-pikir ini bukan kesalahan Stephanie. Tapi melainkan Aiden. Kalau begini ceritanya Aiden sudah tidak lagi memikirkan privasi Stephanie. Awas saja, Stephanie akan langsung marah ke Aiden setelah dia bertemu dengan pria itu!
“Tuan terlihat marah, Nyonya.” Alex memberikan sebuah informasi yang bisa dapat dibilang penting sebelum Stephanie melangkah turun dari mobil untuk masuk ke dalam Chayton’s group.
“Tuanmu itu memang setiap hari selalu marah.” Jawaban ketus yang Stephanie berikan membuat Alex sempat tertegun. Stephanie tidak lagi memikirkan kalau pria ini bisa saja memberitahu apa yang dia katakan ke Aiden. “Dan juga selalu menyeramkan! Aku tidak tahu kenapa bisa semua perempuan mendambakan pria bernama Aden itu!” Setelah itu Stephanie langsung membanting pintu mobil dan akhirnya suara yang dihasilkan membuat Alex kembali tersadar.
Stephanie sudah menyiapkan kalimat pertamanya yang akan disampaikan saat bertemu dengan Aiden. Tetapi baru Stephanie masuk ke dalam ruangan milik Aiden, kalimat-kalimat itu langsung lenyap tak tahu kemana lantaran melihat Aiden yang duduk di kursi kebesarannya dengan sorot mata tajam ke arah Stephanie.
“Sudah puas bertemu dengannya lagi?” tanya Aiden yang perlahan-lahan bangkit lalu menghampiri Stephanie dan mendorongnya ke dinding. Kedua tangan Aiden diletakkan ke sebelah Stephanie supaya Stephanie tidak bisa pergi kemana-mana.
Napas Stephanie tercekat kala Aiden mendekatkan dirinya hingga tubuh mereka bersentuhan. Bahkan tangan Stephanie yang ada di dada Aiden tidak bisa menahan.
“Kau memang ingin sekali membuatku merasa marah, Sweetie?” Lagi, Aiden bertanya. Kali ini ekspresi wajahnya berubah. Rahangnya mengeras dengan kuat dan berhasil membuat nyali yang Stephanie sudah siapkan menciut seketika.
“A—aku hanya ingin m—menanyakan sesuatu kepadanya—”
“Tentang aku, bukan?” potong Aiden. Stephanie tidak menyangkal dikarenakan memang itulah kenyataannya. Mendengar Aiden yang menggeram lemah membuat Stephanie menutup matanya penuh takut. “Untuk apa keberadaanku jika aku tidak bisa menjelaskan itu kepadamu?”
“T—tapi kau tidak mau menjelaskan waktu itu, Aiden.” Walaupun ketakutan yang melingkupi, Stephanie masih berani menjawab.
“Aku tidak menjawab karena ingin menyusun kalimat supaya hatimu tidak sakit ketika mendengarnya.”
Dan begitu kagetnya Stephanie ketika mendengar jawaban dari Aiden. Dia terus menyelami manik cokelat itu.
“Aku bahkan menunda untuk menghubungimu agar kita bisa bertemu di waktu yang tepat sambil menjelaskan semuanya,” lanjut Aiden yang lagi-lagi berhasil membuat Stephanie semakin terkejut.
“A—apa?” tanya Stephanie takut disaat wajah Aiden mendekat ke wajahnya.
Cup
Aiden menempelkan bibirnya ke bibir seksi milik Stephanie. Kegiatan yang pria itu lakukan berhasil membuat seluruh tubuh Stephanie mematung tidak berdaya. Gerakan Aiden yang sangat lembut itu berhasil membuat Stephanie tidak meronta.
Ini kali pertama bagi Stephanie.
Disaat Aien memegang wajah Stephanie, disitu pula kesadaran Stephanie pulih seketika. “Apa yang kau lakukan—”
Tak ingin membiarkan Stephanie melanjut, Aiden kembali menyambar bibir itu. Tadinya hanya sebatas menempel, tapi kali ini bertambah liar karena lidah Aiden masuk ke dalam sana disaat bibir Stephanie terbuka.
Aiden menekan tubuh Stephanie dengan tubuhnya. Memegang terus wajah Stephanie supaya tetap pada tempatnya .... Gerakan penuh kelembutan yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie terlena perlahan-lahan.
Rasa kaget itu kini diganti dengan rasa penuh nikmat. Entah kenapa Stephanie bisa merasakan apa yang Aiden lakukan bukan karena nafsu, melainkan lebih berharga dari sekadar itu. Jangan pikir Stephanie akan membalasnya karena dia masih gengsi. Bukan hanya itu saja, Stephanie juga tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Sudah dibilang kalau ini adalah kali pertamanya.
“Aku sempat berpikir dimana letak manismu sampai-sampai kau dipanggil Sweetie.” Setelah pagutan mereka terlepas dan mereka berdua mengisi oksigen ke paru-paru, barulah Aiden kembali bersuara dengan pelan. “Ternyata letak manis yang paling besar ada di bibirmu,” lanjut Aiden yang menyapu bersih cairan yang tertinggal di bibir Stephanie dengan jarinya.
“Ini adalah hukuman karena kau telah melanggar peraturanku, Sweetie,” seru Aiden yang lalu membawa Stephanie duduk di kursi single sofa. Bukannya duduk di sebelah, Aden malah menarik Stephanie untuk duduk di pangkuannya.
Stephanie sudah ingin sekali bersuara. Dia sudah mempunyai kalimat di kepalanya tapi entah kenapa bibirnya sangat sulit dibuka— mereka saling berlawanan arah. Jadilah Stephanie yang hanya bisa pasrah diperlakukan begini.
Tapi satu hal ... jantung Stephanie terus saja berdebar dari awal ciuman itu sampai sekarang.
“Biarkan aku menjelaskan tentang pertanyaan yang ada dibenakmu.”
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S