Share

Bab 2

Keesokan harinya, Madeline bangun dari tidurnya.

Sebelum ia sadar sepenuhnya, satu kotak pil kontrasepsi dilemparkan ke arahnya.

“Minum ini.”

Madeline mengangkat kepalanya dan melihat Jeremy sudah berpakaian lengkap. Ia terlihat dingin dan elegan, sama sekali berbeda dengan iblis kasar di malam sebelumnya.

Menatap kotak pil kontrasepsi itu, jantung Madeline mulai gemetaran.

Ia sudah terlanjur hamil dan tidak seharusnya meminum pil kontrasepsi. Nekat meminumnya bisa mengakibatkan cacat pada bayinya.

“Kenapa kau tidak meminumnya? Kau ingin aku menyuapimu?”

Jeremy mulai gelisah saat melihat Madeline tidak segera bergerak.

“Madeline, aku peringatkan, ya. Jangan sedikitpun berpikir bahwa kau bisa mengandung anakku. Kau ini cuma manusia rendahan yang tidak punya malu yang menggigit tangan yang memberimu makan. Kau tidak pantas punya anak dariku!”

Kata-kata Jeremy menghantam jantung Madeline.

Sudah masuk musim panas, tapi Madeline bisa merasakan angin dingin menyerang hatinya dengan kejam.

Ia berharap seorang anak bisa menjadi terobosan baru dalam hubungan mereka, tapi kelihatannya ia terlalu naif.

Sekarang, ia bahkan tidak punya keberanian untuk bilang pada Jeremy kalau ia telah mengandung anaknya.

Maka dari itu, di bawah tatapan dingin dan waspada Jeremy, ia tidak punya pilihan. Ia mengeluarkan satu pil dan berpura-pura menelannya. Sebenarnya, ia menyembunyikan pil itu di bawah lidahnya.

Madeline merasa bersalah. Ia takut Jeremy bisa melihat apa yang ia lakukan. Namun, pada saat yang bersamaan, ponsel Jeremy berbunyi.

Jeremy melihat ke ID penelepon dan langsung menjawab panggilan telepon itu. Tiba-tiba, alisnya berkerut.

“Apa? Meredith mencoba bunuh diri? Aku datang sekarang!”

Madeline terkejut saat mendengar berita itu. Mer mencoba bunuh diri?

Ia mengabaikan rasa tidak nyaman di tubuhnya dan cepat-cepat membersihkan dirinya. Lalu, ia mengenakan sembarang pakaian dan berlari ke bawah.

Jeremy sudah menstarter mobil dan sudah akan melaju pergi. Akan tetapi, pintu kursi penumpang tiba-tiba terbuka.

“Bawa tangan kotormu pergi. Siapa memberimu ijin untuk duduk di mobilku?”

Kata-kata dingin dan tanpa hati pria itu membuat Madeline cepat-cepat menjauhkan tangannya. Ia selalu terlihat serendah debu setiap kali ia menatap Jeremy.

“Jeremy, aku khawatir dengan Mer. Biarkan aku pergi bersamamu.”

“Kau, khawatir? Bukankah kau akan jadi orang paling bahagia kalau Meredith mati?”

Jeremy menatapnya dengan tatapan dingin dan merendahkan. Kemudian, ia menginjak gas.

Wajah Madeline pucat. Setelah berdiri beberapa detik dalam kebingungan, ia memanggil taksi dan membuntuti mobil Jeremy.

Di Rumah Sakit Pusat Kota, Madeline mengikuti Jeremy ke sebuah ruangan.

Di sana, ia menyaksikan dengan perasaan khawatir di wajahnya saat Jeremy mendekati tempat tidur. Pada saat ini, Meredith terlihat duduk di tempat tidur dengan wajah pucat. Matanya basah, dan ia terlihat kecewa.

Bagaimana pun, untungnya Mer tidak lagi dalam bahaya. Madeline menghela nafas lega.

Saat Meredith melihat Jeremy, kepalanya terkulai. Ia ambruk dalam pelukannya dengan perasaan hancur.

“Jeremy…”

Mer memanggil nama Jeremy dengan lembut dan berkeluh kesah padanya dalam pelukannya.

Di mata Madeline, Jeremy dan Meredith terlihat seperti pasangan yang saling mencintai, sedangkan ia hanya orang luar.

Madeline menekan kesedihan di hatinya dan melangkah maju.

“Mer…”

“Dasar perempuan tidak tahu terima kasih kau, Madeline! Berani-beraninya kau datang dan menemui Meredith!”

Tepat pada saat Madeline akan melangkahkan kaki, sebuah suara penuh kemarahan membentaknya.

Suara itu terdengar familiar. Itu adalah suara ibu Meredith, Rose Tanner.

Madeline berbalik dan langsung menerima sebuah tamparan keras di wajahnya. Tamparan itu mengakibatkan pandangannya mengabur.

“Pelacur tidak tahu malu! Kami mengadopsimu karena kebaikan hati kami. Kami memberimu makan, membelikanmu pakaian, dan pada akhirnya, kau menjadi perempuan tak tahu terima kasih yang merampas tunangan Meredith!”

Tiba-tiba, Rose mulai berbicara tentang bagaimana ia tidur dengan Jeremy tiga bulan yang lalu. Bagaimana pun, ia tidak merencanakan hal itu untuk terjadi.

Madeline ingin memberi penjelasan, tapi ia menerima satu lagi tamparan di pipi yang satunya .

Sudut bibirnya mulai berdarah setelah menerima tamparan itu. Selanjutnya, ia mulai berkunang-kunang dan hampir roboh, sebagai hasilnya. Kemudian, Jon Crawford, ayahnya, berteriak di telinganya.

“Madeline, mulai hari ini dan seterusnya, kau bukan lagi seorang Crawford. Kami tidak punya seorang anak perempuan yang sangat tidak tahu malu dalam melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang ia mau!”

Setelah berkata demikian, Jon menendang Madeline.
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Flowkyu Ldree
kak, author pls jgn dengerin omongan orang "ah males bacanya, ceritanya gk seru" and blabla menurutku cerita bagus bgt kok semangat y kak!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status