Tahun 2020. Perkenalan.
Kurvaku menurun lagi. Mungkin hampir berjumpa pesimis. Saat ada keinginan lari agar segera tiba di tujuan, aku ragu. Apa masih bisa?"Luka akan sembuh." Itu kalimat yang kudengar.Iya. Lukaku juga. Bukannya sudah membaik sejak lama? atau masih ada luka yang terlalu dalam dan sulit pulih.Jujur saja, aku ingin bilang, pikiranku kosong, tapi sebenarnya tidak. Seperti selama aku hidup dan terjaga, atau dalam lamunan sekalipun. Lalu kosong itu di mana?Hatiku?Kenapa?Dalam hal ini aku bilang pada diri sendiri, sabar jika belum ada jawaban.Aku.Di bumi ini, di sebuah kota, di kamarku, bersama waktu berteman ke kanan.Perkenalkan! Ini tentangku. Bagian ini aku. Bukan dia, mereka, siapapun, atau kucing kesayanganku. Cukup aku kali ini. Diriku sendiri mencoba berkomunikasi, atau lebih tepatnya bercerita.Hari ini, dua hari sebelum ulang tahunku. Musim pancaroba dengan curah hujan yang tinggi. Jam 3 dini hari. Hujan deras. Itu! Di luar terdengar. Suhu di dalam ruangan menurun. Mulai terasa dingin.Aku kembali lagi di kamar ini. Masih mudah menemui gelisah, walau coba ditutupi dalam diam. Jika bicaraku bertambah, mungkin akan ada yang tau. Setidaknya itu yang kupikirkan. Aku putuskan untuk menutupi sisi yang tampak lemah dari diriku.Aku di dalam rumah sudah lama menjadi si sulung, melihat kepala keluarga yang gagah telah banyak berubah, melihat ibu di rumah dengan kerut yang bertambah. Selain itu, ada adik perempuanku yang sebentar lagi akan menikah dan si bungsu yang berusia sepuluh tahun.Aku di luar rumah. Kesekian kali tidak mampu bertahan di ruangan kantor dengan segudang variety show. Disalahkan. Salah lagi. Salah lagi. Kerjakan lalu kerajakan. Pokoknya kerajakan. Ada batas-batas terlewati. Aku memang tidak melawan, tapi bukan berarti aku menerima saja. Jika ini egoku, aku terbawa. Aku mundur. Aku ke luar saja. Padahal, berani sekali aku dengan kondisiku sekarang. Kebutuhanku sangat bergantung dari pendapatan tetap setiap bulan. Tabungan yang dimiliki juga belum seberapa. Sedikit malah. Di tambah, ini tahun di masa pandemi. Kasus terinfeksi yang dikonfirmasi juga semakin naik.Aku di dalam diri. Sendiri. Kesendirian. Setelah terpatahkan, masih menata hati. Belum ada pasangan. Kata umumnya, jomblo. Sedikit lebih halus, single. Status KTP belum menikah.Aku si pemimpi yang hampir kapok bermimpi. Mulai mengambil moto hidup layaknya air yang mengalir. Sebetulnya, itu manipulasi dari kondisiku "tidak tau lagi mau ngapain". Akhirnya jalanin saja. Bukan berarti sudah menyerah. Hanya pernah berkali-kali ingin, tapi tidak. Aku semakin sadar harus ada yang diperbaiki.Tiga tahun terakhir aku jarang sekali menangis. Walau ternyata, terkadang tidak menangis lebih menyakitkan dari pada menangis.Aku ingin lebih baik. Berjalan ke arah yang tepat bukan sebaliknya. Di balik pujian dari orang lain yang ku dapat, aku juga punya sisi tergelap. Sisi yang tidak boleh merenggut dan menarik diriku untuk jatuh, hingga makin sulit menjamah petunjuk. Sisi gelap yang ingin dihadirkan cahaya.Perjalananku bukan untuk dicontoh. Aku bisa menjadi protagonist bagi mereka, tapi aku juga punya sisi antagonist untuk beberapa orang. Aku memiliki perjalanan. Kita semua begitu. Perjalanan ini yang akan berakhir nantinya, membawa kita semua pulang.Tapi sebelum itu, dalam proses menjalaninya, mau berbagi kisah denganku?Namaku Khairiyah Hasanah.Lahir, tumbuh, layu, setelah itu perjalan kembali ke sana. Keabadian."Pak! Anaknya perempuan."Angka kelahiran di Indonesia bertambah. di Hari Rabu bulan ke dua. Tahun 1992.Kelahiranku. Apa sudah tercatat di Badan Pusat Statistik? Kapan ya dicatatnya?Aku hampir kehilangan semua memori di awal 90an. Beberapa potongan kenangan masih tersimpan walau bukan ingatan utuh.Dahulu aku masih terbayang pagi yang sangat sejuk. Udara bersih. Tinggal di sebuah perumahan untuk karyawan BUMN di kawasan Puncak, Bogor. Hampir setiap hari bermain di sekitar kebun teh. Memetik buahnya yang kecil untuk main masak-masakan.Di sana, aku juga mulai bersekolah. Setiap pagi aku melewati lapangan sepak bola untuk sampai ke sekolah dasar. Begitupun saat pulang. Sesampainya di kelas, kaos kaki berenda yang kupakai banyak tersangkut rumput liar dan ilalang yang kusebut domdoman.Aku anak perempuan yang hampir tidak pernah lupa mengikat ram
Kenalan lagi.Di hari ini aku masih bisa melangkah, ada kekuatan bukan hanya dari diri sendiri. Ada penggerak dari tanggung jawab dan pembuktian eksistensi pribadi.Gimana kalau kulanjutkan perkenalannya?Salam kenal! Panggil saja Ayri.Sebelum melanjutkan cerita, aku ingin bilang maaf, jika nanti ada bagian-bagian yang terpotong. Karena bagiku, walau pernah bertemu, pernah mengenal, pernah saling sapa, atau miliki suatu hubungan. Ada bagian dalam hidup yang tidak bisa sepenuhnya aku ceritakan. Seberapa sering aku mencoba dan terus mencoba, tetap tidak bisa ku utarakan. Akhirnya, hanya akan jadi cerita antara aku dan Sang Maha Pencipta yang tau seutuhnya. Semoga kamu bisa mengerti.Jadi malam ini aku sempat cari musik relaksasi di mobile app. Aku tulis keyword nature sound untuk menemani tidur. Aku akui, yang betulan itu memang jauh lebih baik. Lebih terasa ketulusannya. Aku dengar suara hujan di luar rumah. Lagi. Suda
Ad.Sebelum aku menceritakan tentangnya. Begitu saja ada satu helaian nafas. Seorang yang ku kenal lebih rumit dari pelajaran Matematika. Pelajaran dengan nilai terendahku.Mungkin seperti memahami pelajaran Matematika di bangku sekolah ataupun kuliah. Memahami Ad, mengharuskanku menghadapi remedial tidak hanya sekali. Hampir tidak pernah berhasil memahaminya hanya dengan satu kali proses berpikir.Adil Budi Winata.Abjad nama yang sering ada di list absensi atas. Tapi, sepertinya tidak menjadi tekanan untuknya. Jika guru memanggil kami sesuai urutan absensi untuk menjawab soal, kebanyakan dijawab dengan benar dan tenang.Tidak selalu akur berteman dengannya. Aku lebih akur dengan teman-teman perempuanku daripada Ad. Apalagi jika dia bersekongkol untuk jahil. Pertengkaran kami tidak bisa dihindarkan.Saat itu, sudah memasuki Tahun 2000an. Era millennium sebutannya. Mungkin dari situ, kata Millennial muncul
Jatuh cinta dan patah hati.Bukan Ad. Remaja yang pertama kali buatku gugup, bahkan bicaraku terbata-bata saat dengannya. Tidak mampu menatap matanya terlalu lama saat bicara. Seniorku. Satu tahun di atasku.Awalnya aku tidak mengerti, apa yg aku rasakan kala itu. Ketertarikan sudah datang sejak awal melihatnya di sekolah. Lalu, mengenal pribadinya yang sangat ramah membuatku tambah tertarik.Saat sama-sama menjadi panitia masa orientasi siswa, aku dan senior itu mulai memiliki sedikit progress. Istilah yang masih ada hingga kini adalah PDKT (pendekatan). Aku sangat berharap padanya. Mungkin setelah memendam selama setahun, cinta pertamaku bisa menjadi pacar pertamaku. Walau banyak yang bilang, di masa itu yang ada hanyalah cinta monyet. Perasaan suka yang muncul, namun gampang hilang dan terlupa. Nyatanya, aku juga masih mengingat kisah ini. Kisah tentang cinta dan patah hati pertamaku.Di lorong kelas sebelum mengikuti latihan ba
Kenangan bersama.Karena semalaman insomniaku kumat. Aku baru bisa tidur setelah sholat subuh. Terbangun jam sepuluh lewat. Masih mengumpulkan energi sebelum bangun dari tempat tidur. Mata terbuka lalu terpejam lagi. Beberapa kali hingga benar-benar siap bangun.Saat melihat ke arah kiri. Di sebelah tempat tidur, kedua mata bulat memperhatikan. Bau yang khas membuatku beberapa kali menciuminya, hingga dia kesal dan turun dari tempat tidur.Di depan pintu mencoba membukanya sambil menarik-narik gagang pintu dengan tangan bulatnya yang berbulu. Motifnya belang. Namanya Elang. Kucingku."Lang..! Laper? Tunggu bentar yah," kataku.Elang berjalan sambil mengeong ke arah tempat makannya. Aku mengambil toples berisi dry food khusus untuk kucing penderita gangguan ginjal. Hanya sedikit yang di makan. Aku lanjut memberinya wet food dicampur vitamin.Aku dengar suara ibu membukakan pintu untuk tamu. Tamu dengan suara yang aku kenal.
Tahun 2007.Kata-kata yang bagai disembunyikan namun menusuk. Melukaiku lagi. Membuatku berpikir berulang-ulang. Apa ini kesalahanku lagi?Terkadang berada di dalam kamar ini membuatku tertekan. Saat aku berharap ditopang, aku semakin goyah. Saat aku menguatkan diri sendiri, seluruh tubuhku rasanya sakit.Tapi, kecewa mungkin masih terjadi. Aku khawatir karena tidak bisa dihindari. Hidup ini masih berlanjut.Usiaku lima belas kala itu.Aku ingin apa yang aku ketahui itu mimpi. Sudah berhari-hari aku tidak ke luar rumah. Sebagian besar ku habiskan di kamar. Entah, sudah berapa lama.Kata-kata mereka hanya berlalu. Tidak membuahkan hasil, karena hatiku bagai hancur. Aku bahkan lelah meneteskan air mata yang sulit dikendalikan. Aku takut mengenang. Kenangan yang membuatku tambah menyesal. Semakin aku teringat, aku ingin menemuinya.Ibu mengetuk pintu kamarku sebelum membukanya. Membawakan sepiring nasi dan lauk pauk
Putih abu-abu.Lambang osis berganti warna. Rok yang aku kenakan juga. Seragamku berubah ke putih abu-abu. Lokasi sekolah jadi lumayan jauh dari rumah.Berangkat sekolah. Aku ke luar rumah menuju pekarangan. Ternyata Ad sudah berdiri di sana."Ad!"Dia menoleh. Tanpa banyak bicara, kami berjalan kaki ke luar kompleks. Tak lama, angkot biru berhenti, menawari untuk naik. Seperti sebelumnya, kami berangkat sekolah bersama. Kali ini butuh waktu sekitar 30-45 menit untuk sampai. Kami juga perlu dua kali naik angkot. Selama di angkot, mataku sering terpejam untuk beberapa saat. Aku masih mengantuk.Udara dinging mulai menghangat. Matahari makin nampak. Angkot ke dua yang kami naiki sudah berhenti. Ad menepuk bahuku."Ayo turun!"Dia menawariku untuk membawakan tas."Ga usah.""Lo pucet banget. Sakit?""Nggak. Lagi period."Wajahnya bingung."Period perempuan. Datang
Nabilah dan Ralina.Mobil yang kami sewa online berhenti di salah satu pusat belanja peralatan rumah tangga. Enam bulan yang lalu, Nabilah menikah dengan laki-laki pilihannya. Tapi setelah menikah, keduanya masih harus terpisah karena urusan pekerjaan. Selain itu, Nabilah juga belum bisa ikut suaminya karena ibunya masih harus menjalani pemeriksaan rutin.Setelah membeli beberapa peralatan dapur, kami menyewa mobil online lagi. Sampai di salah satu cafe bertema warung kopi. Menu yang ditawarkan aneka camilan lokal dengan teh atau kopi tubruk. Terdapat area outdoor yang cukup luas dan sangat nyaman. Sebelum masuk, aku dan Nabilah menjalani protokol kesehatan. Cek Suhu dan mencuci tangan. Jarak antar meja cukup jauh. Jumlah pengunjung sangat dibatasi. Seminggu lalu cafe ini buka kembali. Waktu operational yang diijinkan hingga jam enam sore.Di sana, Ralina sudah menunggu."Banyak banget belanjaannya. Kayak mau pindahan.""Emang