"Ta, Lo lagi di mana?" tanya Ara lewat sambungan telepon. Tangan kanan Ara gunakan untuk memegang ponsel yang sedang didekatkannya ke telinga, sedangkan tangan kirinya memegang gagang koper yang ia bawa dari rumah.
"Ya gue lagi di kost lah, Ra, emangnya kenapa?" jawab teman Ara di seberang sana.
"Gue lagi di jalan mau ke kost-an lo, takutnya lo nggak ada," terang Ara.
"Ya elah, mau ke sini aja pake tanya dulu, biasanya juga langsung ke sini."
"Ini penting, Ta, menyangkut kehidupan gue selanjutnya," ujar Ara sedikit mendramatisir. Kalau boleh Ara tebak, sahabatnya yang sedang dihubungi itu, pasti memutarkan bola mata, sebal dengan ucapan Ara.
"Lebay lo, ah. Udah mau jadi ke sini apa enggak? Gue tunggu nih, satu jam lagi gue mau nge-date sama cowok gue."
"Iya, iya, gue ke kost lo sekarang. Jangan pergi dulu sebelum gue dateng."
Ara memutuskan panggilan. Mematikan ponsel mahalnya, lalu memasukkannya pada saku celana jeans yang ia kenakan.
Menepuk jidat, lalu kembali mengeluarkan ponselnya. Ada sesuatu yang ia lupakan.
Membuka ponsel, dan langsung mencari aplikasi ojek online. Ara akan memesannya sebagai transportasi yang akan mengantarnya ke kediaman sahabat yang baru saja dihubungi.
Lima belas menit menunggu, ojek online yang dipesannya pun datang.
"Dengan Mbak Ara?" tanya driver ojek online.
"Iya, saya, Pak. Ayo cepetan anterin saya ke lokasi." Dengan tanpa basa-basi, Ara menghampiri ojek online itu, dan langsung naik di belakang driver.
========Aufa=========
"Metaa ... gue di depan nih," teriak Ara begitu sampai di depan kamar kost Meta--sahabatnya yang tadi ia hubungi.
Tak ada jawaban, hingga membuat Ara berdecak sebal. Selalu begini ketika datang ke kost-an Meta, lama dibukakan pintunya.
"Metaaa ... ini gue Ara, udah di depan kamar lo nih, bukain gih." Sekali lagi Ara berteriak, tak lupa kamar kost sahabatnya itu ia gebrak dengan sedikit bar-bar, hingga menarik perhatian dari tetangga kost Meta. Untung saja para tetangga kost Meta tak ada yang berani menegur perbuatan Ara itu.
"Berisik! Lo tuh bisa manggil baik-baik nggak sih?" Tak disangka ternyata sang empu kamar kost datang dari arah belakang Ara. Sontak Ara pun membalikkan badannya.
"Hehe, lagian lo sih, dipanggil dari tadi nggak nyaut-nyaut, taunya malah dari mana lo?" Ara memicingkan matanya pada sahabatnya yang tengah mengusap-usap rambut panjangnya dengan handuk.
"Lo nggak liat nih, gue habis mandi." Meta menunjukkan rambutnya yang basah. "Lo ngapain ke sini bawa koper segala?" Kini pandangan Meta beralih pada koper yang sedari tadi teronggok di depan kamar kost-nya. Meta bisa menebak jika koper itu pasti milik Ara.
"Gue kabur dari rumah, Ta," bisik Ara.
"What?! Kabur dari rumah?" pekik Meta, dan seketika membuat Ara yang berdiri di depannya berjengit. "Serius lo?"
Ara berdecak, ia tak menyangka jikalau reaksi sahabatnya akan selebay ini setelah mengetahui dirinya kabur dari rumah.
"Jangan keras-keras napa sih, lebay banget lo denger gue kabur," cibir Ara.
"Ya lagian gue heran, Ra, lo kabur kek gini, ada apa coba?"
"Ntar gue ceritain deh. Udah buruan lo buka pintunya, gue udah pegel nih, dari tadi berdiri terus."
=============Aufa=============
"Oh, jadi gitu." Meta manggut-manggut setelah Ara menceritakan perihal dirinya yang melarikan diri dari rumah. "Terus habis ini mau tinggal di mana?"
Pertanyaan Meta seperti itulah yang sedari tadi berkeliaran dalam pikiran Ara. Tentang di mana ia akan melanjutkan hidup setelah memilih pergi dari rumah.
Ara menghembuskan napas pelan. Jujur ia kini tengah dilanda kebingungan yang teramat sangat.
"Gue juga bingung, Ta, mau tinggal di mana," keluh Ara.
Ucapan Ara bukannya mendapatkan simpati dari Meta, tetapi justru memperoleh gelengan kepala dari sahabatnya itu.
"Lo tuh aneh, Ra, harusnya sebelum kabur dari rumah, lo mikirin dulu di mana lo mau tinggal. Nih, gue kasih tawaran, lo bisa tinggal sama gue di sini, entar biaya bulanannya kita patungan deh. Gue kurang baik gimana coba?" Meta menawarkan tumpangan hidup.
"Ogah gue tinggal bareng sama lo kalo di sini, sumpek, sempit banget tau," ucap Ara sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan kost milik sahabatnya itu.
Meta mencebik mendengar pernyataan Ara. Meski sempit begini, buktinya Ara sering main ke sini, dan berlama-lama di sini.
Sebenarnya Meta juga merasakan hal yang sama dengan Ara tentang kondisi kamar kost-nya ini, tapi mau bagaimana lagi, kamar kost yang ia sewa ini adalah yang paling murah di kota ini.
"Lagian salah lo sendiri, Ra, main kabur-kabur segala. Udah bener hidup enak di rumah mewah, eh, malah milih pergi. Otak lo kayaknya konslet deh, Ra," ujar Meta dengan menggebu-gebu.
Ara memukul kepala Meta dengan bantal guling, hingga membuat yang dipukul mengaduh kesakitan.
"Sembarangan lo kalau ngomong! Lo lupa, nilai IPK gue lebih tinggi dari nilai lo." Ara balas menghina. Bukan tak terima dibulli Meta, namun seperti itulah gaya bersahabat dua sejoli ini.
"Iyaa, sorri ...." Meta mengusap-usap kepalanya yang tadi dipukul sama bantal guling, meski sebenarnya tidak begitu sakit. "Eh, gue keluar dulu ya, pacar gue udah sampai di depan gerbang."
=====Aufa=====
Setelah kepergian Meta, Ara memutuskan untuk tidur di kasur lantai punya Meta. Pergi ke alam mimpi mungkin jauh lebih baik daripada ia terus memikirkan nasib hidupnya setelah ini.
Satu jam berbaring, ternyata tak membuat Ara terlelap. Membolak-balikkan badan ke kanan dan ke kiri, namun tak jua membawanya hilang ke alam mimpi.
"Ya Alloh ... Ara lelah, huft," keluh Ara.
Dalam pikiran Ara, mungkin saja mamanya kini tengah bersedih hati setelah tahu dirinya pergi dari rumah. Bukan tak sayang, pada wanita yang telah melahirkannya itu, namun dirinya bertekad ingin hidup mandiri setelah selesai kuliah, seperti apa yang diceritakannya pada Meta tadi.
Ingin hidup mandiri sebenarnya bukan satu-satunya alasan yang membuat Ara memilih pergi dari rumah, ada alasan lain yang tak bisa ia ungkapkan pada Meta. Walaupun Meta sahabatnya, namun Ara tidak bisa jika harus menceritakan sesuatu yang menurutnya lumayan intens.
Ponsel berlogo apel yang tergigit separuh milik Ara, berdering. Segera ia mengambilnya dari atas nakas. Terpampang di layar nama 'My Mom' memanggil.
Ara bingung mau mengangkatnya atau tidak, namun jika mengabaikannya, ia akan semakin merasa bersalah.
"Iya, Ma," ucap Ara setelah memutuskan untuk menerima panggilan.
"Sayang, kamu di mana sekarang? Kata bibi kamu pergi bawa koper. Jangan buat mama khawatir, Ara."
"Ara baik-baik aja kok, Ma, jangan khawatir. Ara cuma pengen hidup mandiri aja, lagian Ara kan udah selesai kuliahnya, udah waktunya buat Ara pergi dari rumah buat cari kerja, nggak enak kalau Ara terus-terusan numpang hidup sama ayah," tutur Ara seraya menahan agar air matanya jangan sampai keluar.
"Sayang, kamu ngomong apa sih? Jangan gitu ah, kalau kamu pengen kerja, kamu nggak harus pergi dari rumah, Ara. Meskipun ayah bukan papa kandung kamu, tapi dia selalu menganggap kamu seperti anak kandungnya sendiri, dan nggak pernah nganggap kamu numpang hidup. Sekarang kamu bilang ada di mana, biar mama suruh supir buat jemput kamu."
Bukannya menuruti perintah ibunya, untuk memberi tahu keberadaannya sekarang, Ara justru memutuskan panggilan sepihak. Tentu ia tak mau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang berhubungan dengan keluarganya.
To be continue
Mohon kritik dan sarannya
"Apa! Ara pergi dari rumah, Ma?" tanya Dedy--ayah tiri Ara pada Wanda--istrinya yang merupakan ibu kandung Ara.Sepulang bekerja yang Dedy harapkan adalah ketenangan serta kedamaian seperti biasa. Disambut oleh senyuman hangat sang istri, dan tingkah ceria Ara, namun yang Dedy dapat justru aduan kesedihan dari istrinya karena Ara pergi.Meskipun Ara hanya anak tiri, tetapi Dedy telah menganggapnya seperti anak kandungnya. Kehadiran Wanda serta Ara di rumah ini mampu membuat hari-harinya terasa lebih berwarna setelah kematian istri pertamanya dulu.Dedy memang mempunyai anak dari istri pertamanya. Usianya lima tahun lebih tua dari Ara, namun karena anak kandungnya itu laki-laki, dan cenderung dingin, maka bisa dikatakan kurang dekat dengan Dedy. Justru Aralah yang lebih dekat dengannya, meskipun statusnya anak tiri."Iya, Yah," jawab Wanda sembari terisak.Meskipun tadi Wanda telah menghubungi Ara, dan menanyakan tenta
"Ra, serius nih, kita mau pindah ke Bandung?" tanya Meta pada Ara yang tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Beruntung tak banyak barang yang kemarin ia unbox di kost-an Meta."Lo masih ngeraguin keputusan gue? Atau lo takut nanti kita nggak bisa hidup di Bandung?""Gue ragu, Ra, lo kan tau sendiri kalau gue nggak pernah ke Bandung." Meta mengeluarkan apa yang sedari tadi bersarang di benaknya. "Apalagi ini terlalu mendadak, Ra."Memang sangat mendadak. Baru tadi malam Meta menceritakan bahwa Bobi--pacarnya dimutasi ke Bandung, saat itu juga Ara langsung mengeluarkan pendapatnya untuk ikutan pindah ke Bandung. Tanpa pemikiran yang matang, dan terkesan tergesa-gesa, hari ini Ara langsung menyatakan pindah."Lo tenang aja deh, gue jamin kita nggak akan mati di sana." Benar kan pemikiran Ara?"Gue punya temen yang udah lama kerja di sana, Ta, entar kita bisa minta tolong sama dia, tad
"Aduh, Ra, gimana ini? Dari tadi tuh kita udah muter-muter nyari tempat tinggal temen lo, tapi nggak ketemu juga. Capek nih gue, kaki gue rasanya mau copot," gerutu Meta.Ara memutarkan bola matanya. Sahabatnya yang satu itu memang lebay alias over dengan sesuatu yang terjadi dengan mereka. Padahal menurut Ara mereka baru saja tiba di komplek kontrakan yang ditempati temannya, dan baru saja jalan sebentar."Berlebihan lo, Ta, baru aja kita jalan sebentar. Dari tadi tuh kita muter-muternya naik ojol sampai keluar duit banyak gue," timpal Ara."Halah, duit dari penjualan ponsel lo yang mahal itu masih banyak kali, Ra, nggak bakal habis cuma buat bayarin ojol doang," kata Meta dengan tanpa rasa bersalahnya.Ingin rasanya Ara menampol mulut sahabatnya itu, namun ia tahan, karena tentu saja malu melakukannya di jalan seperti ini. Dalam hati Ara bertekad akan memberi pelajaran pada sahabatnya itu setelah mereka mendapatkan tempat tinggal
"Kak Arum, rencananya hari ini aku sama Meta mau nyari kontrakan, Kak, apa kak Arum bisa bantu?" tanya Ara pada Arum yang sepagi ini sudah menyiapkan sarapan, sedangkan Meta masih asyik bergelung dengan selimut."Lho, ngapain nyari kontrakan, Ra? Kamu sama Meta bisa tinggal di sini bareng sama aku," jawab Arum. Ia heran kenapa Ara memintanya membantu untuk mencari kontrakan. Ia pikir Ara akan tetap tinggal bersamanya, begitu pula dengan Meta. Tidak masalah jika kost-nya yang sempit ini akan menjadi sangat sempit karena ditempati bertiga."Makasih, Kak, buat tawarannya, tapi aku sama Meta udah bertekad buat belajar hidup mandiri, Kak, jadi nggak mau ngerepotin siapa pun termasuk kak Arum," ucap Ara. Semalam ia sudah mendiskusikan ini dengan Meta.Arum mengangguk paham. "Oke, aku ngerti, Ra. Nanti aku bantuin kamu buat cari kontrakan. Mau tipe yang seperti apa?"Ara berpikir sambil menerawang. Kontrakan yang ia cari haruslah s
"Nah, Ara, Meta, ini komplek kost teman aku," ucap Arum ketika mereka telah sampai di depan gerbang komplek kost teman Arum.Ara manggut-manggut, sementara Meta mengedarkan pandangan matanya pada sekeliling komplek kost yang baru saja mereka datangi.Tidak buruk. Seenggaknya terlihat rapi dan sedikit asri. Beda dengan komplek kost Arum."Di sini satu tempat kost-nya lumayan luas, jadi mungkin cukup buat dua orang. Nanti aku tanya sama temen kost-ku, masih ada kamar kosong apa enggak," lanjut Arum."Iya, Kak, kita ngikut aja deh," kata Meta.Selanjutnya Arum mengajak Ara dan Meta untuk memasuki komplek kost itu. Menyusuri lorong kamar kost, menuju tempat teman Arum."Ini kamar kost teman aku, sebentar ya, aku panggil dulu orangnya," ujar Arum saat mereka berada di depan salah satu kamar kost.Ara dan Meta sama-sama diam. Berdiri sambil memperhatikan sekeliling komplek kost ini. Ji
"Halo, Nak. Ara pergi dari rumah," ucap Dedy melalui telepon. Sekarang ia sedang menghubungi anak laki-lakinya yang tengah berada di luar kota."Apa?! Pergi dari rumah? Kenapa bisa, Yah?" tanya anak laki-laki Dedy."Ayah tidak tahu alasan secara jelasnya, Nak. Sekarang kamu ada di kota mana?""Aku di Bandung, Yah.""Boleh ayah minta tolong, Nak?""Kalau aku bisa kenapa tidak, Yah?""Nak, menurut informasi orang-orang ayah yang ayah suruh untuk mencari Ara, kemungkinan besar Ara ada di luar kota Jakarta, tapi kami tidak tahu persisnya di mana. Apa kamu bisa tolongin ayah buat mencari Ara di Bandung? Ya, meskipun belum tentu juga Ara ada di Bandung.""Baik, Yah, aku akan coba cari Ara di Bandung.""Terima kasih, ya, Nak.""Ini kan sudah kewajiban aku, Yah, Ara sudah aku anggap sebagai adik kandungku."Dedy bernapas lega. Setidaknya anak kandungnya bersedia
"Gini, di kantor gue lagi butuh orang buat ditempatin di divisi marketing, sama sekretaris CEO. Coba aja kalian bawa surat lamaran ke sana, nanti gue kasih tahu alamat kantornya sama kalian," ujar Bobi pada Meta, dan Ara. Saat ini mereka bertiga tengah bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kontrakan. Ara, dan Meta menunda mencari pekerjaan karena Bobi mengajak bertemu."Oh, gitu ya, Say, boleh tuh, kan jadinya kita bisa kerja bareng sekantor," kata Meta sambil bergelayut manja di lengan Bobi. Bobi pun tersenyum pada Meta, dan tampak menikmati perlakuan Meta. Sementara Ara hanya mencebik melihat tingkah lebay temannya yang sedang kasmaran itu."Eh, Bob, emang nggak bisa, ya, kalau surat lamarannya dititipin ke lo?" tanya Ara.Ara berpikir jika surat lamaran kerja dititipkan pada Bobi, yang notabene-nya karyawan kantor itu, tentu lebih efisien. Dan yang penting juga bisa irit ongkos."Nggak bisa kayaknya, Ra, haru
Sang surya tampak bersinar cerah pagi ini. Secerah hati dua insan yang tengah bersiap-siap untuk pergi, menyambut masa depan. Ara, dan Meta sudah rapi. Seperti rencananya kemarin, hari ini mereka berdua akan berkunjung ke kantor tempat Bobi bekerja, guna mengantar surat lamaran kerja. Syukur-syukur jika nanti bisa langsung interview, lalu diterima kerja. Seindah itulah membayangkan. Namun, kenyataannya, realita tak seindah seperti khayalan kita. Tapi, apa salahnya berharap, dan mencoba bukan? "Dah, siap! Yuk, berangkat," ajak Ara, selepas ia memakai sepatu. "Ya, udah ayo jalan," kata Meta sambil sibuk dengan cermin kecil di tangannya, yang ia hadapkan pada wajahnya. "Awas, nanti lo tersandung kalau jalannya liatin cermin terus. Muka lo nggak bakalan berkurang kali," cibir Ara. Meta tak menjawab cibiran Ara. Ia hanya mendengkus sebal. Hari ini mood-nya cukup baik, jadi enggan merusaknya