Hidup itu penuh tantangan, hadapi saja walau dengan sangat terpaksa.***“Aku tidak mengerti apa yang Anda bicarakan, Tuan Song,” sanggah Ansel. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar.”Ansel memasang wajah dingin dan acuh tak acuh, seperti tak butuh. Memandangi Chin Hwa dan Qeiza silih berganti.“Jika masih ada yang ingin diubah, bukankah akan lebih cepat kalau Nona Kim berada di kantor yang sama denganku?” tanyanya. “Aku tidak perlu repot-repot menghubungi Anda dan dia tidak perlu bersusah payah, bolak-balik ke sana kemari dengan tujuan yang sama. Cukup simpel, bukan?”Alasan yang dikemukakan Ansel terdengar logis sehingga Chin Hwa dan Qeiza sama-sama dibuat tak berkutik. Meskipun hati keduanya masih diliputi keraguan, mereka tidak layak untuk menuruti prasangka buruk itu.“Atau … jangan-jangan desain ini bukan hasil karya Nona Kim?” tuding Ansel, sengaja menyerang ego dan harga diri rekan bisnis di depannya itu, terutama Qeiza.Qeiza mengepal erat kedua tangannya. Dia
“Silakan duduk, Nona Kim!”Setelah mampu menguasai diri dan menetralisir kegugupannya, Ansel mempersilakan Qeiza duduk di sisi Utara ruang kerjanya.“Aku sudah meminta Xander untuk menyiapkan ruangan khusus untukmu,” beritahu Ansel.“Terima kasih,” kata Qeiza.Ia langsung bergerak bangkit dari sofa yang baru saja didudukinya. Tadi dia sempat berbincang dengan resepsionis yang mengantarnya dan dia sudah menanyakan itu. Tanpa diberitahu Ansel pun, dia tidak akan tersesat mencari ruang kerjanya sendiri.“Mau ke mana?”Ansel bertanya sambil menahan geram. Belum pernah ia ditinggal pergi begitu saja oleh seorang wanita, kecuali Qeiza.“Tentu saja ke ruanganku,” jawab Qeiza santai. “Bukankah Anda ingin aku menyelesaikan desain itu secepatnya, Tuan Ansel?”Qeiza sengaja memberi penekanan pada kalimat terakhir dan juga sapaannya kepada Ansel.“Tidak secepat itu, Nona!” cegah Ansel. “Masih ada peraturan yang perlu kau ketahui dan ingat dengan baik.”“Katakan saja! Anda adalah rajanya.”Qeiza be
Apa pun yang kau inginkan, butuh perjuangan dan kesungguhan untuk mewujudkannya.***Pandangan Xander terpaku pada sosok Qeiza yang sedang berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Sudah dua hari Xander mengamati wajah Qeiza dengan sangat teliti dari kejauhan.“Aku yakin sekali gadis itu adalah Nona Qeiza,” gumam Xander berulang kali pada diri sendiri.Xander membuka data diri Qeiza yang berhasil dihimpunnya. Data terakhir menginformasikan bahwa mantan istri bosnya itu telah menamatkan program pascasarjana-nya beberapa bulan yang lalu dari salah satu universitas ternama di kota ini.Jadi, tidak mengherankan bila dia bisa memperoleh pekerjaan dengan sangat mudah di sini. Masalahnya, gadis yang diyakininya sebagai Qeiza itu justru bernama Kim Ae Ri.Xander tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Apakah hanya sebuah kebetulan mereka memiliki kesamaan wajah? Atau memang Qeiza yang telah mengubah identitasnya secara rahasia?“Aaargh!” Xander menggeram bingung.Bagaimana mungkin dia memberitah
Qeiza baru saja melipat sajadahnya. Dia salat zuhur di dalam ruang kerjanya dengan menyekat bagian sudut ruangan itu, sekadar cukup untuk ia menunaikan kewajibannya tanpa harus bersusah payah keluar dari kantor Ansel.Wajah segar Qeiza tersenyum semringah setelah menyambar arloji yang diletakkannya di atas meja. Masih lumayan banyak waktu tersisa untuk menikmati santap siang. Namun, belum sampai tangannya meraih handle pintu, pintu itu sudah terbuka dari luar.Ansel sudah berdiri dua langkah di depannya dengan tangan menenteng kotak berisi makanan dan minuman.“Kau hampir saja melewatkan makan siang,” kata Ansel.Dia mengangkat kotak makanan di tangannya sedikit lebih tinggi, bahkan nyaris menyamai ketinggian wajah Qeiza.Tanpa memedulikan ekspresi tidak senang Qeiza ataupun persetujuan gadis itu, Ansel langsung merangsek masuk dengan penuh percaya diri.Dia langsung duduk di atas sofa dan membuka kotak makanan yang dibawanya.“Ayo duduk sini!” ajaknya. “Aku sengaja meminta Xander memb
Melewati batas hanya akan mendatangkan masalah.***“Aaah, rasanya aku baru saja kembali dari medan perang.”Qeiza mengempaskan diri di atas kursinya, bersandar lesu dengan kedua tangan menjuntai lemas. Dia benar-benar merasa sangat lelah.“Ansel memperlakukanmu dengan buruk?”Qeiza tersentak. Segera ia memperbaiki posisi duduknya. Dia mengutuk keteledorannya yang tidak memperhatikan meja kerja Chin Hwa.“Kau sudah pulang?” tanya Qeiza. “Seharusnya besok, kan?”Chin Hwa berjalan mendatangi meja Qeiza. “Jadwalnya sih iya, tapi agendanya dipercepat. Jadi, aku bisa pulang lebih awal.”“Oh.”Qeiza cuma ber-oh tanpa mengeluarkan suara. Dia pikir Chin Hwa masih di luar negeri.“Katakan padaku!” ujar Chin Hwa. “Apa Ansel bersikap tidak sopan?”Qeiza membuang napas kencang. “Enggak sih, tapi dia membuatku lelah.”“Huh? Dia sering memintamu lembur?”“Tidak juga.”“Lalu?”“Entahlah. Aku benci sikap diktatornya,” jelas Qeiza. “Sedikit posesif juga.”Chin Hwa mengulum senyum. “Hajar saja kalau dia
“Ansel? Apa-apaan kamu?” cicit Qeiza.Akan tetapi, Ansel tak memedulikan protes Qeiza. Dia membuka pintu mobil dan mendorong Qeiza dengan kasar. Kemudian, ia membanting daun pintu tanpa kata.Chin Hwa hanya bisa melongo, menatap kepergian Qeiza yang diculik Ansel di depan matanya. Giginya bergemeletuk menahan geram. Kedua tangannya pun terkepal. Mata cokelatnya berkilat berang.“Ansel … kau telah melewati batas!”Duduk bergeming di samping Ansel, Qeiza menatap lurus ke depan. Dia mengelem mulutnya dengan sangat rapat setiap kali lelaki itu mengajaknya berbicara.Teringat ia telah meninggalkan Chin Hwa tanpa sempat pamit, Qeiza merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Namun, secepat kilat tangan Ansel menyambar gawai itu.“Jangan pernah menghubungi lelaki lain saat kau bersamaku!”Qeiza mendelik keki. Sejak kapan lelaki itu begitu berambisi untuk mengendalikan hidupnya. Empat tahun terikat dalam tali pernikahan, tak pernah sekali pun Ansel menghubunginya. Jangankan mengajaknya pergi meni
Jika ingin menangkap kupu-kupu, tanamlah kumpulan bunga adiwarna. Jangan pernah memburunya karena semua usahamu akan berakhir sia-sia.***Jantung Qeiza berdetak dengan sangat cepat. Dia ingin memberontak, tetapi tenaga lelaki yang menyeretnya jauh lebih kuat.Saat menyadari dia diseret keluar dari restoran itu lewat pintu belakang, Qeiza mencoba menyikut lelaki tersebut.“Akh!”Terdengar pekik mengaduh. Bergegas Qeiza balik badan, siap melancarkan serangan susulan yang mengarah kepada aset pribadi lelaki itu.“Tahan, Ae Ri!” Lelaki itu berteriak, menghentikan gerakan Qeiza. “Ini aku, Chin Hwa.”“Oppa?”Qeiza tercengang. Dia tak menduga bosnya itu akan mengikutinya.“Ssstt!”Mendugas Chin Hwa menarik tangan Qeiza, bersembunyi dengan berjalan membungkuk dari mobil ke mobil hingga tiba di mobilnya sendiri.“Cepat masuk!” perintah Chin Hwa.Tatapan matanya terus mengawasi gerakan Ansel dari dalam restoran. Tampak lelaki itu melirik jam di pergelangan tangannya, lalu bangkit dari tempat du
Netra gelap Ansel terlihat semakin kelam laksana lubang hitam yang siap mengisap segala sesuatu yang mendekatinya, apalagi menyinggungnya.Chin Hwa bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati sofa. “Sebaiknya Anda duduk dulu,” ujar Chin Hwa. “Dan ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi!”Ansel menyelisik ekspresi Chin Hwa dengan tatapan tajamnya. Lelaki itu tampak tenang, seakan dia sungguh-sungguh tidak mengetahui keberadaan Qeiza. Ansel pun tidak bisa bersikeras dengan prasangkanya.“Tidak usah,” tolak Ansel.Dia langsung balik badan dan meninggalkan ruangan Chin Hwa tanpa mengucapkan permintaan maaf. Gurat kekecewaan melebur bersama kemarahan pada wajah tampannya.Chin Hwa menatap punggung Ansel yang semakin menjauh dengan pandangan dingin dan dalam.***Xander menggerakkan kepalanya ke segala arah. Meregangkan otot lehernya yang terasa kaku.“Aku butuh secangkir kopi,” gumamnya seraya bangkit dari kursi putarnya.Namun, baru saja selangkah dia meninggalkan kursi kebesarannya itu,