“Silakan duduk, Nona Kim!”
Setelah mampu menguasai diri dan menetralisir kegugupannya, Ansel mempersilakan Qeiza duduk di sisi Utara ruang kerjanya.“Aku sudah meminta Xander untuk menyiapkan ruangan khusus untukmu,” beritahu Ansel.“Terima kasih,” kata Qeiza.Ia langsung bergerak bangkit dari sofa yang baru saja didudukinya. Tadi dia sempat berbincang dengan resepsionis yang mengantarnya dan dia sudah menanyakan itu. Tanpa diberitahu Ansel pun, dia tidak akan tersesat mencari ruang kerjanya sendiri.“Mau ke mana?”Ansel bertanya sambil menahan geram. Belum pernah ia ditinggal pergi begitu saja oleh seorang wanita, kecuali Qeiza.“Tentu saja ke ruanganku,” jawab Qeiza santai. “Bukankah Anda ingin aku menyelesaikan desain itu secepatnya, Tuan Ansel?”Qeiza sengaja memberi penekanan pada kalimat terakhir dan juga sapaannya kepada Ansel.“Tidak secepat itu, Nona!” cegah Ansel. “Masih ada peraturan yang perlu kau ketahui dan ingat dengan baik.”“Katakan saja! Anda adalah rajanya.”Qeiza berkata dengan suara dingin dan datar. Bahkan, ia terkesan tidak sabar menunggu penjelasan Ansel karena ingin bisa selekasnya enyah dari hadapan lelaki yang telah melekatkan status janda perawan pada dirinya itu.Ansel bangkit dari duduknya dan perlahan mengayun langkah mendekati Qeiza. Gadis itu benar-benar melukai harga dirinya dan semakin membuatnya tertantang untuk menaklukkannya.Melihat Ansel semakin memangkas jarak dengan dirinya, Qeiza bergerak mundur. Tergabas ia memutar gagang pintu. Sayang, gerakannya kalah cepat dengan Ansel. Lelaki itu telah menahan daun pintu itu dengan sebelah tangannya.Sekujur tubuh Qeiza mendadak jadi merinding. Kuduknya terasa dingin seperti diembus makhluk astral. Namun, ia berusaha untuk menguasai dirinya. Tetap bersikap tenang seolah-olah ia tidak terpengaruh sama sekali oleh perlakuan Ansel.Dia balik badan secara perlahan. Memberanikan diri untuk menantang netra gelap mantan suaminya itu.“Kenapa? Kau takut?” tanya Ansel, berjuang keras mengontrol hasrat aneh yang bangkit dari dalam dirinya.Qeiza menghela napas panjang untuk merilekskan ketegangannya.“Takut? Untuk apa?” tanyanya. “Sebagian besar ruangan ini berdinding kaca. Siapa pun bisa melihat segala hal yang terjadi di sini.”Ansel menatap lekat wajah Qeiza. Sekali lagi ia mendapat kejutan dari gadis yang baru dikenalnya itu. Gadis pemberani yang tidak terintimidasi oleh sikapnya. Sebaliknya, gadis itu malah melancarkan serangan balik kepadanya.'Shit!' umpat Ansel dalam hati. 'Bagaimana bisa aku melupakan dinding kaca itu?'Seharusnya tadi ia menurunkan semua tirainya sebelum Qeiza tiba. Dengan begitu, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengintip ke dalam ruang kerjanya itu.“Kalau tidak ada lagi yang ingin Anda sampaikan, biarkan aku melaksanakan tugasku, Tuan!”Qeiza berkata dengan nada tegas. Lebih menjurus kepada perintah daripada sebuah permintaan. Mata hazel-nya pun menatap tajam pada Ansel.Anehnya, Ansel mematuhi perintah itu tanpa membantah. Dia menarik tangannya dari pintu.“Baiklah. Kali ini aku mengalah,” ujar Ansel. “Anggap saja kebaikan hatiku ini adalah hadiah perkenalan dariku!”Qeiza tegak bergeming. Namun, Ansel dapat menangkap kilat cemooh berkelebatan dalam tatapan wanita itu lewat perubahan warna bola matanya yang semula cokelat menjadi kebiruan.“Harap diingat … kau hanya boleh pulang kalau aku mengizinkanmu.”Qeiza memutar gagang pintu dan membukanya. Ia masih menyempatkan diri melongokkan kepala setelah berhasil keluar dari ruangan Ansel.“Aku bukan karyawan tetap perusahaan Anda, Tuan Ansel!” bantah Qeiza. “Aku akan pulang kapan pun aku mau.”Terdengar bunyi ‘Brak’ yang cukup keras ketika Qeiza membanting pintu, tepat di depan hidung Ansel.“Kau—”Ansel mengepalkan tangan dengan sangat erat. Menyebabkan urat-uratnya mencuat keluar. Ia mengikuti langkah Qeiza dengan tatapan penuh kemarahan melalui dinding kaca transparan ruang kerjanya.Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan