Jika ingin menangkap kupu-kupu, tanamlah kumpulan bunga adiwarna. Jangan pernah memburunya karena semua usahamu akan berakhir sia-sia.***Jantung Qeiza berdetak dengan sangat cepat. Dia ingin memberontak, tetapi tenaga lelaki yang menyeretnya jauh lebih kuat.Saat menyadari dia diseret keluar dari restoran itu lewat pintu belakang, Qeiza mencoba menyikut lelaki tersebut.“Akh!”Terdengar pekik mengaduh. Bergegas Qeiza balik badan, siap melancarkan serangan susulan yang mengarah kepada aset pribadi lelaki itu.“Tahan, Ae Ri!” Lelaki itu berteriak, menghentikan gerakan Qeiza. “Ini aku, Chin Hwa.”“Oppa?”Qeiza tercengang. Dia tak menduga bosnya itu akan mengikutinya.“Ssstt!”Mendugas Chin Hwa menarik tangan Qeiza, bersembunyi dengan berjalan membungkuk dari mobil ke mobil hingga tiba di mobilnya sendiri.“Cepat masuk!” perintah Chin Hwa.Tatapan matanya terus mengawasi gerakan Ansel dari dalam restoran. Tampak lelaki itu melirik jam di pergelangan tangannya, lalu bangkit dari tempat du
Netra gelap Ansel terlihat semakin kelam laksana lubang hitam yang siap mengisap segala sesuatu yang mendekatinya, apalagi menyinggungnya.Chin Hwa bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati sofa. “Sebaiknya Anda duduk dulu,” ujar Chin Hwa. “Dan ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi!”Ansel menyelisik ekspresi Chin Hwa dengan tatapan tajamnya. Lelaki itu tampak tenang, seakan dia sungguh-sungguh tidak mengetahui keberadaan Qeiza. Ansel pun tidak bisa bersikeras dengan prasangkanya.“Tidak usah,” tolak Ansel.Dia langsung balik badan dan meninggalkan ruangan Chin Hwa tanpa mengucapkan permintaan maaf. Gurat kekecewaan melebur bersama kemarahan pada wajah tampannya.Chin Hwa menatap punggung Ansel yang semakin menjauh dengan pandangan dingin dan dalam.***Xander menggerakkan kepalanya ke segala arah. Meregangkan otot lehernya yang terasa kaku.“Aku butuh secangkir kopi,” gumamnya seraya bangkit dari kursi putarnya.Namun, baru saja selangkah dia meninggalkan kursi kebesarannya itu,
Cinta adalah candu dahsyat yang bisa membuat seorang pria kehilangan kendali atas kesadarannya.***“Pas de parking ici, Monsieur!” Polisi muda itu menunjuk rambu berwarna biru dengan lingkaran dan garis diagonal berwarna merah.Ansel menepuk keningnya dengan raut muka lesu. Gara-gara berniat mengejar Qeiza, dia bertindak gegabah. Dia tidak memperhatikan rambu lalu lintas di sekitarnya. Alhasil, dia harus berurusan dengan pihak kepolisian setempat.“Sial! Seumur-umur baru kali ini aku melakukan hal bodoh dan mempermalukan diri sendiri,” gerutu Ansel, terbayang musibah kecil yang baru saja menderanya akibat memburu Qeiza.Dia menyandarkan kepala pada punggung kursi kebesarannya sembari menengadah. Masih tak percaya bahwa dia bisa begitu ceroboh hanya karena seorang wanita.“Aku seperti tak mengenalimu,” komentar Xander.Dia duduk di atas sofa dengan bertopang lengan pada kedua paha. Jemarinya saling bertaut. Sementara tatapannya tertuju pada sosok Ansel yang terlihat memejamkan mata.“A
Chin Hwa menebar senyuman ramah penuh pesona kepada para awak media itu.“Tuan Song, malam ini Anda datang tidak sendiri,” ujar seorang wartawan, memulai sesi wawancara. “Apakah itu artinya Anda akan segera mengakhiri masa lajang Anda?”Senyuman Chin Hwa semakin lebar mendengar pertanyaan yang sangat menjurus itu. Hatinya mendadak berdebar. Diliriknya Qeiza yang tegak mematung di sebelahnya.Ekspresi gadis itu terlihat datar sehingga menyulitkan dirinya untuk mereka-reka bagaimana perasaan Qeiza sehubungan dengan pertanyaan yang agak tidak mengenakkan itu.“Ah, masalah itu … lihat bagaimana nanti saja,” jawab Chin Hwa. “Sekarang masih terlalu dini untuk mengungkapkan segalanya.”“Sedikit saja, Tuan Song!” pinta jurnalis lainnya. “Setidaknya beri kami sedikit bocoran yang menyenangkan.”Muka Qeiza mulai berubah. Terkurung di tengah gerombolan kuli tinta tak ubahnya bagai terjebak dalam jaring laba-laba. Sulit sekali untuk melepaskan diri.Tatapan tajam Chin Hwa segera menyadari perubaha
Ketika kau tak berniat menemukan cahaya, maka selamanya kau akan terperangkap dalam kegelapan.***“Aku tidak menyangka kamu direktur baru perusahaan M.”“Begitulah.”“Oh My God! Haruskah kita jaga jarak mulai sekarang?”Ansel mengedikkan bahu dengan mimik lucu. Dia juga tidak menyangka kalau pemimpin perusahaan yang menjadi pesaingnya adalah teman semasa kuliahnya dulu.“Sepertinya kamu sudah sangat mengenal Tuan Song dan Nona Kim,” ujar Ansel.Dia mencoba mengorek keterangan tentang kedekatan hubungan Dae Hyun dengan Qeiza dengan cara yang tidak begitu kentara.“Tentu saja,” sahut Dae Hyun. “Kami juga pernah menjadi relasi bisnis.”Dae Hyun melirik Chin Hwa. “Bukan begitu, Tuan Song?”“Benar sekali!” Chin Hwa menyahut singkat.Dae Hyun mengalihkan perhatiannya pada Qeiza. “Ah, Ae Ri … bisa bicara empat mata?”Tanpa menunggu reaksi Qeiza, Dae Hyun menarik lengan wanita itu. Melangkah cepat, keluar dari ballroom.Bias mata Ansel menggelap. Dia tidak suka melihat pemandangan itu. Kalau
“Saat masih anak-anak sampai dia menyelesaikan SMA-nya, kami hidup terpisah,” lanjut Dae Hyun.“Maaf,” ujar Ansel.Dae Hyun menatap sendu pada Qeiza yang sudah duduk di meja yang lain.“Adikku yang malang,” gumam Dae Hyun. “Dia menjadi janda di usia muda.”PFFFT!Ansel menyemburkan minuman yang baru saja disesapnya. Matanya membesar, menatap Qeiza tanpa kedip.“Hanya lelaki bodoh yang menceraikan wanita secantik itu,” makinya.Dae Hyun menoleh pada Ansel. Bibirnya mencebik sinis. 'Dan lelaki itu kamu, Ansel!'Sayang ucapan itu hanya bergema di dalam hati. Tadinya ia ingin memberi pelajaran pada Ansel, tetapi dibatalkannya. Setelah melihat tatapan Ansel yang menyiratkan ketertarikan terhadap Qeiza, ia jadi tergoda untuk menyaksikan drama apa yang akan terjadi selanjutnya.“Ya. Kau benar!” sahut Dae Hyun. “Dia lelaki terbodoh yang pernah ada di muka bumi ini.”Kembali Dae Hyun menyesap sisa minumannya. Dalam sekali tenggak, minuman itu pun habis tak tersisa.“Dia bahkan tidak menyentuh a
Terkadang hewan buruan lebih cerdik daripada pemburu itu sendiri.***Qeiza meninggalkan meja riasnya dengan wajah berbinar cerah. Setelah hampir sebulan penuh dia bekerja bak seorang tawanan dalam penjara ruang kaca milik Ansel, hari ini dia bisa menarik napas dengan lega.Peragaan busana pada akhir pekan dua hari yang lalu itu menjadi garis finish bagi kebersamaannya dengan Ansel. Sekarang dia bisa kembali ke pelukan damai, bekerja di kantor Chin Hwa.Qeiza mematung di depan pintu apartemennya. Sesosok lelaki berdiri membelakanginya. Lelaki itu segera balik badan begitu mendengar suara pintu dibuka.“Hai, Ae Ri!” sapa Ansel sembari mempersembahkan senyuman terbaiknya.BRAK!Refleks Qeiza bergerak mundur dan membanting pintu dengan sangat keras. Hatinya bergetar cemas.“Kenapa dia bisa berada di sini pagi-pagi sekali?” gumamnya. “Dia benar-benar lelaki yang menakutkan!”Qeiza mengintip dari peeping hole, memastikan apakah Ansel masih menunggunya di depan pintu atau sudah pergi meningg
“Aku merasa seperti seorang tahanan yang baru saja mendapat kebebasan,” sahut Qeiza.“Ya ampun!” Mata Chin Hwa terbelalak. “Apa seburuk itu?”Qeiza mulai meraih beberapa sketsa setengah jadi yang pernah digarapnya. Ia melirik sekilas pada Chin Hwa seraya melayangkan senyuman tipis.“Bayangkan saja bagaimana rasanya dipaksa dirawat di rumah sakit jiwa, padahal kau sama sekali tidak gila.”“Hahaha ….” Kekehan tawa Chin Hwa pun pecah. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Ansel mendengar apa yang baru saja kau katakan.”“Kalau begitu, tidak usah dibayangkan,” tukas Qeiza. “Ayo mulai babak baru! Ada yang bisa kulakukan selain berkutat dengan rancangan yang belum jadi ini?”“Ah, tentu saja.” Chin Hwa menyahut cepat.Ia meraih sebuah map dari atas meja kerjanya dan bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mendatangi Qeiza.“Lihat ini!” Disodorkannya map itu kepada Qeiza.Manik mata hazel Qeiza membulat ketika membaca isi map yang baru saja diterimanya dari Chin Hwa.“Oh Chun Hei?” gumam