Share

Bab 8

Veronica menatap layar smartphonenya, penuh cemas. Ini sudah seminggu sejak Bianca mengatakan akan menyelidiki vampir-vampir yang mendatangi apartemennya itu, dan sampai sekarang ia belum mendapat kabar dari sahabatnya itu. Berulang kali ia mengirim chat pada Bianca, berharap sahabatnya itu akan membalas pesannya. Sayangnya, tidak ada jawaban. Bahkan dibaca pun juga tidak. Begitu juga dengan Stephen. Sejak hari itu ia tidak mendapat kabar apa pun dari pria itu, membuatnya menyesal karena tidak meminta ID LINE pria itu di hari pertama pertemuan mereka. Sekarang, bagaimana cara menghubungi pria itu?

Urgh …

Kenapa ia tolol sekali, sih? 

Ia mengacak-acak rambutnya, membenamkan kepalanya ke atas meja di ruang perpustakaan milik Karl Smith tempatnya berada saat ini. Saat ia mendongak, ia mendapati sosok Karl Smith yang tengah menutup bawah hidungnya sambil tertawa pelan, berdiri menyandar di sisi meja di sampingnya.

“Karl!” Refleks ia melonjak kaget. “Kapan?”

“Baru aja,” ujar pria itu, menarik kursi yang ada di samping Veronica. “Masih di sini? Gimana tugasmu? Sudah selesai?”

“Belum …,” gumamnya lesu. Mana mungkin selesai? Pikirannya kalut memikirkan dua orang yang sampai sekarang belum memberinya kabar. Lagipula, sejak kapan Karl sudah di ruang perpustakaan? Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Karl dari tadi. Ia tahu sekali. Apa jangan-jangan, pria itu memiliki kemampuan berlari ultrasonik seperti Edward Cullen? Ah, tunggu. Edward Cullen dalam cerita Twilight kan vampir. Akan jauh lebih masuk akal jika Bianca-lah yang memiliki kemampuan berlari secepat kilat. Apa mungkin ia yang tidak menyadarinya?

“Nikki? Ada apa?”

Untuk kedua kalinya ia kembali terkejut menyadari wajah Karl yang terlalu dekat dengannya. Matanya mengerjap, mengagumi struktur wajah Karl yang tegas. Alis yang tebal, bibir yang tipis, rambut yang ditata ke belakang. Ia baru menyadari pria itu mengenakan tindik di telinga kirinya. Bukan tipe yang mencolok, tapi dari bentuk dan bahannya, ia yakin sekali kalau ia tidak akan mau mengetahui berapa harga tindik yang dikenakan Karl itu. Samar-samar ia mencium aroma akar tanaman walaupun tidak sekuat di awal pertemuan mereka.

“Nikki?”

Lamunannya buyar seketika, disusul wajahnya yang terasa hangat. Buru-buru ia mengalihkan wajahnya dari Karl, memandang ke arah lain. “A-aku, itu … baik! Baik-baik aja! Tidak ada masalah!”

Dalam hati ia merutuki kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar bahkan di telinganya sendiri saat ia menjawab pertanyaan Karl. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang pasti merona hebat sekarang. Beberapa saat, hanya ada keheningan yang tercipta di ruangan itu sebelum tawa pria itu meledak seketika, membuatnya sedikit kebingungan karena tidak mengerti alasan pria itu menertawakannya.

“Kenapa segugup itu? Ini bukan wawancara kerja, tidak perlu setegang itu,” ujar Karl di sela-sela tawanya. “Lagipula kamu sudah tinggal di mansionku selama seminggu. Apa kamu masih belum terbiasa bersamaku?”

“Bu … bukan. Aku hanya …”

“Hanya apa, Nikki?” Pria itu berhenti tertawa, kembali mendekatkan wajahnya ke arahnya hingga jarak mereka tersisa beberapa milimeter. Suara Karl yang setengah berbisik itu terdengar begitu menggoda di telinganya. Berhasil memacu debaran jantungnya yang semakin sulit ia kontrol. Ia mendapati dirinya menelan ludah berkali-kali saat pria itu mendekatkan bibir tipis ke telinganya, sebelum pria itu menjilati telinganya, membuatnya mengeluarkan suara desahan pelan. Tangan pria itu bergerak menggenggam tangannya, sementara pria itu kini mengincar bibirnya, menciumnya penuh hasrat. Ia tidak perlu memberitahu pria itu bahwa ia menikmati ciuman itu karena kelihatannya pria itu sudah tahu. Ia memejamkan matanya, menikmati ciuman yang semakin lama semakin dalam sampai membuatnya kehabisan napas. Karl tidak memberinya jeda sedikit pun, terus menciumnya hingga merasa puas. 

“Nggak boleh,” bisik Karl, setelah menjauhkan bibir itu darinya. Ia bisa merasakan seluruh tubuhnya meleleh akibat ciuman Karl, menatap pria itu penuh kebingungan.

“Nggak boleh apa?”

“Kamu lagi sama aku sekarang. Cuma boleh mikirin aku.”

“Huh? Maksudnya—ngg!”

Pria itu tidak melanjutkan perkataannya, kembali melanjutkan sesi ciumannya yang semakin lama semakin intens hingga ia kesulitan mengikuti ritme ciuman itu. Ia melepaskan tangannya dari tangan Karl, menjauhkan tubuh pria itu darinya. 

“Jelasin dulu maksud kata-katamu tadi!” 

Pria itu bergeming sesaat, lalu mengusap bibirnya dengan ibu jari kanannya, memberi jarak beberapa sentimeter. “Kamu lagi mikirin Stephen kan, sekarang?”

Ia mengangguk, tidak menampik pertanyaan Karl. “Apa dia baik-baik saja?”

Wajah Karl tampak memberengut begitu mendengar pertanyaannya. Bukannya menjawab, pria itu beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkannya. Ia segera mengikuti pria itu setelah mengambil semua barang-barangnya yang berserakan di atas meja. 

“Karl, tunggu—”

Kakinya terantuk salah satu kaki kursi, membuat keseimbangan tubuhnya hilang. Barang-barang yang dibawanya tadi jatuh di atas lantai berbahan kayu itu. Karl berbalik, langsung menangkapnya sebelum tubuhnya menghantam lantai ruangan. Ia meringis begitu melihat iPad yang dibawanya tadi bersama barang-barang itu ikut terjatuh, menimbulkan bunyi dentuman keras.

“Kamu baik-baik saja?”

Pertanyaan pria itu mengalihkan perhatiannya dari iPad-nya. Melihat wajah pria itu yang tampak begitu mengkhawatirkannya membuatnya sedikit senang. Belum ada satu pun orang yang mengkhawatirkannya sampai seperti ini—kecuali kakak perempuannya dan kedua sahabatnya, tentunya. Ia membiarkan dirinya berada di pelukan pria itu selama beberapa saat, menikmati pemandangan yang ada di depannya. Bibir pria itu membentuk senyum singkat. Lalu dalam sekejap, pria itu menggendongnya tanpa merasa kesulitan, membuatnya terkejut. 

“A-aku bisa jalan sendiri! Turunin!” serunya, panik. Namun pria itu menggeleng cepat, berjalan meninggalkan ruangan itu sambil bersenandung.

“Nggak mau.”

“Turunin!”

“Nanti kuturunin. Kalau aku mau,” ujar Karl. 

Matanya membesar begitu kaki pria itu menginjak iPadnya. Pria itu berhenti berjalan, memandang ke bawah.

“IPadku!” ia menatap tajam ke arah Karl. “Tanggung jawab! Itu barang pemberian kakakku—”

“Akan kuminta Rebecca membelikan yang baru,” sahut Karl, santai, kembali berjalan setelah membenarkan posisi Veronica. “Kamu kelihatan capek, jadi lebih baik kamu istirahat sekarang. Aku nggak mau pacarku yang imut banget ini sakit.”

“Pa-pacar! Tunggu! Aku belum menerima pernyataan cintamu, loh! Dan siapa Rebecca?!”

“Pelayanku yang memiliki sisik naga di wajah kirinya. Yang waktu itu mengantarkan makan siang di hari pertamamu berada di mansionku,” sahut Karl lagi. “Dan kamu nggak nolak ciumanku tadi, jadi apa salahnya? Toh, tinggal menunggu waktu saja sampai kamu menyukaiku.”

“I-itu …,” ia menundukkan wajahnya, menutup bibirnya dengan kedua tangannya. 

“Waktuku masih banyak. Akan kubuat kamu menyukaiku. Hanya menyukaiku,” Karl penuh percaya diri saat mengatakannya. “Atau kamu ingin bertiga? Bersama Stephen, misalnya?”

Matanya membesar, mendengar gagasan Karl yang tidak masuk akal itu. Ia segera menjauhkan tangannya dari bibirnya, memukul dada Karl. “A-apaan, sih!? Kok malah ngasih gagasan aneh begitu?!”

“Kenapa? Aku nggak masalah, kok,” iris mata Karl berubah sesaat menjadi hijau, mengingatkannya akan bentuk mata ular, menyalakan lampu untuk menerangi koridor yang mereka lalui saat ini setelah meninggalkan ruang perpustakaan. 

“Aku yang masalah …”

“Hm? Kalau begitu, kamu putusin saja setelah ini, siapa yang akan kamu pilih nanti.”

“Itu juga aku nggak bisa,” gumamnya, seraya mengalihkan pandangannya dari Karl. Ia melihat ada banyak orang-orang berpakaian seragam pelayan dengan sisik di beberapa bagian tubuh mereka berjalan melewati mereka berdua, membungkukkan badan mereka pada Karl sebelum kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Tipe yang kalem, persis seperti Rebecca. Tapi Agnes—pelayan wanita berwajah ketus yang waktu itu protes saat mengetahui pria itu makan siang dengan seorang manusia, tidak memiliki sisik di tubuhnya.

“Kamu penasaran?”

Ia segera menoleh ke arah Karl. “A-apa maksudmu?”

“Soal mereka maksudku,” ujar Karl, memberi isyarat melalui gerakan kepalanya, menunjuk seorang pelayan pria yang memiliki sisik di wajah kirinya dan warna matanya yang berbeda, membuatnya teringat akan pelayan wanita bernama Rebecca tadi. Menyadari bahwa yang dimaksud Karl itu adalah orang-orang itu, ia menarik napas lega. Ia pikir Karl masih bersikeras ingin membicarakan gagasan aneh yang sejujurnya, mulai sedikit menggodanya. 

“Iya, itu … maksudku, iya. Kenapa mereka punya sisik sementara pelayan wanita yang bernama Agnes tidak?”

“Karena mereka berasal dari kalangan yang sering disebut klan naga sebagai kelompok buangan,” Karl berbelok ke kiri, membawa mereka ke koridor yang mengarah ke ruang kamarnya. “Hasil pernikahan ras naga dengan ras lain. Karena itu wujud mereka sedikit unik. Tapi mereka itu salah satu pihak yang paling rentan terkena isu rasisme dari kalangan naga yang tidak mau menerima keberadaan mereka. Jadi aku menampungnya di sini.”

“Oh.”

Dalam hati, ia semakin mengagumi Karl Smith. 

“Kamu tahu? Informasi tambahan: apa pun gendernya, naga tetap bisa memiliki anak.”

“Eh?”

Karl mengangguk. “Cara kami membuat keturunan itu berbeda dengan manusia. Kami punya teknik khusus yang kalau dijelaskan akan panjang dan sangat rumit. Walaupun klan naga itu konservatif, tapi sejak dahulu kami bukan tipe yang meributkan gender seperti halnya manusia. Ada tujuh belas gender dalam klan naga.”

“Tujuh belas!?” 

Sekali lagi, pria itu mengangguk, lalu menurunkannya begitu tiba di depan kamarnya. “Nah, sudah sampai. Lebih baik kamu masuk ke dalam dan beristirahat. Ini sudah larut malam.”

Ia masih syok memikirkan perkataan Karl barusan. Melihat Karl yang tampak serius saat mengatakannya, kelihatannya pria itu serius dengan perkataannya tadi. Jadi pria itu pasti tidak sedang bercanda. Tapi tujuh belas? Benar-benar di luar bayangannya. 

“Nikki?”

Matanya membesar begitu pria itu menunduk, mencium kilat bibirnya, lalu tertawa pelan. “Kamu bengong terus. Gimana? Apa sihir yang membuatmu melamun tadi sudah terlepas?”

“A-apaan, sih …” ia menggembungkan pipinya, merasakan wajahnya kembali merona. 

Karl mengusap kepalanya. Terdengar suara dering smartphone yang asing di telinganya, yang ternyata berasal dari smartphone Karl. Pria itu menjauhkan tangannya, meraih smartphonenya sambil menjauh sedikit darinya. Wajah pria itu mendadak berubah pucat.

“Aku mengerti. Bilang pada mereka aku akan segera ke sana.”

Hanya itu yang dikatakan pria itu sebelum memutuskan panggilan teleponnya. Melihat wajah Karl membuat perasaannya mendadak tidak enak.

“Ada apa?” 

“Kamu punya teman dari keluarga Pedrosa, bukan?”

Ia mengangguk. Perasaannya semakin tidak enak.

“Aku mau ke sana setelah ini. Mau ikut? Kurasa dia pasti membutuhkan kehadiranmu sekarang.”

“Ada apa dengan Bianca? Apa terjadi sesuatu?”

“Begitulah,” Karl tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Kamu sudah tahu sampai mana soal makhluk supernatural?”

“Manusia serigala, vampir, warlock, dan naga.”

“Ada lebih banyak dari yang kamu sebutkan tadi, tapi kulewatkan saja penjelasan panjang lebar itu. Langsung ke intinya saja. Ada kelompok yang berniat menyatukan seluruh makhluk supernatural untuk memusnahkan klan naga dari muka bumi. Kelompok yang dipimpin oleh manusia serigala ambisius yang abadi bernama William Schneider.”

“Schneider?” ulangnya. Karl mengangguk.

“Iya. Pemimpin kelompok Schneider ini berbeda dengan manusia serigala lainnya, karena hanya dia saja yang abadi. Menurut rumor, usianya itu menyentuh sembilan ratus tahun. Jauh lebih tua dariku. Dan aku baru saja mendapat kabar dari Stephen tadi, kalau keluarga Pedrosa diserang oleh kelompok mereka minggu lalu.”

Matanya membesar, syok. Tangannya bergerak mencari sandaran yang bisa digunakan untuk menyangga tubuhnya yang sebentar lagi akan merosot. Tidak. Ia harus tetap tenang. Bianca pasti lebih syok daripada dia. Ia memejamkan kedua matanya, melakukan gerakan penenangan diri sampai ia merasa jauh lebih tenang. 

“Kita berangkat sekarang?” tanya Karl.

“Kapan pun.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status