Share

The Murder of The Grapefruit Pie Act 4

Pada malam harinya, Baron Rogue menatap peta Kota Durham dan sesekali memijit pelipisnya yang berdenyut. Kepalanya pusing karena memikirkan satu persatu tanah di wilayah kekuasaannya ditinggalkan oleh penyewa.

Baron Rogue mengerang, membanting kasar peta tersebut ke meja, “Ugh... kalau begini terus, pemasukanku ke depan ...”

Tok! Tok! Tok!

Pintu ruang kerja Baron Rogue diketuk tiga kali dan kemudian terbuka cukup lebar, menampilkan salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya. Pria berpakaian rapi tersebut tampaknya ingin menyampaikan sesuatu kepada majikannya tersebut.

“Tuan, Keluarga Earl Wysteria dan Tuan Hendrik, sudah tiba.” Pelayan tersebut tanpa basa-basi lagi langsung menyampaikan kabar tersebut. Baron Rogue mengernyitkan dahinya saat mendengar nama yang cukup asing terdengar di telinganya.

“Baiklah. Antarkan mereka ke ruang makan!”

Si Pelayan itu mengangguk dan bergegas menjalani perintah majikannya. Sementara itu, Baron Rogue membereskan kekacauan di meja kerjanya sebelum menemui para tamu.

***

“Siapa kamu?” tanya Baron Rogue sesaat setelah memasuki ruang makan dan melihat seorang pria asing duduk di sebelah Lucius.

“Saya Hendrik, perwakilan buruh tani,” jawab Pak Hendrik seraya menyerahkan bingkisan pada pelayan pria tersebut, “Oleh-oleh dariku.”

“Terima kasih,” ujar sang Pelayan membungkuk sopan dan kemudian memeriksa isi dari bingkisan itu, “Akan Saya buat kue pai dengan buah ini!”

Baron Rogue mendekat pada pelayannya tersebut dan kemudian berbisik, “Periksa dulu apakah ada racunnya atau tidak.”

Namun seribu sayang, bisikan itu terdengar jelas di telinga Pak Hendrik yang membuatnya langsung tersinggung, “Bagaimana caranya memberi racun pada buah itu!?”

“ah iya, Baron,” panggil Lumiere saat ia melihat seorang pelayan wanita tengah menggiring seorang wanita cantik untuk memasuki ruang makan ini, “Ada satu orang tamu lagi.”

Mendengar tentang adanya seorang tamu lagi, Pak Hendrik menoleh karena penasaran. Rasa penasarannya digantikan oleh keterkejutan saat melihat siapa gerangan tamu tambahan tersebut.

“Michelle!? Kenapa ...?” Pak Hendrik membatin dengan mata yang menatap terkejut kepada sang Istri yang dengan anggun menduduki salah satu kursi kosong yang tersedia.

“Huh? Silakan! Makan malam kali ini gaya buffet saja. Dan semua pelayan silakan keluar,” perintah Baron Rogue dan dituruti oleh para pelayannya, termasuk dokter pribadinya.

“Tuan, jangan minum anggur, ya ...”

Baron Rogue memotong ucapan sang Dokter, “... iya, aku mengerti!”

Dengan wajah angkuhnya, Baron Rogue bergegas duduk berhadapan dengan Michelle setelah memastikan semua pelayannya keluar dari ruangan ini.

“Kalian membawa dua orang sebagai bantuan. Jangan kira kalian akan menang!” hardik Baron Rogue dengan senyuman meremehkannya.

Lucian menatap tidak suka kepada sang Baron yang sedang memperhatikan menu makan malam hari ini. Menurutnya, makanan yang tersaji di hadapannya memang terlihat sederhana namun harga pembelian di setiap bahan yang dimasak bernilai cukup fantastis. Itu bagi rakyat jelata.

“Kami bukan ingin berkelahi, Baron. Bagaimana kalau kita makan dulu? ...” tanya Lucius seraya melirik kepada Lumiere yang kembali merajuk karena tidak bergegas memulai acara makan malamnya, “... berhubung sudah dihidangkan.”

Acara makan malam langsung dimulai begitu Baron Rogue menganggukkan kepalanya. Suasana cukup hening. Hanya terdengar suara yang dihasilkan oleh garpu dan pisau yang bersenggolan dengan piring. Serta suara kecapan dan kunyahan para manusia yang sedang menikmati makan malamnya.

Mata sang Baron berkeliling mengawasi orang-orang di hadapannya, “Makan tanpa bicara, ya? Katanya mau bicara soal pengurusan tanah! Dan juga, bisa-bisanya mereka mengajak orang kelas bawah yang kotor! Merusak derajat masyarakat kelas atas saja!”

Menu makan malam utama telah digantikan oleh hidangan penutup, berupa kue pai yang terbuat dari olahan buah Grapefruit yang diberikan oleh Pak Hendrik. Lagi-lagi mereka makan tanpa suara yang membangun sebuah obrolan. Hal tersebut tampaknya membuat Baron Rogue merasa jengkel.

“Ternyata mereka hanya seorang anak kecil yang dapat warisan! Cepat habiskan kue ini lalu gempur mereka!” batin Baron Rogue dengan tangan yang sibuk memasukkan sepotong demi sepotong kue pai tersebut ke dalam mulutnya.

Sementara itu, Bu Michelle yang duduk di seberang Baron Rogue mulai menatap pria berbadan gemuk tersebut dengan wajah gilanya. Bagi siapa pun yang melihat ekspresi Bu Michelle saat ini, mereka pasti akan ketakutan dan keluar dari ruangan ini. Dan tentunya, Baron Rogue menyadari tatapan tersebut. Langsung saja tubuh gemuknya gemetar karena merinding.

“A–apa? Perempuan yang menjijikkan! Kalau mau makan, silakan saja! T–tidak usah menatapku seperti itu” tegur Baron Rogue dengan wajah tidak nyamannya yang terlihat seperti sedang ketakutan.

Yang tersinggung karena ucapan tersebut bukanlah Bu Michelle, melainkan Lumiere. Seorang perempuan disebut ‘menjijikkan’ oleh seseorang tanpa ada kejadian apa pun menurutnya sedikit keterlaluan.

Walaupun begitu, Lumiere dengan cepat menutupi ketidaknyamanannya. Gadis cantik ini kemudian melontarkan pertanyaan kepada Baron Rogue, “Bagaimana rasanya, Baron Rogue? Itu Grapefruit hasil keringat Pak Hendrik, lho!”

“... be–begitu?” Bukannya menjawab, Baron Rogue malah melontarkan pertanyaan karena sesungguhnya ia tidak terlalu mengerti alur pembicaraan yang dibangun oleh Lumiere.

“Ternyata Anda memang tak hafal wajah buruh tani Anda, ya? Kalau begitu ...” ujar Lumiere memberikan jeda selama beberapa detik, melirik tajam pada Baron Rogue yang tampak kebingungan. Lirikkannya tersebut terjadi bersamaan dengan Michelle melepaskan ikat rambutnya, “... pasti Anda juga sudah lupa pada anak yang Anda biarkan mati pada malam itu.”

Baron Rogue mengernyitkan dahinya, “Anak? Kapan aku ...” Ucapan pria tua tersebut terhenti ketika sekelebat ingatan melintasi pikirannya. Refleksi seorang wanita muda yang sedang menggendong anak dan berdiri bersama sang Suami. Baron Rogue membulatkan matanya karena terkejut ketika ia berhasil mengingat wajah dari ibu si Anak pada malam itu. Dengan satu kali gerakan, pria bertubuh gemuk itu berdiri dan kemudian berteriak, “K–KAMU! KENAPA KAMU ADA DI SINI!!”

“Baron, kita Cuma berbincang soal wilayah. Kalau ribut, Anda hanya akan mempermalukan diri sendiri!” ujar Lucius menginterupsi keributan yang diperbuat oleh sang Tuan Rumah.

“KALIAN BERSEKONGKOL YA!? APA MAU KALIAN?!” Bukannya menuruti apa yang diucapkan oleh Lucius, Baron Rogue justru semakin mengeraskan teriakkannya.

Lucius melirik tajam dengan ekspresi datar pada sang Baron, “Aku sudah bilang, bukan? Adikku Lumiere punya pekerjaan lain!”

Wajah Michelle menggelap, “Anda jarang bertemu dengan orang lain selain sesama bangsawan. Anda juga tidak pernah keluar rumah seorang diri ...” Tanpa disadari oleh para pria di ruangan ini, Michelle mengeluarkan sebuah pisau tajam dari balik gaun yang sedang ia kenakan, “... saya ingin Anda muncul di hadapanku! Makanya saya berkonsultasi!”

Pak Hendrik tampaknya sangat terkejut dengan penuturan Michelle yang terkesan berani. Begitu juga dengan Baron Rogue yang mendadak panik begitu mendapatkan ancaman pembunuhan. Bukankah saat ini beliau mendapatkan ancaman pembunuhan?

“Jadi atas permintaan klienku ...” ujar Lumiere seraya berdiri dari duduknya dengan gerakan anggun, mengalihkan atensi sang Baron yang kini tertuju padanya, “... Aku, Crime Consultant Lumiere Crowe Wysteria, datang untuk memberi hukuman pada Anda!”

Terkejut. Baron Rogue menunjukkan reaksi terkejut atas ucapan Lumiere barusan. Namun, reaksi itu tidak berlangsung lama karena selanjutnya, sang Baron tertawa terbahak-bahak. Mencemooh penuturan dari sang Gadis yang membuat Lucian dan Lucius tersinggung.

“Hukuman? Jangan bercanda kalian! Memangnya aku melakukan kejahatan apa sampai harus mendapatkan hukuman dari orang yang bukan berasal dari instansi pemerintahan!?” seru Baron Rogue setelah menghentikan tawanya dan kemudian menatap tajam pada Lumiere dan juga Pak Hendrik yang merasa terkejut, “Membiarkan anak dua orang rendahan ini mati? Anak lemah begitu jika dibiarkan tetap hidup pun tak akan bisa bekerja dengan benar! Harusnya kalian senang karena sudah kehilangan satu mulut yang harus diberi makan!”

Kalimat-kalimat kejam yang terlontar dari mulut Baron Rogue tampaknya membuat Michelle dan Pak Hendrik merasa tersinggung. Begitu juga dengan Lumiere yang saat ini mengeraskan rahangnya. Jadi, menurut pria tua bertubuh gemuk ini ia sudah menyelamatkan kondisi finansial Keluarga Pak Hendrik dengan cara membiarkan anaknya mati!?

“MULAI SEKARANG, SEWA TANAH KALIAN JADI DUA KALI LIPAT!! MENDING KALIAN CEPAT BIKIN ANAK BARU UNTUK BANTU BEKERJA!!” Teriakan menggelegar Baron Rogue tampaknya membuat Michelle naik pitam.

Pisau yang semula masih wanita cantik itu sembunyikan ia keluarkan. Dengan linangan air mata, Michelle menodongkan pisau tersebut pada Baron Rogue. Begitu Michelle hendak melangkah maju, Pak Hendrik dengan cepat menahan istrinya tersebut dan berusaha menenangkannya.

“Michelle, jangan! Sekarang ...”

“Benar, Michelle.” Suara Lumiere memotong ucapan Pak Hendrik yang sedang berusaha menenangkan istrinya tersebut. Wajah Lumiere mendatar tanpa memperlihatkan perasaan apa yang  sedang ia rasakan sekarang, “Aku akan menyelesaikan permintaan klien dengan sempurna. Untuk itu, kejahatan ini tentu saja harus sempurna tanpa lecet sedikit pun agar tidak akan ada yang merasa bahwa ini adalah sebuah tindak kejahatan.”

Baron Rogue yang hendak berteriak kembali mendadak mengernyitkan dahinya ketika rasa sakit mendera dada sebelah kirinya. Suara detak jantungnya pun terasa semakin cepat begitu terdengar di telinga pria tua tersebut.

“Ugh... hah! Lagi-lagi berbicara ngawur,” balas Baron Rogue tanpa memedulikan rasa sakit yang mendera tubuhnya, “KONYOL SEKALI! AKU AKAN LAPORKAN WANITA ITU ATAS PERCOBAAN PEMBUNUHAN!!”

Lumiere sontak tersenyum, tertawa kecil untuk beberapa detik sebelum kemudian menimpali perkataan sang Baron, “Fufufu— memangnya di kota ini ada yang memihak Anda?”

Baron Rogue mematung. Ia cukup terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Lumiere. Rasa terkejut itu semakin menjadi ketika Pak Hendrik angkat bicara.

“Aku— bukan— semua warga di sini memihak Wysteria!”

“Durham sudah bukan milik Anda lagi, Baron.” Lumiere berujar sembari berjalan menghampiri pria tua itu dengan langkah pelan namun terlihat anggun, “Anda paham, kan? Sepertinya Anda baru saja berpikir ‘jadi dia menurunkan sewa tanah untuk menarik hati warga?’ bukan? Wah... sepertinya Anda tidak terlalu bodoh untuk memahami situasi.”

“Bagaimana ...”

“Semua ini adalah rencana saya, Baron Rogue.”

Tubuh Baron Rogue ambruk begitu Lumiere menyelesaikan ucapannya. Tangan keriput milik Pak Tua ini meremas dada sebelah kirinya yang terasa seperti diremas.

“Haagh– agh– sial... jantungku ...”

Tidak ada yang beranjak dari posisi mereka hanya untuk sekadar menolong Baron Rogue yang seperti sedang sekarat. Mereka terlihat enggan dan membiarkan begitu saja sang Baron mengerang kesakitan.

“Tolong— di laci atas meja itu— obat dan— air ...”

Lumiere berjongkok, menatap rendah sang Baron dan juga memberikan sebuah senyuman miringnya yang terlihat cantik namun terasa kejam, “Anda berani membayar berapa untuk air itu?”

“Se–sepuluh kali lipat! AKU AKAN MEMBAYAR SEPULUH KALI LIPAT DARI YANG DIA BAYARKAN PADAMU, BAGAIMANA!?” Baron Rogue berteriak karena panik. Rasa sakit di jantungnya semakin menjadi-jadi.

“Nol.” Suara dingin Michelle kembali terdengar yang membuat Baron Rogue menatapnya bingung, “Yang kubayar pada Nona Wysteria adalah nol pound, nol shilling, nol pence.

***

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status