“Bayaranku yang sebenarnya adalah hidupku ini akan kuserahkan pada Nona Wysteria.”
Baron Rogue terkejut bukan main. Kalau begitu, bagaimana caranya ia membayar dua kali lipat dari yang Michelle bayarkan kepada Lumiere? Pria tua ini masih ingin hidup.
“Nah ...” ujar Lumiere memberi jeda untuk ia menegakkan kembali tubuhnya dan kembali memberikan tatapan tajam pada sang Baron, “... ada soal matematika. 10 × 0 tetap 0! Apa Anda berani bayar 20 kali nyawa Anda?”
Baron Rogue memandang Lumiere dengan ekspresi penuh penyesalana, “Ma–maaf. Maafkan aku atas apa yang sudah kulakukan.”
Permintaan maaf yang tidak terduga itu tampaknya membuat Pak Hendrik dan Michelle terkejut. Sedangkan Lumiere hanya memasang wajah datar tanpa berniat menunjukkan reaksinya. Namun, itu tidak bertahan lama. Karena selanjutnya, Lumiere menoleh ke arah Pak Hendrik dan Michelle.
“Bagaimana? Apakah kalian akan memaafkannya atau melakukan transaksi, Bu Michelle– Pak Hendrik?”
***
Terjadi kesepakatan di antara Pak Hendrik dan Baron Rogue dengan Lumiere sebagai saksi sekaligus perantara. Sesuai janji yang dilontarkan Baron Rogue, pria tua itu akhirnya mendapatkan obatnya dan keadaan jantungnya pun kembali normal. Tanpa membuang waktu, Baron Rogue bergegas menuliskan sebuah surat wasiat yang isinya sesuai dengan apa yang Lumiere ucapkan.
“Sudah kutulis!” ujar Baron Rogue seraya meletakkan pena bulunya ke tempat penyimpanan, “Karena merasa bersalah atas kematian anak itu, aku meninggalkan wasiat “memberikan tanahku tanpa syarat pada para buruh tani setelah aku meninggal”. Tanggalnya tiga tahun yang lalu.”
Lumiere tersenyum manis dan kemudian mengambil surat wasiat tersebut untuk disimpan di laci meja, “Baiklah. Akan kusimpan di laci yang sama dengan obat Anda.”
“Aku benar-benar berpikir bahwa kamu akan membunuhku. Dan juga sejujurnya, aku ingin menggugat kalian ke pengadilan. Tapi setelah dipikir-pikir kembali, tanggal wasiatnya berlaku setelah aku meninggal,” ujar Baron Rogue kemudian menampilkan senyuman liciknya, “Seperti yang kubilang sebelumnya, sewa tanah akan naik dua kali lipat! Bekerjalah dengan giat agar kalian bisa membayarnya. Hahaha!”
Baron Rogue tertawa keras. Tidak memedulikan pandangan orang lain terhadapnya. Pria tua ini berpikir ia akan segera mendapatkan uang lebih banyak lagi. Matanya menatap rendah Michelle yang sedang memakan pai grapefruit yang memang sejak awal belum ia sentuh.
Tanpa terduga, pandangan Baron Rogue mendadak berputar, terlihat abstrak serta rasa pusing mendera kepala pria tua tersebut.
“Kenapa– mataku berputar– kepalaku juga sakit ...”
“Ah, saya lupa bilang.” Suara dingin Lumiere kembali terdengar yang langsung membuat Lucius tersenyum miring dan kembali menyesap minuman anggurnya, “Zat Furanocoumarin dalam grapefruit itu bisa meningkatkan ataupun melemahkan fungsi obat jantung yang Anda minum.”
Baron Rogue tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang Lumiere bicarakan. Saat ini, ia berada di ambang kematian. Bahkan samar-samar ia melihat sosok berupa asap hitam di belakang Lumiere yang saat ini tengah menghadap ke arahnya.
“zat obat mungkin terserap terlalu banyak atau malah hanya sangat sedikit ke dalam aliran darah Anda. Obat mungkin mengendap di tubuh Anda terlalu cepat atau terlalu lama. Obat yang dipecah terlalu cepat tidak akan sempat bekerja. Di sisi lain, obat yang tinggal terlalu lama di dalam tubuh dapat berubah menjadi racun yang menyebabkan komplikasi berbahaya. Walaupun Anda memakan ataupun meminum olahan buah grapefruit dan satu jam kemudian Anda meminum obat, tetap ada reaksi,” ujar Lumiere memasang senyuman miringnya yang terlihat teduh, “Jadi, jangan dikonsumsi secara bersamaan atau tunggulah dua sampai empat jam ke depan.”
Semuanya hanya terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa memedulikan kematian Baron Rogue yang sudah tiba. Begitu pula dengan Michelle yang dengan tenang memakan pai grapefruitnya dengan berlinang air mata.
“Wah, Michelle. Grapefruit lagi? Kamu suka, ya?”
“Soalnya saya bisa memakan ini meski mual karena hamil.”
“Aku jadi petani grapefruit saja, deh!”
“Itu sulit ditanam di iklim sini lho.”
“Tidak apa-apa. Kalau untuk istriku, itu tidak masalah!”
Ingatan tentang obrolannya dengan Bu Ariel saat ia hamil anak pertamanya dengan Pak Hendrik mendadak muncul. Seperti sebuah film kilas balik. Pertahanannya runtuh, hancur lebur mengakibatkan derasnya air mengalir dari kedua mata cantiknya. Sebuah pelukan hangat dapat Michelle rasakan. Puncak kepalanya pun terasa basah. Sepertinya, orang yang sedang memeluknya ini juga ikut menangis. Begitu pun dengan Lumiere. Gadis cantik ini tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan seorang ibu secara langsung. Lumiere seakan-akan dapat merasakan perasaan kehilangan seseorang yang ia sayangi.
Melihat tidak ada inisiatif pada diri Lumiere, Lucian beranjak untuk memanggil salah seorang pelayan yang berada di balik pintu. Tangan kekarnya terulur meraih knop pintu dan membukanya, “Tolong, panggil seseorang ke sini. Baron Rogue terkena serangan jantung dan meninggal dunia.”
***
Mengurusi perihal kematian Baron Rogue tampaknya memakan waktu yang cukup lama. Begitu ketiga Wysteria bersaudara bersama Pak Hendrik dan Michelle keluar dari kediaman pria tua itu, hari telah menjelang pagi. Langit gelapnya sedikit demi sedikit digantikan dengan cahaya di ufuk timur. Mereka akhirnya berpisah di perempatan jalan di mana lapak dagangan Bu Ariel berada.
“Nona Wysteria,” panggil Michelle saat mereka akan pergi menuju rumah masing-masing. Dirasa namanya dipanggil, Lumiere pun mau tidak mau membalik tubuhnya untuk menatap Michelle yang sedang memainkan jari jemarinya, “Terima kasih, Nona Wysteria. Tidak ada lagi yang tersisa. Sesuai dengan janji saya, seluruh hidupku ini saya serahkan kepada Anda. “Berkat bisa bertemu dengan bangsawan seperti Anda di penghujung hidupku ini, rasanya aku jadi bisa punya harapan lagi atas dunia ini.”
Lumiere tersenyum teduh saat melihat ekspresi sendu yang Michelle pasang pada wajahnya, “Saya senang bisa membantu Bu Michelle. Dan berhubung Anda sudah menemukan harapan, bisakah Anda hidup sedikit lebih lama lagi?”
“Eh?” Bu Michelle tanpa sadar bergumam dan menatap bingung Lumiere yang menatap ke arah belakangnya.
“Sebenarnya, Pak Hendrik juga memberi permintaan yang sama padaku, “balas Lumiere seraya menatap teduh Pak Hendrik yang membuang muka, “Dia siap memberikan hidupnya untuk Anda, Bu Michelle.”
Michelle lantas terkejut. Dengan secepat kilat ia menoleh untuk menatap suaminya yang juga sedang menatapnya dengan ekspresi sendu. Tanpa sadar, tali merah yang sempat merenggang dan hampir putus perlahan kembali terikat kuat di jari kelingking mereka.
“Ingatlah, bahwa masih ada satu orang lagi yang patut Anda cintai.” Lumiere kembali bersuara seraya memeluk Bu Michelle yang tampak terkejut.
“T–tapi— kalau begitu, apa bayaran untuk Anda?” tanya Michelle dengan suara bergetar karena terkejut dengan tingkah Lumiere yang memeluknya saat ini.
“Tidak ...” Lumiere memberi jeda untuk melepaskan pelukannya dan menatap teduh Michelle, “... sesuai janji, aku terima hidup kalian. Memang negara ini masih dikuasai oleh bangsawan busuk. Tapi, suatu saat nanti, negara tanpa batas status sosial, kesedihan, dan penderitaan akan kuwujudkan!”
Mata Pak Hendrik dan Michelle melebar. Mereka tampaknya cukup terpesona dengan tujuan Lumiere yang ingin membangun negara ideal tanpa adanya sistem kasta yang membuat satu pihak merasakan penderitaan.
“Pakailah nyawa yang kalian serahkan padaku untuk menjadi saksinya. Itu adalah perintahku,” ujar Lumiere seraya memberikan senyuman teduhnya dan seketika angin berembus cukup kencang hingga mampu menerbangkan anak rambut coklat keemasannya.
“Anda merebut alasan saya untuk mati dan memberikan alasan hidup untuk saya,” ujar Michelle dengan air mata yang menetes. Pak Hendrik pun mendekat dan memegang kedua bahu istrinya tersebut yang bergetar.
“Kami akan menyertai Anda sampai mati,” imbuh Pak Hendrik memasang senyuman tulusnya yang membuat Lumiere juga tersenyum.
Dari kejauhan, Lucius dan Lucian hanya menjadi penonton adegan melankolis tersebut. Berbagai perasaan mereka rasakan selama menonton adegan tersebut.
“Kejam sekali, ya?” tanya Lucius dengan mata yang fokus menatap Pak Hendrik dan Michelle, “Saat menemukan harapan untuk hidup, orang akan takut mati. Seumur hidup mereka tak akan mengkhianati Lumiere!”
Lucian tersenyum sendu, menatap ujung sepatu pantofel hitamnya yang telah kotor, “Kita juga sama kok. Kita tidak akan mengingkari janji di antara kita bertiga!”
Situasi melodrama tersebut kemudian berakhir dengan kedatangan Bu Ariel yang sepertinya akan membuka lapak dagangannya.
“Wah, ada apa pagi-pagi begini?” tanya Bu Ariel seraya mendekat ke arah Lumiere yang sedang menatapnya. Ekspresi Bu Ariel mendadak berubah menjadi bingung ketika melihat kebersamaan di antara Pak Hendrik dan Michelle, “Ng? Kalian sudah baikan?”
“Be–begitulah,” jawab Michelle dengan wajah yang merona merah dan dibalas anggukkan kecil dari Bu Ariel.
Secara mendadak Bu Ariel mendekatkan wajahnya pada Lumiere yang membuat sang Gadis dan kedua saudara laki-lakinya yang menonton dari kejauhan terkejut.
“Bu guru kecil, aku punya permintaan nih,” ujar Bu Ariel dengan ekspresi seriusnya, “Grapefruit si Hendrik tidak laku karena terlaly masam. Harus di apa kan?”
Pak Hendrik mendadak merasa kesal karena pertanyaan dari Bu Ariel yang seolah-olah sedang mencibirnya, “Tega sekali mengatakannya langsung di depanku!”
Lumiere tertawa kecil untuk beberapa saat, “Peram dulu beberapa hari sebelum dijual di toko. Rasanya akan lebih manis daripada waktu baru dipanen.”
“Betul begitu?”
Lumiere tersenyum hingga kedua matanya menyipit, “Tentu saja!”
***
Suara ketukan yang dihasilkan dari kapur tulis yang bertemu dengan papan tulis hijau terdengar memenuhi salah satu ruang belajar di Universitas Durham. Kelas matematika yang dibimbing oleh Profesor Lumiere Crowe Wysteria sedang berlangsung.Para siswa yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki ini tampak fokus memperhatikan apa yang Lumiere jelaskan. Sang gadis begitu cakap dalam menjelaskan rumus-rumus persamaan yang bagi para murid cukup sulit untuk dikerjakan."Baiklah. Sampai di sini, ada yang dipertanyakan?" Tanya Lumiere setelah menyelesaikan menulis materi yang sedang ia ajarkan kepada anak didiknya."Profesor!" Suara ini berasal dari bangku paling atas ruang belajar ini. Seorang pria berparas tampan tampak mengangkat sebelah tangannya guna menarik atensi sang profesor muda tersebut, "Bisakah Anda menceritakan masa kecil Anda?"Lumiere cukup terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin menanyakan sesuat
Tok! Tok! Tok!Si Gadis kecil bermata biru langit dengan perlahan membuka pintu berdaun dua tersebut setelah mendengar sahutan dari dalam. Ruang baca dengan dekorasi mewah dan seorang wanita cantik menjadi pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan si Gadis.“Saya sudah kembali,” ujar si Gadis seraya melangkah menghampiri sang Wanita yang merupakan Countess Wysteria.“Suratku sudah kau kirimkan?” Tanya Countess Wysteria tanpa menatap si Gadis dan lebih memilih melanjutkan kegiatan membaca bukunya.Si Gadis tersenyum manis dengan kedua matanya yang terpejam. Terlihat sangat jelas bahwa senyumannya tidak begitu tulus ia keluarkan, “Ya, Ibu.”Mendengar kata ‘ibu’ yang terucap dari mulut si Gadis. Countess Wysteria mendelik tajam kepadanya, berdiri secepat mungkin dan kemudian berteriak, “JANGAN SALAH PAHAM, YA! MERAWAT ANAK YATIM PIATU ITU CUMA KEWAJIBAN SEORANG BANGSAWAN! INI TINDAKAN AMAL! MANA SUDI MENG
Setelah menganiaya Lucy, waktu terus bergulir. Matahari yang selama setengah hari duduk manis pada singgasana, menyinari Tanah Inggris dengan kehangatan sinarnya yang terkadang terasa menyengat ketika di musim panas, telah tergantikan dengan bulan yang bersinar lembut. Walaupun hari telah menjadi gelap, aktivitas masyarakat di Kota London tidaklah berhenti begitu saja.Sebagian besar masyarakat yang merupakan bagian dari ‘Kelas Pekerja’ masih beraktivitas, dan sebagian lagi yang merupakan kaum bangsawan lebih memilih beristirahat di kediaman mereka yang super mewah. Beristirahat sembari menikmati makan malam yang mewah, kemudian dilanjut tidur di kasur yang empuk dan hangat.Termasuk Keluarga Wysteria yang saat ini sedang menikmati makan malam mereka. Berbagai menu makanan mewah tersedia di hadapan mereka yang berjumlah empat anggota keluarga. Dimulai dari daging steak yang berkualitas tinggi, olahan Jamur Truffle Putih yang pada saat ini harganya men
“Bisa-bisanya ketiduran tanpa mengerjakan tugas! Kalian mengira kasta kalian sedikit lebih tinggi dari kami karena menjadi anak angkat keluarga ini!?” seru seorang wanita tua berpakaian pelayan tajam. Menatap Lucy dan Lucian yang sedang menaiki tangga untuk membersihkan tempat lilin di sepanjang koridor rumah.“Hei, Underclass! Pokoknya, pagi ini 550 tempat lilin harus sudah digosok!” Satu orang pelayan lain menambahkan dengan nada mencemoohnya yang terdengar menjengkelkan bagi Lucian.“kami mau tidur dulu!” ujar si Wanita tua tersenyum meremehkan pada Lucy yang memasang wajah memelas. Dua pelayan ini kemudian pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang berkutat dengan tempat lilin.“Kalian tidur saja yang nyenyak, sana!” Suara seorang anak laki-laki terdengar dari gelapnya kegelapan lorong karena hampir semua lilin yang terpasang di setiap sisi tembok telah dimatikan apinya.Pelayan wanita tua yang terkejut lantas mengarahkan
Lumiere menatap bingung salah satu bangku yang biasanya diduduki oleh salah satu mahasiswa terpintar kini telah kosong. Padahal, mahasiswa tersebut tak pernah absen untuk mengikuti jadwal kelas profesor muda ini. Tentu saja hal ini mengundang pertanyaan di benak Lumiere.“Tumben sekali Darius tidak hadir,” ujar Lumiere menyebutkan nama mahasiswa tersebut, “Apakah dia sakit?”“Profesor,” panggil Vincent yang kembali mengikuti kelas Lumiere, “Aku mendapatkan kabar kalau semalam Darius kembali ke rumahnya sebentar karena ayahnya meninggal dunia.”“Maksudmu Baron Ellard?” Mahasiswa yang duduk bersebelahan dengan Vincent melontarkan pertanyaan, “Bukankah beliau sedang berada di Swiss untuk urusan bisnis?”Alis Lumiere terangkat sebelah, namun tidak sedikit pun ia bersuara untuk bergabung ke dalam obrolan tersebut.“Eh? Jadi maksudmu, Darius berbohong?” tanya Vincent.“Lalu, apa tujuan Darius terhadap kepergiannya semalam? Bukankah kelas
Kaki ramping Lumiere yang terbalut celana bahan berwarna hitam melangkah dengan anggun menyusuri deretan rak buku perpustakaan Universitas Durham. Mata biru langitnya menerawang setiap deretan judul buku. Lumiere membutuh waktu yang cukup lama untuk menemukan buku yang ia cari. Bukan tanpa alasan Lumiere mencarinya sendiri karena petugas perpustakaan sedang tidak ada di tempat. Alhasil, mau tidak mau Lumiere harus mencarinya sendiri. Buku tebal bersampul coklat. Terlihat usang di mata Lumiere namun, isinya sangat membantu proses investigasinya.Dari penjelasan Vincent saat istirahat tadi, ada lima dosen yang menjadi penyokong Anne Rovein untuk menjaga tempatnya agar tidak dilengserkan oleh siapa pun. Namun, hanya satu dosen saja yang berani melakukan pembunuhan ini. Bisa dapat Lumiere simpulkan bahwa, keempat dosen lainnya hanya melakukan manipulasi nilai terhadap Anne Rovein.Buku usang itu kemudian dibuka. Sang Profesor muda ini mulai membaca satu persatu kalimat dal
Semilir angin menghantarkan beberapa helai daun yang telah menguning, musim gugur telah tiba di London. Langit London pun yang semula gelap dengan perlahan memunculkan warnanya ketika sang Fajar dengan malu-malu keluar dari persembunyiannya. Pukul setengah lima pagi, angin pagi hari yang berembus dingin, menusuk sampai ke tulang bagi siapa pun yang beraktivitas di luar pada jam ini. Namun, seorang pemuda bertubuh mungil tampaknya tidak merasa kedinginan oleh sang Angin. Pemuda itu duduk di atas balkon lantai tiga yang membuatnya bisa melihat Kota London dengan leluasa. Di tangannya terdapat sebuah secarik kertas, bertuliskan bahwa sudah waktunya dia kembali beraksi. Wajahnya tanpa ekspresi pada saat membaca isi dari telegram tersebut. Walaupun begitu, matanya memancarkan binar kegembiraan yang tidak bisa ia pendam. “Tuan Archenar juga pasti mendapatkan ini, bukan?” Di sisi lain Kota London. Di sebuah penginapan yang seluruh sudut ruangannya masih gela
Lumiere menatap bingung pada Anne yang berdiri di hadapannya dengan senyuman manis yang mengembang. Bel bertanda kelas akan kembali dilaksanakan sudah sepuluh menit yang lalu berdering. Namun, sampai sekarang muridnya ini belum mengatakan sepatah kata pun tentang tujuannya menemui Lumiere.“Nona Rovein... jika tidak ada yang ingin dikatakan, bergegaslah bergabung dengan kelas Anda selanjutnya,” perintah Lumiere mulai merasa jengkel melihat tingkah murid Peringkat Pertama ini yang cukup membuang waktunya.“Profesor ...” Akhirnya Anne bersuara, memanggil Lumiere yang menaikkan sebelah alisnya sebagai respons. Memang terlihat tidak mencerminkan seorang pengajar atau pun wanita bangsawan. Tapi, ini adalah cara Lumiere menunjukkan emosinya kepada orang yang membuatnya jengkel, “... Profesor tahu apa yang Anda lakukan kemarin?”“Kemarin? Tentu saja saya tahu. Saya melakukan ujian mendadak yang selalu Saya lakukan di setiap kel