Share

BUKAN PAMAN BIASA

Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.

Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang. 

(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan.

Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang juga bekerja. Rayyan tak mau kakak iparnya itu tak tenang dan pulang terburu di malam hari. Apalagi jika pekerjaannya sedang membutuhkanmu fokus tingkat tinggi.

Gadis kecil di pangkuan Cakra kini telah terlelap. Wajar saja, sekarang sudah jam sembilan malam lewat. Akan tetapi, masih belum juga ada kabar dari kakak iparnya.

"Bu, Rayyan antar ibu pulang sama 'Affiyah, ya. Biar Cakra yang nginap. Di sini 'Affiyah sama ibu gak akan bisa tidur dengan tenang." Pemuda berambut sebahu menatap lembut pada wanita yang sangat disayanginya.

"Siapa yang bisa tidur nyenyak saat cucunya terbaring sakit." Bu Rina mengusap air mata. Ia telah mengalami banyak kehilangan orang-orang terdekat, karena itu hatinya sangat sensitif.

"Iya, Rayyan tahu. Tapi pikirkan tentang 'Affiyah, Bu. Nanti dia bisa ikutan sakit jika tak beristirahat dengan cukup." Pemuda itu berusaha membujuk ibunya. 

Sebagai pegawai negeri, Bu Rina harus berangkat bekerja pagi-pagi. Rayyan tak bisa membiarkannya tak tidur semalaman. Fisik wanita yang dikasihinya itu semakin rentan seiring bertambahnya usia.

"Masih belum ada kabar dari kakakmu?" Wanita berjilbab bertanya pada sang putra yang duduk di dekatnya.

"Mungkin ia kecapean dan tertidur," tebak Rayyan.

"Ibu pikir setiap orang tua akan selalu punya waktu untuk mengabari anaknya. Terlebih ketika sedang terpisah begini." 

"Kita tak tahu apa yang sedang terjadi di sana, Bu. Jadi jangan bilang begitu. Rayyan janji, Rayyan akan punya banyak waktu untuk 'Affa dan 'Afiyah."

"Iya." Bu Rina mengangguk lemah. Ia tahu putranya tak asal berjanjil. Tentu ia telah melihat sendiri apa yang Rayyan lakukan.

.

Untunglah keadaan 'Affa membaik setelah semalam mendapatkan penanganan maksimal. Rayyan segera menghubungi ibunya agar tak perlu datang ke rumah sakit lagi. Setelah mengurus administrasi, ia segera mendatangi anak laki-laki yang menyambutnya dengan senyum lebar.

"Bah."

"Bagaimana, Jagoan? Masih ada yang sakit?"

"Tidak lagi," ujar bocah tampan berkulit putih.

"Baiklah, kita pulang?" 

Anak itu mengangguk.

Rayyan menggendong 'Affa di tangan kanannya, sementara tangan kiri menenteng tas. Makin mendekati pintu kaca, di luar sana ia melihat wanita cantik turun dari sebuah mobil mewah. Kakak iparnya.

Sebelum meninggalkan mobil Rayyan menyaksikan wanita cantik itu bicara pada pria di dalam sana. Dari kaca mobil yang terbuka, Rayyan dapat melihat wajah semringah yang terus tersenyum lebar.

Sedikit aneh bagi Rayyan, seorang ibu sempat berbasa-basi panjang dengan temannya, sedangkan ia tahu putranya yang terpisah selama tiga hari sedang sakit. Namun, pemuda itu menepis apa yang berkeliaran di kepalanya. Tak ada yang salah andai pun memang seperti yang ia perkirakan. Kakaknya wanita lajang, siapa bilang ia boleh keberataan.

"Affa anak mama baik-baik saja? Maaf Yan, baterai HP kakak habis, jadi tak tahu kalian menghubungi semalam." Wanita itu mengambil alih putranya dari gendongan adik iparnya.

"Kata dokter sudah tak apa-apa," ujar pemuda berhidung mancung.

"Baiklah, ayo kita pulang, Nak."

Di dalam mobil Rayyan terus terdiam. Tidak ada pembicaraan serius di antara mereka. Sekali-kali pemuda itu melihat ke belakang melalui kaca. 'Affa masih terlihat lemas meski tak sepucat sebelumnya. Rayyan kenal betul dengan dua keponakannya. Jika hanya hanya sakit sedikit mereka tak pernah bisa duduk tenang, ada saja yang dilakukan. 

.

"Kak, jika ada apa-apa jangan sungkan menghubungiku atau ibu. Kita keluarga, 'kan? Rayyan mengerti kesibukan kakak." Pemuda yang berdiri di pintu bicara sambil mengelus rambut 'Affiyah. Sementara 'Affa masih berada dalam pelukan mamanya.

"Tentu. Terima kasih, Yan. Ibu juga." 

"Antar saja cucu-cucu ibu ke rumah kalau Nak Rika sedang kerja. Rayyan juga sering di rumah sekarang. Ibu juga pulang sekolah di rumah saja." Bu Rina, ibunya Rayyan ikut bicara.

Mamanya 'Affa dan 'Affiyah yang dipanggil Nak Rika mengangguk. Ia terus menunggu di teras rumah megah sampai ibu mertua dan adik iparnya menghilang dari pandangan.

* * *

"Entahlah, aku tak yakin. Ia tidak terlihat bisa melebur dengan kebiasaanku." Gadis berkulit putih bicara pada pemuda di depannya.

"Kurasa karena jarak umur kalian."

Pemuda berpenampilan khas anak muda kalangan atas bicara sambil menatap lekat gadis cantik di depannya.

"Aku kadang bosan dengan sikap kakunya. Diajak nonton gak mau, nongkrong di sini gak mau, jalan ke sana menolak. Sepertinya semua hal yang aku sukai tak menarik baginya." Gadis berkulit putih dengan mata sipit bicara kesal.

"Mengapa tak mencoba denganku, aku akan punya banyak waktu untukmu." Pria muda itu mengambil kesempatan. Kesempatan dalam kesempitan. Mendapati gadis incarannya sedang bermasalah dengan kekasihnya, ia mencoba untuk masuk di antara mereka. Siapa yang tak ingin menjalin hubungan dengan putri tunggal seorang konglomerat ternama? Hidup akan terjamin tanpa harus bekerja keras.

"Kami bahkan tak pernah jalan berduaan. Dia terlalu sibuk dengan kegiatannya, sedangkan aku masih terlalu muda untuk seserius itu." Gadis itu terus menumpahkan kekesalannya.

"Benarkah ada orang pacaran begitu? Maksudnya tak pergi bersama." Pemuda di depan sang gadis memasang wajah tak yakin.

"Itulah kenyataannya, keponakannya terus menempel jika kami pergi ke luar."

"Dinda? Sedang apa di sini, dan siapa dia?" Seseorang berdiri dengan tatapan marah. 

Rupanya Rayyan telah berada di sana, kemungkinan besar ia mendengar potongan percakapan sepasang anak manusia di depannya. 

Pemuda bermata tajam sepertinya tak habis pikir dengan apa yang dilakukan wanita yang mengaku mencintainya. Meski Dinda putri tunggal keluarga kaya, meski ia boleh saja manja, setidaknya ia tahu hal yang boleh dan tidak dilakukan. Jalan dengan pria lain dan membuka hal-hal yang harusnya hanya boleh dibicarakan dengannya, itu mau tak mau membuat pria pendiam itu murka.

Sementara itu, melihat siapa yang datang Dinda serba salah. Gadis itu menggigil bibir, menunduk tak berani menentang tatapan tajam sang kekasih.

Semenit dua menit. Setelah Dinda tak kunjung menjawab Rayyan segera berbalik, pergi. Bu Rina dan dua cucunya yang menyaksikan adengan itu dari jauh segera menyusul putranya. 

"Kita makan di tempat lain, Bu. Maaf anak-anak." Rayyan memaksakan senyum saat menyapa bocah kembar. Meskipun yang terlihat seperti sebuah seringai. Kondisi hatinya tak baik.

Sebagai pria yang serius, Rayyan merasa harga dirinya dikhianati. Baru beberapa hari ia menunjukkan keseriusannya, Dinda malah mengecewakannya seperti ini. 

"Kita bisa makan di luar lain kali." Bu Rina mengerti bagaimana kondisi hati putranya.

"Ini hari ulang tahun ibu, Rayyan punya tempat lainnya yang tak kalah bagus." Senyum pemuda itu terhidang meski terlihat kaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status