Share

Kamu Pikir Saya Akan Menciummu?

PoV Reyndad

Aku dan Adnan selesai melaksanakan salat magrib berjamaah. Dia mencium tanganku lebih dulu membuat jantungku kembali aktif tak seperti biasanya.

***

Malam ini, kami meletakkan peralatan salat ke gantungan kecil setinggi pinggang lalu duduk di bibir ranjang sambil terdiam. Aku teringat akan sesuatu.

"Tadi Cinta taruh kue di laci nakas." Aku menunjuk laci nakas menggunakan dagu. Adnan berjalan menuju arah tunjukku lalu menggeser keluar laci tersebut.

"Cantik." 

Aku menoleh ke arah Adnan yang berjalan mendekatiku lalu duduk di sampingku. Cinta memang juara kalo masalah makanan, dia membelikan khusus untukku walau menggunakan uangku. Huh, sama dengan tidak, sih.

Kue brownies ukuran kecil, dihiasi dengan buah strawberry di pinggir kue tersebut. Sangat cantik dan jika aku memakannya berdua bersama Adnan, mungkin akan lebih romantis.

"Ayo, di makan." Aku mengambil kue itu lalu Adnan lebih dulu memotong kue tersebut dengan ukuran kecil memudahkan kami untuk melahapnya.

Sangat mnis. 

Terlanjur manis.

Itu perasaanku sekarang.

"Aku belum pernah makan kue mewah ini."

Aku berhenti mengunyah mendengar penururan Adnan.

"Kamu 'kan kerja di sana. Masa gak bisa beli, sih," pungkasku seraya menggigit ujung garpu yang tersisa brownies di sana.

"Di toko ini mahal, walaupun ukurannya kecil. Kalau di beli, uang bulanan nanti gak cukup."

Aku menatapnya dengan sendu. Entah angin apa yang membuatku menyentuh tangan mungil itu lalu menatapnya manik hazel itu dengan tatapan lembut.

"Sekarang kamu bisa menikmatinya. Kamu juga bisa beli yang lebih mahal dari ini," tuturku.

 Aku tersadar apa yang baru saja kulakukan pada Adnan.

Secepat mungkin, aku menarik kembali tanganku kembali sambil menggaruk tengkukku tak gatal. 

Astaga, sekarang telapak tanganku sudah mengeluarkan keringat. Apalagi jantungku tidak bisa diajak kompromi.

"Habiskan browniesnya." 

Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi lalu menutupnya.

"Ah, kenapa bisa refleks sih," gerutuku menatap diri ini di pantulan cermin wastafel.

"Lo juga, sembarang banget nyentuh Adnan." 

Aku menatap tanganku yang sudah keterlaluan pada Adnan. Padahal belum apa-apa kenapa tanganku yang jadi kegatalan?

***


3 menit kemudian, aku kembali keluar kamar dan mendapati Adnan yang sedang membuka kado. Dia membuka mulai dari yang paling besar lalu ada sebuah bonrka beruang berwarna putih serta pita di tengah-tengah lehernya.

"Dari siapa boneka itu?" tanyaku seraya duduk di sampingnya.

"Dari Sasha, sahabatku." 

Adnan tersenyum menjawab pertanyaanku lalu kembali membuka kado berikutnya. Sementara aku mencari nama Kiki, aku penasaran kado apa yang ingin ia berikan untukku.

Dapat, tanpa berpikir panjang, aku menyobek bungkus kado bermotif hati berwarna hitam. Isinya adalah 7 buah alat testpeak dan kontrasepsi dengan berbagai macam warna, rasa dan juga merek. Jangan sampai Adnan melihat semuanya.

Aku berjalan ke kamar mandi untuk membuangnya sebelum Adnan melihat hal memalukan itu. Bisa-bisa dia membenciku.

"Ada apa?"

"Ti-tidak. Tadi buang air," jawabku berbohong.

Butuh waktu dua jam kami membuka kado tersebut. Tapi, rasa lelah juga menyerang. Kado ini belum habis. Masih ada sepertiga dari yang kami buka.

Aku mengajaknya untuk salat isya berjamaah, tapi Adnan kembali duduk di mana kado itu masih menggunung. Apa dia tidak lelah?

"Sudahlah, ayo tidur. Mau sampai pagi pun, kadonya belum habis buat dibuka sebanyak itu."

 Aku duduk di tepi ranjang, Adnan membawa boneka itu di sudut ranjang lalu berjalan ke kamar mandi. Mungkin bersih-bersih dulu.

Aku kembali bangun dan duduk di atas ranjang, aku melihat Adnan keluar dengan keadaan wajahnya basah.

"Kamu peke skincare?" tanyaku menaikan sebelah alisnya. Adnan menggelengkan kepala.

"Biar kuajari." Aku memegang bahunya seraya menuntunnya untuk duduk menghadap meja rias manis. Aku mengambil handuk kecil di lemari lalu mengeringkan wajahnya.

Satu per satu, aku memakaikan produk  perawatan wajah yang sengaja Papa beli untuk menantu cantiknya ini.

"Tenang aja, ini bahannya bagus kok."

 Aku mulai dengan membuka tutup botol penyengar atau toner. Aku mengambil kapas lalu membasahinya dan menepuknya pelan di wajah Adnan.

Di sisi lain, aku menikmati kegiatanku saat ini. Di mana aku bisa menatap wajah Adnan dengan jarak yang lumayan dekat. Natural, cantik dan aku sangat suka.

 Lalu membuka laci dan bungkus sheetmask yang selalu kupakai. Adnan terkejut menatap seonggok bungkus tersebut.

"Jangan heran gitu, ini udah lumrah. Perempuan sama laki-laki juga harus perawatan," celotehku. Dengan hati-hati, aku menempelkan sheetmask tersebut di wajahnya. 

"Tunggu 15 menit." Aku berucap lalu kembali membuka sheetmask untukku.

"Oh, iya. Kita foto dulu." 

Aku mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang, tapi Adnan menahannya. 

"Tidak saya posting di media, cuman di bagikan ke group WhatsApp, keluarga aja." 

Aku menarik kedua tangan Adnan yang menutupi wajahnya. Aku merengkuh tubuhnya sehingga tak ada jarak di antara kami. Aku tersenyum menatap kamera, tapi Adnan hanya memasang wajah datar dan bodohnya.

"Yang cantik dong posenya."

Adnan menghembuskan napasnya mendengar ucapanku. Aku kembali memasang wajah ceria, begitu juga dengan Adnan.

"Sekali lagi."

Cekrek.

"Sekali lagi."

Cekrek.

"Sekali lagi."

****

"Udah 15 menit," ucapnya seraya membuka sheetmask tersebut yang menempel di wajahnya.

"Jangan dilap." Aku mencegah tangannya yang hendak mengambil tissue. Aku mengarahkan wajahnya agar menghadap ke arahku lalu menempuk-nepuk wajahnya dengan jari telunjuk dan jari tengah.

Tepat di pipinya, aku memijat pipinya. Cukup berisi, membuat sang empu menghempaskan tanganku dari wajahnya.

"Itu trik supaya cairannya meresap," paparku. 

Aku membuang sheetmask bekas tersebut di tong sampah yang berada di bawah meja.

"Ini serum, jadi pakainya cukup di tepuk aja, biar cepat meresap." Aku mengambil botol serum yang berisi 50 ml lalu meletakkan di telapak tangan dan mengaplikasikan ke wajah. Adnan hanya diam memperhatikanku.

"Sini." 

Aku meneteskan cairan itu di wajahnya lalu menepuknya pelan.

"Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, ya."

Tanganku terhenti mendengar ucapannya.

"Jangan berpikiran negatif pada suamimu." Aku berucap sedikit sinis.

Aku kembali memberikan beberapa skincare di wajahnya lalu kami berjalan menuju ranjang. Adnan memberikan pembatas di tengah-tengah ranjang tersebut.

Tapi, aku melemparkan guling itu di dinding karena posisi Adnan sangat dekat dengan dinding kamar yang dingin.

"Gak perlu dikasih pembatas, toh gak ada dosa di antara kita."

 Aku menarik selimut sampai dada sehingga selimut bagian Adnan sampai lehernya.

"Gue cuman jaga-jaga aja." 

Adnan menatapku sinis.

"Kau mau dihukum rupanya." 

Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Bukan, aku hanya ingin mengerjainya. Melihat raut wajahnya yang gugup serta takut secara bersamaan dan itu menggemaskan.

"Jangan."

 Adnan menutup kedua matanya saat wajahku dan wajahnya tinggal beberapa senti lagi.

Huft.

Aku mengembuskan karbon dioksida ke wajahnya membuat manik hazel itu kembali terbuka sambil berkedip.

"Kamu pikir saya akan menciummu?" tanyaku menantangnya.

Adnan menganggukkan kepala 1 detik kemudian menggeleng kuat.

"Ternyata otak kamu yang mesum," ejekku lalu kembali berbaring dengan posisi terlentang. 

Aku lupa mematikan lampu utama, sehingga aku kembali beranjak dari ranjang untuk mematikan lampu dan kembali berbaring.

"Cepat tidur, sebelum kamu diserang oleh penghuni rumah ini," ucapku lalu berbaring membelakanginya.

"Ah!" 

Adnan berteriak sambil memelukku dari belakang. Aku tersenyum puas mendengar teriakannya yang ketakutan seperti itu. Aku kembali meraih ponsel di nakas, lalu membidik tangannya yang memeluk pinggangku yang masih dilapisi baju dengan erat tanpa sepengetahuannya dan meletakkan kembali ponsel di tempatnya.

"Kamu tahu, di sini hantunya seram-seram dan menakutkan. Giginya panjang dan tajam, di ujung bibirnya mengeluarkan darah yang menetes." Aku berucap sambil tersenyum lebar ketika merasakan tangan Adnan memelukku.

"Adnan, aku kehilangan oksigen." 

Aku menepuk pelan punggung tangannya lalu Adnan memposisikan kepalanya di dadaku.

"Jangan, bilang sama penghuninya kalo darah gue pahit, asam, kecut dan hambar."

Aku mengulum senyum mendengar ocehannya. Tapi, kembali memasang wajah datar.

"Tidurlah." 

Aku menepuk punggungnya pelan sambil mencium rambutnya yang sangat wangi. 10 menit setelahnya napasnya teratur. Berarti dia sudah pulas. Aku memeluknya dari samping sebelum akhirnya aku juga tertidur menyusulnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status